Akhlak Kepada Tetangga
Dalam kehidupan sosial, tetangga merupakan orang yang yang secara
fisik paling dekat jaraknya dengan tempat tinggal kita. Dalam tatanan
hidup bermasyarakat, tetangga merupakan lingkaran kedua setelah rumah
tangga, sehingga corak sosial suatu lingkungan masyarakat sangat
diwarnai oleh kehidupan pertetanggaan. Pada masyarakat pedesaan,
hubungan antar tetangga sangat kuat hingga melahirkan norma sosial.
Demikian juga pada lapisan masyarakat menengah kebawah dari
masyarakat perkotaan, hubungan pertetanggaan masih sekuat masyarakat
pedesaan. Hanya pada lapisan menengah keatas, hubungan pertetanggaan
agak longgar karena pada umumnya mereka sangat individualistik.
Tradisi ke Islaman memberikan kontribusi yang cukup besar dalam
pembentukan norma-norma sosial hidup bertetangga. Adanya lembaga
salat berjamaah di masjid atau mushalla, baik harian lima waktu,
mingguan Jum'atan maupun tahunan Idul Fitri dan Idul Adha cukup
efektip dalam membentuk jaringan pertetanggan. Demikian juga tradisi
sosial keagamaan, seperti tahlilan, ratiban, akikah, syukuran,
lebaran dan sebagainya sangat efektip dalam mempertemukan antar
tetangga.
Tentang betapa besarnya makna tetangga dalam membangun komunitas
tergambar pada hadis Nabi yang memberi petunjuk agar sebelum memilih
tempat tinggal hendaknya lebih dahulu mempertimbangkan siapa yang
akan menjadi tetangganya, al jaru qablad dar, bahwa faktor tetanga
itu hams didahulukan sebelum memilih tempat tinggal.
Selanjutnya akhlak bertetangga diajarkan sebagai berikut:
(a) Melindungi rasa aman tetangga. Kata Nabi, ciri karakteristik
seorang muslim adalah, orang lain (tetangga) terbebas dari
gangguannya, baik gangguan dari kata-kata maupun dari perbuatan fisik.
(b) Menempatkan tetangga (yang miskin) dalam skala prioritas
pembagian zakat.
(c) Memberi salam jika berjumpa.
(d) Menghadiri undangannya.
(e) Menjenguk tetanggga yang sakit.
(f) Melayat atau mengantar jenazah tetangga yang meninggal dunia.
Membangun Masyarakat
Feb 24, '07 10:29 AM
for everyone
1. Konsep Masyarakat
Indonesia adalah negeri dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia. Tetapi apakah realita itu identik dengan telah terbangunnya masyarakat Islam di negeri ini, adalah sesuatu yang harus direnungkan. Dewasa ini bangsa dengan lebih duaratus juta kaum muslimin ini sedang diterpa berbagai predikat negatip, yang menjadikan agama Islam yang dianut seakan tidak relevan dengan kualitas masyarakatnya. Harus diakui bahwa secara konstitusional, bangsa ini menganut satu ideologi yang bernama Panca Sila, satu rumusan berdasarkan sejarah kebangsaan dimana para ulama dan pemimpin Islam terlibat dalam proses penyusunannya.
UUD 45 bahkan sebelumnya adalah Piagam Jakarta yang kental dengan semangat ke Islaman. Akan tetapi harus juga diakui adanya realita bahwa banyak pemimpin muslim (bukan pemimpin Islam) dan juga anggauta masyarakat Islam yang tidak menjadikan ajaran Islam sebagai rujukan ketika harus memutuskan berbagai permasalahan. Ada yang lebih mengikuti budaya lokal (dan kepentingan lokal) dan ada yang mengikuti konsep sekuler dari Barat. Ketika dunia mengalami krisis, banyak orang mencari pemikiran alternatip sebagai upaya mencari solusi.
Diantara pemikiran yang kini ditengok adalah konsep Islam tentang berbagai hal. Bank syari'ah yang pernah begitu lama dihambat kelahirannya misalnya, kini justeru menjadi trend di kalangan perbangkan nasional, disusul oleh Asuransi syari'ah, akuntansi syari'ah, reksadana syari'ah, menejemen syari'ah dan sebagainya.
Secara lahir, masyarakat nampaknya terbangun secara alamiah, tetapi bagi pemimpin, masyarakat itu harus dibangun, dan apa saja yang dibangun harus ada konsepnya. Bangunan tanpa konsep atau salah konsep akan berakibat rusaknya tatanan, seperti rusaknya tatanan masyarakat Indonesia dewasa ini. Sejalan dengan semangat reformasi, sudah tiba saatnya kita menggali konsep yang inspirasinya bersumber dari wahyu, dalam hal ini yang akan kita kaji adalah konsep masyarakat menurut al Qur'an.
2. Pengertian Masyarakat
Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab musyarakah. Dalam bahasa Arab sendiri masyarakat disebut dengan sebutan mujtama`, yang menurut Ibn Manzur dalam Lisan al `Arab mengandung arti (1) pokok dari segala sesuatu, yakni tempat tumbuhnya keturunan, (2) kumpulan dari orang banyak yang berbeda-beda . Sedangkan musyarakah mengandung arti
berserikat, bersekutu dan saling bekerjasama. Jadi dari kata musyarakah dan mujtama` sudah dapat ditarik pengertian bahwa masyarakat adalah kumpulan dari orang banyak yang berbeda-beda tetapi menyatu dalam ikatan kerjasama, dan mematuhi peraturan yang disepakati bersama.
Dari pengertian itu maka dapat kita bayangkan bagaimana anatomi dari masyarakat yang berbeda-beda. Dapat dijumpai misalnya ada; masyarakat desa, masyarakat kota, masyarakat Indonesia, masyarakat dunia, masyarakat Jawa, masyarakat Islam, masyarakat pendidikan, masyarakat politik dan sebagainya.Semua jenis masyarakat tersebut pastilah terdiri dari unsur-unsur yang berbeda-beda tetapi mereka menyatu dalam satu tatanan sebagai wujud dari kehendak bersama. Karena adanya dua atau beberapa kutub; yakni berasal dari unsur yang berbeda-beda tetapi bermaksud menyatu dalam satu tatanan, maka dari kutub pertama ke kutub ke dua ada proses yang membutuhkan waktu yang panjang.
Masyarakat Indonesia misalnya, sudahkah mereka menyatu dalam kesatuan ? ternyata setengah abad merdeka belum cukup waktu untuk menyatukan sebuah masyarakat Indonesia meski sudah diwadahi dengan istilah Bhineka Tunggal Ika. Abad pertama kemerdekaan Indonesia nampaknya masyarakat Indonesia sebagai satu kesatuan masih merupakan nation in making, masih dalam proses menjadi. Hambatan dari proses itu adalah adanya rujukan dan kepentingan yang berbeda-beda. Demikian juga masyarakat Islam Indonesia, masyarakat OKI dan sebagainya.
Teologi Masyarakat
Dalam konteks ajaran Islam, indifidu tak bisa dipisahkan dari masyarakat. Menusia itu sendiri diciptakan Tuhan terdiri dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal (dan saling memberi manfaat), lita`arafu (Q/49:13). Disamping adanya perlindungan terhadap individu, juga ada perlindungan terhadap masyarakat. Meski individu memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain, sehingga Islam menghendaki adanya keseimbangan yang proporsional antara hak individu dan hak masyarakat, antara kewajiban individu dan kewajiban masyarakat, juga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Dari Maqasid as Syari`ah (filsafat Hukum Islam) yang menyebut al kulliyyat al khamsah misalnya, mengambarkan konsep masyarakat dimana setiap individu harus dijamin hak-haknya dimana Pemerintah atau ulil amri sebagai wakil masyarakat yang tertinggi berkewajiban melindungi jiwa (khifdz an nafs) , hak kepemilikan harta (khifdz al mal), hak akal (khifsz al `aql atau hak intelektual) , hak beragama (khifdz ad din atau hak berkeyakinan) dan hak memelihara kesucian keturunan (khifdz an nasl).
Menurut al Qur'an, meski masyarakat itu merupakan kerjasama horizontal antar manusia, tetapi ia merupakan bagian dari hubungan vertikal dengan Tuhan. Oleh karena itu di dalam ber musyarakah (bermasyarakat) juga ada dimensi teologis, misalnya; salat menjadi tidak relevan jika melupakan komitmen sosial. Neraka wail disediakan bagi orang yang salat tetapi acuh terhadap komitmen sosial, dan orang seperti itu oleh al Qur'an dipandang sebagai orang yang mendustakan agama , araitalladzi yukazzibu biddin (Q/107).
Demikian juga dalam hal tertib sosial, ketaatan kepada otoritas pemerintah disejajarkan dengan ketaatan kepada kepada Tuhan dan Rasul, athi`ullah wa athi`ur rasul wa uli al amri minkum (Q/4:59) . Dari hadis Nabi juga dapat diketahui bahwa rahmat Allah itu harus dipancing dengan komitmen sosial; irhamu man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama'. Kontrak sosial dalam pernikahan juga bersifat vertikal dan horizontal, istahlaltum furujahunna bi kalimatillah wa akhaztumuhunna bi amanatillah. artinya; kalian dihalalkan menyetubuhi istrimu dengan nama Alloh, dan kalian mengambil tanggung jawab atas isteri dengan amanat dari Alloh. Manusia tidak dibiarkan begitu saja oleh Tuhan, tetapi Menurut al Qur'an, Allah selalu hadir dalam kehidupan masyarakat (mengawasi); inna rabbaka labi al mirshad (Q/89:14).
Masyarakat terbentuk sebagai wujud ketergantungan individu terhadap orang lain, karena manusia memang makhluk sosial. Manusia akan menjadi apa dan siapa tergantung dengan siapa ia bermasyarakat. Manusia di satu sisi memiliki tabiat kooperatip, tabiat bekerjasama dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Di sisi lain manusia juga memiliki tabiat kompetitip, bersaing dengan yang lain dalam mencapai apa yang dibutuhkan. Tetapi manusia sebagai hayawanun nathiqun (hewan yang berfikir) terkadang lebih dominan hewannya dibanding berfikirnya.
Sebuah Hadis Rasul bahkan menyebut tiga klassifikasi manusia, yaitu (1) shinfun hayawanun; yakni manusia dengan tabiat binatang, (2) shinfun ajsamuhum bani Adam wa arwahuhum arwah as syayathin (manusia dengan tabiat syaitan) dan (3) shinfun fi dzillillah (manusia pilihan). Oleh karena itu dalam bermasyarakat, terutama ketika sedang berkompetisi ekpressi manusia bermacam-macam, ada yang lebih menonjol kebinatangannya, ada yang lebih menonjol kesyaitanannya, dan sedikit yang mencerminkan manusia pilihan.
Dalam hal manusia bertabiat hewan, ada yang seperti anjing (dengki), serigala (predator/buas) , ular (licik) , ayam jago ( ), dan lalat (yang bersih dan yang kotor diembat semua). Ciri
manusiabinatang adlah punya hati tapi tak berfungsi untuk berperasaan, punya mata tapi tak berfungsi untuk membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak, punya telinga tapi tak berfungsi untuk membedakan mana yang perlu didengar dan yang tidak boleh didengar. Sedangkan cirri manusia syaitan adalah mereka tidak memiliki perikemanusiaan sekaligus tidak juga memiliki perikebinatangan.
Al Qur'an sebagai petunjuk hidup manusia juga membimbing mereka dalam membangun sebuah masyarakat. Tatanan masyarakat yang dikehendaki al Qur'an adalah masyarakat yang adil , berdasarkan etika dan dapat bertahan di muka bumi, dan model masyarakat seperti itu hanya mungkin terwujud jika memiliki ideologi. Manusia memiliki kebutuhan fitri untuk mempertahankan hidupnya, oleh karena itu manusia terdorong untuk memiliki jaminan ekonomi dan jaminan rasa aman. Semua tatanan masyarakat sebenarnya dimaksud untuk memperoleh dua hal tersebut. Oleh karena itu tuntunan Al Qur'an dalam membangun masyarakat juga mengedepankan infratruktur kesejahteraan sosial bagi terwujudnya dua jaminan tersebut. Butir-butir al Qur'an tentang infrastruktur kesejahteraan sosial antara lain :
1. Kekayaan tidak boleh berputar di kalangan orang kaya saja, kaila yakun dulatan baina al aghniya (Q/59:7), di dalam harta si kaya ada hak orang miskin, wafi amwalihim haqqun lissa'ili wa al mahrum (Q/70:24-25) , zakat diratakan kepada kelompok yang membutuhkan (8 asnaf), harta kekayaan dipandang sebagai karunia Tuhan (fadhlullah (Q/62:10) dan modal kebaikan universal , faman tathawwa`a khairan fahuwa khairun lahu (q/2:184), berlomba-lomba menumpuk kekayaan dicela, alhakum attakatsur (Q/102), alladzi jama`a malan wa `addadahu
(Q/104) , riba juga dilarang (Q/30:39)
2. Keadilan harus ditegakkan, kunu qawwamuna bi al qisth (Q/4:135), kesaksian juga harus diberikan secara jujur, meski merugikan diri sendiri, kepada musuhpun harus bersikap adil, wala yajrimannakum syana'anu qaumin an ta`dilu (Q/5:8).
3. Untuk melanggengkan ikatan masyarakat, harus ada kepemimpinan kolektip, wa amruhum syura bainahum (Q/42:38), tetapi juga harus ada otoritas negara sebagai wakil masyarakat yang tertinggi, disebut ulil amri, dimana ia berwenang menegakkan hukum di tengah masyarakat, menengahi konflik sosial, dan mengamankan distribusi bagi kesejahteraan sosial.
4. Dalam hidup kemasyarakatan, unit kekeluargaan diperkukuh, ketaatan kepada orang tua sangat ditekankan , wa bil walidaini ihsana, wa dzil al qurba wa al yatama wa al masakin (Q/2:83) dan solidaritas sosial mukmin ditekankan, (Q/4:36).
5. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat, di buka pintu amar ma`ruf nahi munkar sebagai sistem kontrol sosial (Q/3:104)
6. Persekongkolan jahat sangat dicela, pemberontakan destruktip (bughat) kepada negara tidak dibolehkan, tetapi kritis kepada perilaku yang salah sangat dianjurkan.Nabi Nuh misalnya adalah pemberontak terhadap tatanan masyarakat yang menyimpang, fasad fi al ardh..
Lahirnya Masyarakat Islam Yang Pertama
Tiga belas tahun pertama risalah Nabi, yakni periode Makkah, Nabi belum berhasil membangun masyarakat dengan tatanan yang beretika dan berkesejahteraan sosial. Makkah bagaikan tanah tandus yang susah ditanami nilai-nilai ke Islaman. Keputusan Nabi untuk hijrah ke Madinah membuka peluang untuk lahirnya masyarakat Islam, yakni masyarakat yang memiliki tatanan etik dan sosial sesuai dengan ajaran Islam, atau yang sekarang disebut dengan nama masyarakat madani. Pertanyaan yang timbul adalah sejak kapan masyarakat Islam itu terwujud di Madinah ? Pendapat para ahli berbeda-beda, ada yang mengatakan ; (1) hanya enam bulan terakhir masa kenabian, (2) sejak berakhirnya perang Ahzab dan putusnya perjanjian Nabi dengan kaum Yahudi Madinah.
Yang menarik ialah perubahan nama kota Yatsrib yang oleh Nabi diganti menjadi Madinah. Penggantian nama Madinah bukan hanya sekedar nama tetapi mengandung konsep masyarakat. Jika Al Qur'an menyebut istilah khairo ummah (umat yang ideal) dan ummatan wasathan (umat yang berkeadilan/ penengah) , maka nama Madinah mengandung arti negeri dimana penduduknya hidup secara beradab atau berperadaban tinggi. Jika dilengkapi dengan al Munawwarah maka artinya peradaban tingi yang disinari atau diterangi (oleh wahyu). Jadi Kota madinah al Munawwarah adalah konsep civil society, masyarakat kota yang berperadaban tinggi dimana kebudayaannya bukan saja berdimensi horizontal tetapi mempunyai hubungan vertical, mengikuti panduan suci dari wahyu Tuhan.
Ada proses-proses bagaimana Nabi menegakkan pilar-pilar masyarakat Madinah, antara lain :
1. Mempersaudarakan pengungsi Makkah (Muhajirin) dengan penduduk Madinah (Ansar), dan kedua kelompok itu akhirnya menjadi pilar utama tegaknya masyarakat Islam di Madinah. Interaksi social antara kelompok Muhajirin dan Ansor sangat kental dan indah, dan nampaknya tak ada bandingannya baik dengan model sebelumn maupun sesudahnya hingga sekarang.
2. Mengatur tata pergaulan sosial dengan agama, baik dalam kehidupan rumah tangga atau ahwal as syahshiyyah (pernikahan dengan segala hal yang terkait/) maupun kehidupan sosial (mu`amalah).
3. Meneguhkan kedudukan dirinya (Rasul) sebagai pemimpin masyarakat, yang dalam menjalankan kebijakan selalu bermusyawarah dengan sahabat-sahabat besar (aspirasi masyarakat), otoritas Nabi seperti raja dalam Kerajaan, tapi aplikasinya berlangsung seperti dalam Negara Republik.
4. Menjalin perjanjian perdamaian dengan semua kekuatan sosial yang ada (terkenal dengan Piagam Madinah, mirip dengan Panca Sila)
5. Menegakan hukum yang disepakati (Piagam Madinah), antara lain menghukum para penghianat perjanjian.
6. Memberikan keteladanan yang sangat tinggi (uswah hasanah) dalam kehidupan sebagai pribadi, sebagai pemimpin keagamaan dan pemimpin masyarakat.
Selama sepuluh tahun periode Madinah, Nabi bukan saja berhasil membangun masyarakat madani di kota Madinah, tetapi juga berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung Arabia dalam kesatuan wilayah politik.
Pilar-Pilar Masyarakat Islami.
Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa masyarakat adalah kumpulan dari orang banyak yang berbeda-beda tetapi menyatu dalam ikatan kerjasama, dan mematuhi peraturan yang disepakati bersama. Masyarakat yang ideal adalah yang meski mereka memiliki sub jati diri yang berbeda-beda tetapi mereka menyatu dalam satu identitas masyarakat, mematuhi peraturan yang disepakati bersama dan bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Sepintas pemikiran ini sejalan dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi ruh terbangunnya bangsa Indonesia. Tujuan bersama masayarakat adalah membangun kesejahteraan sosial dimana setiap indifidu terlindungi hak-haknya oleh sistem sosial. Sistem sosial akan kuat jika didukung oleh sub sistem yang menjadi pilarnya.
Harus dibedakan antara nama masyarakat Islam dan masyarakat Islami. Masyarakat Islam adalah kumpulan masyarakat yang beragama Islam dan memberlakukan nilai-nilai Islam, sedangkan masyarakat Islami adalah masyarakat yang didalamnya berlaku nilai-nilai Islam, meski mereka menganut berbagai agama.
Jika suatu masyarakat terbangun sesuai dengan konsep tersebut diatas maka tatanan masyarakat itu akan sangat indah, apa yang oleh Nabi disebut sebagai taman (bustan). Dunia manusia (masyarakat) itu berpeluang menjadi taman yang indah (bustan) jika didukung oleh pilar-pilar yang kuat. Ad dunya bustanun tuzuyinat bikhamsati asy ya'. Menurut Nabi ada enam pilar yang diperlukan bagi terbangunnya taman manusia, yaitu (1) ilmunya ulama, (2) keadilan penguasa, (3) kejujuran para pengusaha (4) kemurahan hati orang kaya, (5) doa orang miskin dan (6) disiplin para pekerja (7) ibadahnya para hamba.
Pilar pertama ; ilmunya ulama
Yang dimaksud ulama dalam konteks ini adalah para ahli, ilmuwan tidak terbatas pada ahli ilmu agama. Yang dimaksud ilmunya ulama sebagai pilar masyarakat adalah konsep ilmiyah. Suatu tatanan masyarakat harus berdiri diatas konsep ilmiyah. Undang-undang, peraturan, Struktur organisasi dan program-program harus teruji secara ilmiah. Sebuah konsep harus didasari oleh filosofi ya\ng benar dan struktur pemikiran yang logis. Dengan konsep yang logis maka dinamika masyarakat bisa direkayasa (sosial engeenering) dan diprediksi. Pada tataran masyarakat manapun ulama (ilmuwan) menempati kedudukan yang terhormat.
Pilar Kedua; Keadilan Penguasa (Umara)
Ketika sebuah konsep diaplikasikan maka ia harus dipatuhi secara konsisten dan proporsional menyangkut tertib, sistem, kadar dan peruntukan. Sebaik apapun suatu konsep jika ketika diterapkan tidak dipatuhi maka hasilnya tidak akan optimal atau bahkan gagal. Yang berwenang mengawasi agar suatu peraturan berlangsung sebagaimana mestinya adalah Pemerintah atau Penguasa (Umara) dalam semua tingkatanya. Jika Pemerintah menjalankan secara benar maka ia disebut adil. Jika dalam menjalankan peraturan itu banyak penyimpangan, distorsi dan korupsi maka ia disebut zalim. Keadilan Penguasa merupakan pilar kedua yang menjamin terbangunnya masyarakat sebagai taman inah.
Pilar Ketiga ; Kejujuran Para Pengusaha
Dalam tatanan masyarakat manapun ada kelompok pengusaha, yakni mereka yang bekerja mendekatkan masyarakat dari kebutuhannya yang dengan itu masyarakat merasa nyaman dalam hidupnya karena segala kebutuhannya mudah dijangkau. Untuk jasa mendekatkan masyarakat dari kebutuhannya pengusaha atau pedagang boleh mengambil keuntungan.
Jika dunia usaha tumbuh dengan sehat maka kehidupan masyarakat akan dinamis dan semarak. Tetapi pengusaha juga punya peluang untuk memeras masyarakat dan menghancurkan tatanannya, yaitu jika para pengusaha tidak jujur atau tidak amanah. Pengusaha dapat memark up harga, kongkalingkong dengan penguasa, manipulasi kualitas,
manipulasi pajak dan sebagainya yang bisa berdampak pada hilangnya rasa kepercayaan (trust) masyarakat. Jika kepercayaan sudah hilang, maka hidup di tengah masyarakat seperti itu sama sekali tidak nyaman. Kejujuran pengusaha dikontrol oleh Pemerintah dan masyarakat, jika aparat Pemerintah (umara) berhasil disuap oleh pengusaha sehinga keuangan negara dibobol, kualitas produk dipalsu maka yang dirugikan adalah masyarakat dan negara. Disinilah perlunya aparat yang kuat mental sehingga mereka tetap bertindak adil
Pilar Ke Empat : Kemurahan Hati Orang Kaya
Pada tataran masyarakat manapun ada kelompok orang kaya dan kelompok orang miskin. Secara sosiologis orang kaya biasanya dekat dengan penguasa, dan bahkan ada masyarakat dimana penguasa dikendalikan oleh pengusaha. Dalam dunia modern seringkali terjadi yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Akibatnya kecemburuan sosial terjadi, orang miskin membenci orang kaya, orang kaya mempersempit ruang gerak orang miskin. Dalam praktek sering terjadi pengusaha diperalat oleh orang kaya justeru untk menindas orang msikin sekaligus melindungi orang kaya.
Orang kaya akan menjadi pilar masyarakat apabila mereka memiliki sifat murah hati. Mereka berfikir positip terhadap lapisan orang miskin, sehingga dengan segala cara melakukan usaha bagaimana meningkatkan kesejahteraan orang miskin. Harus diakui bahwa orang kaya biasanya lebih kreatip dibanding orang miskin. Orang kaya yang murah hati biasanya dicintai dan dibela oleh orang miskin, dan ini memberi kontribusi yang sangat besar pada stabilitas sosial, karena kecemburuan sosial justeru sangat rentan terhadap munculnya perilaku anarkis orang miskin terhadap orang kaya.
Pilar Kelima : Doa orang miskin
Orang-orang miskin secara ekonomi adalah kaum lemah yang terkadang menjadi beban Pemerintah. Secara sosiologis psikologis kelompok miskin (proletar menurut term komunis) bisa berubah menjadi bara panas yang bisa mengguncangkan tatanan sosial. Di negeri-negeri
Komunis lapisan orang miskin dijadikan ikon perjuangan politik melawan orang kaya (borjuis). Di Jakarta ada kelompok kecil yang menjadikan orang miskin perkotaan sebagai ikon perjuangan politik melawan kemapanan, meski kecil tetapi sangat efektip untuk mengguncang- guncang ibu kota. Kemiskinan adalah musuh, tetapi apa persepsi musuh bisa berbeda-beda.
Untuk memadamkan bara api kemiskinan dapat dilakukan dengan pemberlakuan pola hidup sederhana, yakni meski orang kaya tetapi pola konsumsi tetap sederhana, sekedar meme nuhi kebutuhan obyektip. Pamer kemewahan dari kelompok orang kaya akan mudah sekali menumbuhkan kecumburuan sosial yang bisa dipropokasi untuk menjadi anarki. Tetapi jika lapisan orang miskin tidak cemburu kepada orang kaya, apalagi jika merasa terbuka peluang obyektipnya untuk berjuang, dan merasakan kehangatan dari kemurahan hati orang kaya, maka orang-orang miskin akan selalu mendoakan secara berjamaah, berdoa untuk pemimpinnya dan berdoa untuk orang-orang baik.
Nah doa orang miskin mempunyai peran signifikan dalam membangun rasa tenteram masyarakat. Orang miskin yang sabar pada umumnya didalam jiwanya penuh dengan rasa kasih sayang yang oleh karena itu sangat terdorong untuk berdoa, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, sementara orang msikin yang merasa teraniaya pada umumnya dipenuhi rasa marah dan dendam yang mudah sekali dipropokasi untuk melakukan tindak anarkis.
Pilar keenam; Disiplin Para Pekerja
Dari delapan asnaf yang berhak menerima zakat ada yang disebut `amilin, yakni orang-orang yang bekerja mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. Maknanya setiap program, pekerjaan dan usaha pasti ada elemen pekerja atau buruh, dan mereka adalah bagian dari produksi yang berhak menerima upah. Tanpa pekerja pabrik tak akan jalan, tanpa pegawai Pemerintah tak akan jalan, tanpa karyawan institusi usaha tak kan jalan. Jadi pekerja adalah bagian dari produksi yang juga sangat menentukan tingkat produktiftas sebuah lembaga. Buruh adalah orang yang menggantungkan hidupnya dari upah kerja, dimana modalnya bukan uang tetapi tenaga dan kepandaian. Oleh karena itu agama menganjurkan agar upah kerja dibayarkan segera sebelum "keringatnya" kering.
Maknanya karena buruh hidupnya sangat bergantung kepada gaji maka pembayaran gaji tidak boleh ditunda, sesuai dengan sistemnya, harian, mingguan, bulanan atau borongan. Di negara industeri kaum buruh sangat besar peranannya hingga mereka bisa mengontrol pemerintahan
dengan mendirkan Partai Buruh . Gerakan buruh yang kompak juga bisa mengguncangkan sendi-sendi pemerintahan. Oleh karena itu perlu ada sistem perburuhan yang menjamin kesejahteraan kaum pekerja, dan disiplin kaum pekerja akan menjadi pilar dari keindahan taman dunia.
V3_MALENDRA
Senin, 25 Juli 2011
Selasa, 19 Juli 2011
makalah
SEJARAH PERKEMBANGAN
TAFSIR
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Ulumul Qur’an
Disusun oleh :
JURUSAN TARBIYAH (PAI)
SEKOLAH TINGGI ISLAM NEGERI SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Penafsiran al-quran telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64). Mufasirnya adalah Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.
Seiring telah dilakukan penafsiran oleh Nabi SAW dan para sahabat, maka secara tidak langsung ilmu tafsir telah ada pada waktu itu, meskipun belum dibukukan, apalagi dikaji secara ilmiah , teoritis dan sistematis. Berarti ilmu tafsir merupakan ilmu tertua dalam khazanah intelektual islam meskipun pembukuan dimulai pada abad ketiga Hijriyah. Dalam waktu yang demikian panjang, jelaslah telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan yang amat menonjol dalam kajian penafsiran Al-Qur’an sampai abad modern sebagai kita saksikan dewasa ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis mengambil judul “Sejarah Perkembangan Tafsir” yang bisa membantu untuk mengetahui lebih dalam tentang tafsir Al-Qur’an. Terutama kepada kaum muda agar lebih termotivasi untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dengan mengetahui sejarah perkembangan tafsir diperoleh penafsiran Al-Qur’an yang lebih kondusif dengan tuntunan zaman yang semakin kompleks. Dengan begitu akan terasa bahwa Al-Qur’an selalu hangat (update) dan tak pernah kadaluarsa (outdate) serta senantiasa menarik bagi umat di muka bumi ini.
BAB II
ISI
A. TAFSIR PADA MASA RASULULLAH DAN SAHABAT
Pada saat Al Qur’an diturunkan Rosulullah menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya makna yang terkandung dalam AL Qur’an karena merupakan tugas beliau sebagai penyampai Risalah-Nya. Khususnya untuk yat-ayat yang tidak jelas maknanya atau samar artinya. Keadaan ini berlansung hingga Beliau wafat. Walaupun tidak semua isi kandungan AL Qur’an kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat yang menjelaskannya karena Rosulullah sendiri pun tidak menjelaskan semua kandungan Al Qur’an. Setelah wafat mereka terpaksa melakukan Ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali Bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ubay Bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.
Sementara ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam AL Qur’an kepada tokoh-tokoh ahlul kitab seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al Ahbar, dan lain-lain. Inilah merupakan benih-benih timbulnya Isroiliyat.
Penafsiran sahabat terhadap Al-Qur’an mengacu pada inti dan kandungan Al-Qur’an, mengarah pada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung serta menggambarkan makna yang tinggi dan ayat yang berisi nasihat, petunjuk, kisah-kisah agamis, penuturan keadaan umat terdahulu, penjelasan maksud peribahasa dan ayat yang dijadikan Alloh sebagai contoh bagi manusia untuk dipikirkan dan direnungkan, nasihat yang baik, dan maksud Al-Qur’an yang lain.
Untuk semua itu, para sahabat banyak merujuk pada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunnya ayat dan peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat. Oleh karenanya, mereka tidak mengkaji dari segi Nahwu,I’rab dan macam-macam balaghah, yaitu ilmu Ma’any, Bayan dan Badi’, Majaz, dan Kinayah.
Mereka juga tidak mengkaji segi lafadh, susunan kalimat, hubungan suatu ayat dengan ayat sebelumnya dan segi lain yang sangat diperhatikan oleh mufassir kemudian (mutaakhirin), oleh karena mereka mempunyai dzauq (rasa kebahasan) dan mereka mengetahui hal itu semua dengan fithrah mereka, tidak seperti kita yang baru mengetahui hal itu semua berdasarkan kaidah dan dari kitab serta hasil kajian.
Para ahli tafsir banyak mengambil manfaat dari apa yang mereka riwayatkan dari Ibn Abbas tentang penafsiran terhadap Al-Qur’an, sebagaimana imam Al-Suyuthy berkata : ”Yang paling utama dijadikan sebagai rujukan dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an adalah penafsiran Ibn Abbas dan sahabat yang belajar darinya, karena dari mereka lahir penafsiran yang menyeluruh terhadap hal-hal yang gharib (amat sulit) dari Al-Qur’an.
Setelah Ibn Abbas terkenal pula ahli tafsir yang lain, yaitu Mujahid, Muqatil, Ikrimah, Ibn Jubair, Thawus, Sa’id Ibn Al-Musayyab, Hasan Al-Bashry dan lainnya.
Demikianlah, para sahabat pada masa awal diturunkan Al-Qur’an mampu memahaminya dengan pemahaman yang mendalam, mereka dapat menangkap sinar Al-Qur’an dengan pemahaman yang sempurna dan mengkajinya sehingga dapat mengetahui penjelasannya dalam berbagai bentuk ungkapan yang berbeda-beda. Akan tetapi mereka tidak sampai merumuskan kaidah-kaidah balaghah yang sangat diperlukan oleh generasi dan perkembangan manusia berikutnya. Oleh karena itu, dari mereka tidak ditemukan prinsip-prinsip tentang kaidah tersebut, sebab dengan fithrah mereka mampu mengetahui unsur balaghah, seperti ijaz, ithnab,haqiqah, majaz, tasybih, kinayah, dan lainnya.
B. TAFSIR PADA MASA TABI’IN
Orang yang mengkaji sejarah tafsir tidak hanya berkepentingan baginya mengkaji hakekat sejarahnya, oleh karena ia mempunyai relefansi yang kuat dengan metode tafsir pada masa itu dan perkembangan ilmiah dalam tafsir pada masa-masa berikutnya. Akan tetapi ia harus pula mengemukakan bukti dari sejarah para Ulama tafsir yang telah menghabiskan usia untuk menafsirkan ayat-ayat Allah, mengabdikan dirinya untuk AL Qur’an, merenungkan rahasia-rahasia dari setiap ayatnya dan memikirkan setiap maknanya. Mereka berhasil mengkaji dalil nash dari berbagai seginya. Mereka mengkaji setiap huruf yang terdapat pada suatu kata, kalimat yang terdapat pada suatu ayat yang terdapat pada suatu surat. Mereka meneliti setiap huruf dengan teliti dan cermat, menyingkap muatan setiap kata dari kalam Allah, memperhatikan konteks kalimat dan mengungkap rahasia-rahasia huruf yang dikenal dalam ilmu Nahwu pada konteksnya dalam Al Qur’an, yaitu huruf ‘athaf
C. KODIFIKASI TAFSIR
Penafsiran Rosulullah SAW dan penafsiran sahabat, tabi’in dan tabiun tabi’in yang bersumber dari Rosulullah, dari mulut ke mulut telah menyebar di berbagai kalangan kaum muslimin, tetapi belum terbukukan dalam satu kitab atau lembaran-lembaran sampai masa dimulai pembukuan Hadist Rosulullah pada Sayyidina Umar bin Abdul Al Azis ( kholifah ke VIII dari kholifah Bany Umayah ) pada tahun 99 H. kemudian, bersamaan dengan itu dibukukan pula tafsir dan tafsir merupakan salah satu dari bab-bab dalam kitab Hadist.
Tidak ada satupun para ulama’ yang sampai menyusun tafsir secara tersendiri ( terpisah dari kitab hadist ) yang didalamnya Al Qur’an ditafsirkan surat demi surat secara utuh. Para ulama’ dari kawasan wilayah kekuasaan Islam setelah masa sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, hanyalah mengumpulkan hadist-hadist yang diriwayatkan dari Rosulullah yang berfungsi sebagai penafsir dari ayat-ayat Al Qur’an. Demikianlah, sampai sekarang dalam kitab-kitab hadist terdapat bab-bab tertentu yang mengemukakan hadist-hadist yang berfungsi sebagai penafsir Al Qur’an sesuai urutan dalam Mushhaf.
Keadaan demikian berlansung sampai pada masa-masa terakhir dari Bani Umayah dan masa-masa awal Abbasiyah. Setelah itu timbullah gerakan ilmiah dan mulailah masa pembukuan ilmu-ilmu agama dan science serta klasifikasi, pembagian bab-bab dan sistematikannya. Tafsir terpisah dari hadist: ia merupakan ilmu yang berdiri sendiri dan dilakukanlah penafsiran terhadap setiap ayat Al Qur’an dari awal sampai akhir. Hal ini disebabkan kaum muslimin telah memasuki masa-masa suram dan mereka membutuhkan hasil penafsiran Al Qur’an yang dilakukan oleh para ulama’ yang mempunyai Ilmu yang mendalam tentang bahasa Arab dan keahlian dalam ilmu agama.
Tafsir yang pertama kali lahir pada masa itu adalah Tafsir Ibnu Abbas. Diriwayatkan, bahwa Abdullah ibnu Abbas menyimpan catatan-catatan yang didalamnya dibukukan sebagian dari apa yang ia dengar dari Rosulullah SAW.
Sa’id bin jubair menulis riwayat-riwayat dari Abdullah bin Abbas, demikian juga dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abu Huroiroh dan lain-lainnya. Sementara itu pembagian bab dan sistematisasi terhadap hadits-hadits Nabi sesuai dengan urutan surat dan ayat Al Qur’an baru tersusun oada akhir abad kedua hijriah.
Diriwayatkan, bahwa Abu Ubaidah, yakni Ma’mar bin Al Mutsanna, adalah penyusun tafsir pertama; ia mengarang sebuah kitab yang diberi nama Manhaj fy Al Qur’an pada tahun 188 H. penafsiran terhadap kitabnya itu dilakukan sesuai dengan urutan dalam Al Qur’an, sehingga generasi setelahnya tidak menemui kesulitan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Rasulullah berkewajiban menjelaskan tentang penafsiran al-qura’n kepada para sahabat tapi karena tidak dijelaskan sampai akhir mengakibatkan sahabat ada yang melakukan ijtihad. Dengan mengambil riwayat dari ibn abbas sahabat mampu memahami al-quran dengan pemahaman yang mendalam tetapi tidak sampai merumuskan balaghah yang diperlukan untuk generasi berikutnya.
2. Penafsiran yang dilakukan rasulullah, sahabat serta tabi’un tabi’in belum dilakukan dalam bentuk kitab sehingga masih ada kesulitan untuk mempelajarinya. Barulah pada masa akhir bani umayyah dilakukan pembukuan dari penafsiran al-quran. Tafsir yang dilakukan mulai dari ibnu abbas, sa’id bin jubair, dan abu ubaidah.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nasrudin.Rekonstruksi Ilmu Tafsir, STAIN Surakarta:1999
Anwar, Rohisan, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia Bandung : 2000
Al-‘Arid, ‘Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada : 1994
SEJARAH PERKEMBANGAN
TAFSIR
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Islah Gusmian, S.Ag, M.Ag
Disusun oleh :
Muryadi ( 26.09.3.1.177 )
Ninik Sholikah ( 26.09.3.1.185 )
Nur Arina Mudmainah ( 26.09.3.1.188)
JURUSAN TARBIYAH (PAI)
SEKOLAH TINGGI ISLAM NEGERI SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Penafsiran al-quran telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64). Mufasirnya adalah Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.
Seiring telah dilakukan penafsiran oleh Nabi SAW dan para sahabat, maka secara tidak langsung ilmu tafsir telah ada pada waktu itu, meskipun belum dibukukan, apalagi dikaji secara ilmiah , teoritis dan sistematis. Berarti ilmu tafsir merupakan ilmu tertua dalam khazanah intelektual islam meskipun pembukuan dimulai pada abad ketiga Hijriyah. Dalam waktu yang demikian panjang, jelaslah telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan yang amat menonjol dalam kajian penafsiran Al-Qur’an sampai abad modern sebagai kita saksikan dewasa ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis mengambil judul “Sejarah Perkembangan Tafsir” yang bisa membantu untuk mengetahui lebih dalam tentang tafsir Al-Qur’an. Terutama kepada kaum muda agar lebih termotivasi untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dengan mengetahui sejarah perkembangan tafsir diperoleh penafsiran Al-Qur’an yang lebih kondusif dengan tuntunan zaman yang semakin kompleks. Dengan begitu akan terasa bahwa Al-Qur’an selalu hangat (update) dan tak pernah kadaluarsa (outdate) serta senantiasa menarik bagi umat di muka bumi ini.
BAB II
ISI
A. TAFSIR PADA MASA RASULULLAH DAN SAHABAT
Pada saat Al Qur’an diturunkan Rosulullah menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya makna yang terkandung dalam AL Qur’an karena merupakan tugas beliau sebagai penyampai Risalah-Nya. Khususnya untuk yat-ayat yang tidak jelas maknanya atau samar artinya. Keadaan ini berlansung hingga Beliau wafat. Walaupun tidak semua isi kandungan AL Qur’an kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat yang menjelaskannya karena Rosulullah sendiri pun tidak menjelaskan semua kandungan Al Qur’an. Setelah wafat mereka terpaksa melakukan Ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali Bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ubay Bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.
Sementara ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam AL Qur’an kepada tokoh-tokoh ahlul kitab seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al Ahbar, dan lain-lain. Inilah merupakan benih-benih timbulnya Isroiliyat.
Penafsiran sahabat terhadap Al-Qur’an mengacu pada inti dan kandungan Al-Qur’an, mengarah pada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung serta menggambarkan makna yang tinggi dan ayat yang berisi nasihat, petunjuk, kisah-kisah agamis, penuturan keadaan umat terdahulu, penjelasan maksud peribahasa dan ayat yang dijadikan Alloh sebagai contoh bagi manusia untuk dipikirkan dan direnungkan, nasihat yang baik, dan maksud Al-Qur’an yang lain.
Untuk semua itu, para sahabat banyak merujuk pada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunnya ayat dan peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat. Oleh karenanya, mereka tidak mengkaji dari segi Nahwu,I’rab dan macam-macam balaghah, yaitu ilmu Ma’any, Bayan dan Badi’, Majaz, dan Kinayah.
Mereka juga tidak mengkaji segi lafadh, susunan kalimat, hubungan suatu ayat dengan ayat sebelumnya dan segi lain yang sangat diperhatikan oleh mufassir kemudian (mutaakhirin), oleh karena mereka mempunyai dzauq (rasa kebahasan) dan mereka mengetahui hal itu semua dengan fithrah mereka, tidak seperti kita yang baru mengetahui hal itu semua berdasarkan kaidah dan dari kitab serta hasil kajian.
Para ahli tafsir banyak mengambil manfaat dari apa yang mereka riwayatkan dari Ibn Abbas tentang penafsiran terhadap Al-Qur’an, sebagaimana imam Al-Suyuthy berkata : ”Yang paling utama dijadikan sebagai rujukan dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an adalah penafsiran Ibn Abbas dan sahabat yang belajar darinya, karena dari mereka lahir penafsiran yang menyeluruh terhadap hal-hal yang gharib (amat sulit) dari Al-Qur’an.
Setelah Ibn Abbas terkenal pula ahli tafsir yang lain, yaitu Mujahid, Muqatil, Ikrimah, Ibn Jubair, Thawus, Sa’id Ibn Al-Musayyab, Hasan Al-Bashry dan lainnya.
Demikianlah, para sahabat pada masa awal diturunkan Al-Qur’an mampu memahaminya dengan pemahaman yang mendalam, mereka dapat menangkap sinar Al-Qur’an dengan pemahaman yang sempurna dan mengkajinya sehingga dapat mengetahui penjelasannya dalam berbagai bentuk ungkapan yang berbeda-beda. Akan tetapi mereka tidak sampai merumuskan kaidah-kaidah balaghah yang sangat diperlukan oleh generasi dan perkembangan manusia berikutnya. Oleh karena itu, dari mereka tidak ditemukan prinsip-prinsip tentang kaidah tersebut, sebab dengan fithrah mereka mampu mengetahui unsur balaghah, seperti ijaz, ithnab,haqiqah, majaz, tasybih, kinayah, dan lainnya.
B. TAFSIR PADA MASA TABI’IN
Orang yang mengkaji sejarah tafsir tidak hanya berkepentingan baginya mengkaji hakekat sejarahnya, oleh karena ia mempunyai relefansi yang kuat dengan metode tafsir pada masa itu dan perkembangan ilmiah dalam tafsir pada masa-masa berikutnya. Akan tetapi ia harus pula mengemukakan bukti dari sejarah para Ulama tafsir yang telah menghabiskan usia untuk menafsirkan ayat-ayat Allah, mengabdikan dirinya untuk AL Qur’an, merenungkan rahasia-rahasia dari setiap ayatnya dan memikirkan setiap maknanya. Mereka berhasil mengkaji dalil nash dari berbagai seginya. Mereka mengkaji setiap huruf yang terdapat pada suatu kata, kalimat yang terdapat pada suatu ayat yang terdapat pada suatu surat. Mereka meneliti setiap huruf dengan teliti dan cermat, menyingkap muatan setiap kata dari kalam Allah, memperhatikan konteks kalimat dan mengungkap rahasia-rahasia huruf yang dikenal dalam ilmu Nahwu pada konteksnya dalam Al Qur’an, yaitu huruf ‘athaf
C. KODIFIKASI TAFSIR
Penafsiran Rosulullah SAW dan penafsiran sahabat, tabi’in dan tabiun tabi’in yang bersumber dari Rosulullah, dari mulut ke mulut telah menyebar di berbagai kalangan kaum muslimin, tetapi belum terbukukan dalam satu kitab atau lembaran-lembaran sampai masa dimulai pembukuan Hadist Rosulullah pada Sayyidina Umar bin Abdul Al Azis ( kholifah ke VIII dari kholifah Bany Umayah ) pada tahun 99 H. kemudian, bersamaan dengan itu dibukukan pula tafsir dan tafsir merupakan salah satu dari bab-bab dalam kitab Hadist.
Tidak ada satupun para ulama’ yang sampai menyusun tafsir secara tersendiri ( terpisah dari kitab hadist ) yang didalamnya Al Qur’an ditafsirkan surat demi surat secara utuh. Para ulama’ dari kawasan wilayah kekuasaan Islam setelah masa sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, hanyalah mengumpulkan hadist-hadist yang diriwayatkan dari Rosulullah yang berfungsi sebagai penafsir dari ayat-ayat Al Qur’an. Demikianlah, sampai sekarang dalam kitab-kitab hadist terdapat bab-bab tertentu yang mengemukakan hadist-hadist yang berfungsi sebagai penafsir Al Qur’an sesuai urutan dalam Mushhaf.
Keadaan demikian berlansung sampai pada masa-masa terakhir dari Bani Umayah dan masa-masa awal Abbasiyah. Setelah itu timbullah gerakan ilmiah dan mulailah masa pembukuan ilmu-ilmu agama dan science serta klasifikasi, pembagian bab-bab dan sistematikannya. Tafsir terpisah dari hadist: ia merupakan ilmu yang berdiri sendiri dan dilakukanlah penafsiran terhadap setiap ayat Al Qur’an dari awal sampai akhir. Hal ini disebabkan kaum muslimin telah memasuki masa-masa suram dan mereka membutuhkan hasil penafsiran Al Qur’an yang dilakukan oleh para ulama’ yang mempunyai Ilmu yang mendalam tentang bahasa Arab dan keahlian dalam ilmu agama.
Tafsir yang pertama kali lahir pada masa itu adalah Tafsir Ibnu Abbas. Diriwayatkan, bahwa Abdullah ibnu Abbas menyimpan catatan-catatan yang didalamnya dibukukan sebagian dari apa yang ia dengar dari Rosulullah SAW.
Sa’id bin jubair menulis riwayat-riwayat dari Abdullah bin Abbas, demikian juga dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abu Huroiroh dan lain-lainnya. Sementara itu pembagian bab dan sistematisasi terhadap hadits-hadits Nabi sesuai dengan urutan surat dan ayat Al Qur’an baru tersusun oada akhir abad kedua hijriah.
Diriwayatkan, bahwa Abu Ubaidah, yakni Ma’mar bin Al Mutsanna, adalah penyusun tafsir pertama; ia mengarang sebuah kitab yang diberi nama Manhaj fy Al Qur’an pada tahun 188 H. penafsiran terhadap kitabnya itu dilakukan sesuai dengan urutan dalam Al Qur’an, sehingga generasi setelahnya tidak menemui kesulitan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Rasulullah berkewajiban menjelaskan tentang penafsiran al-qura’n kepada para sahabat tapi karena tidak dijelaskan sampai akhir mengakibatkan sahabat ada yang melakukan ijtihad. Dengan mengambil riwayat dari ibn abbas sahabat mampu memahami al-quran dengan pemahaman yang mendalam tetapi tidak sampai merumuskan balaghah yang diperlukan untuk generasi berikutnya.
2. Penafsiran yang dilakukan rasulullah, sahabat serta tabi’un tabi’in belum dilakukan dalam bentuk kitab sehingga masih ada kesulitan untuk mempelajarinya. Barulah pada masa akhir bani umayyah dilakukan pembukuan dari penafsiran al-quran. Tafsir yang dilakukan mulai dari ibnu abbas, sa’id bin jubair, dan abu ubaidah.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nasrudin.Rekonstruksi Ilmu Tafsir, STAIN Surakarta:1999
Anwar, Rohisan, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia Bandung : 2000
Al-‘Arid, ‘Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada : 1994
TAFSIR
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Ulumul Qur’an
Disusun oleh :
JURUSAN TARBIYAH (PAI)
SEKOLAH TINGGI ISLAM NEGERI SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Penafsiran al-quran telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64). Mufasirnya adalah Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.
Seiring telah dilakukan penafsiran oleh Nabi SAW dan para sahabat, maka secara tidak langsung ilmu tafsir telah ada pada waktu itu, meskipun belum dibukukan, apalagi dikaji secara ilmiah , teoritis dan sistematis. Berarti ilmu tafsir merupakan ilmu tertua dalam khazanah intelektual islam meskipun pembukuan dimulai pada abad ketiga Hijriyah. Dalam waktu yang demikian panjang, jelaslah telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan yang amat menonjol dalam kajian penafsiran Al-Qur’an sampai abad modern sebagai kita saksikan dewasa ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis mengambil judul “Sejarah Perkembangan Tafsir” yang bisa membantu untuk mengetahui lebih dalam tentang tafsir Al-Qur’an. Terutama kepada kaum muda agar lebih termotivasi untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dengan mengetahui sejarah perkembangan tafsir diperoleh penafsiran Al-Qur’an yang lebih kondusif dengan tuntunan zaman yang semakin kompleks. Dengan begitu akan terasa bahwa Al-Qur’an selalu hangat (update) dan tak pernah kadaluarsa (outdate) serta senantiasa menarik bagi umat di muka bumi ini.
BAB II
ISI
A. TAFSIR PADA MASA RASULULLAH DAN SAHABAT
Pada saat Al Qur’an diturunkan Rosulullah menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya makna yang terkandung dalam AL Qur’an karena merupakan tugas beliau sebagai penyampai Risalah-Nya. Khususnya untuk yat-ayat yang tidak jelas maknanya atau samar artinya. Keadaan ini berlansung hingga Beliau wafat. Walaupun tidak semua isi kandungan AL Qur’an kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat yang menjelaskannya karena Rosulullah sendiri pun tidak menjelaskan semua kandungan Al Qur’an. Setelah wafat mereka terpaksa melakukan Ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali Bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ubay Bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.
Sementara ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam AL Qur’an kepada tokoh-tokoh ahlul kitab seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al Ahbar, dan lain-lain. Inilah merupakan benih-benih timbulnya Isroiliyat.
Penafsiran sahabat terhadap Al-Qur’an mengacu pada inti dan kandungan Al-Qur’an, mengarah pada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung serta menggambarkan makna yang tinggi dan ayat yang berisi nasihat, petunjuk, kisah-kisah agamis, penuturan keadaan umat terdahulu, penjelasan maksud peribahasa dan ayat yang dijadikan Alloh sebagai contoh bagi manusia untuk dipikirkan dan direnungkan, nasihat yang baik, dan maksud Al-Qur’an yang lain.
Untuk semua itu, para sahabat banyak merujuk pada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunnya ayat dan peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat. Oleh karenanya, mereka tidak mengkaji dari segi Nahwu,I’rab dan macam-macam balaghah, yaitu ilmu Ma’any, Bayan dan Badi’, Majaz, dan Kinayah.
Mereka juga tidak mengkaji segi lafadh, susunan kalimat, hubungan suatu ayat dengan ayat sebelumnya dan segi lain yang sangat diperhatikan oleh mufassir kemudian (mutaakhirin), oleh karena mereka mempunyai dzauq (rasa kebahasan) dan mereka mengetahui hal itu semua dengan fithrah mereka, tidak seperti kita yang baru mengetahui hal itu semua berdasarkan kaidah dan dari kitab serta hasil kajian.
Para ahli tafsir banyak mengambil manfaat dari apa yang mereka riwayatkan dari Ibn Abbas tentang penafsiran terhadap Al-Qur’an, sebagaimana imam Al-Suyuthy berkata : ”Yang paling utama dijadikan sebagai rujukan dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an adalah penafsiran Ibn Abbas dan sahabat yang belajar darinya, karena dari mereka lahir penafsiran yang menyeluruh terhadap hal-hal yang gharib (amat sulit) dari Al-Qur’an.
Setelah Ibn Abbas terkenal pula ahli tafsir yang lain, yaitu Mujahid, Muqatil, Ikrimah, Ibn Jubair, Thawus, Sa’id Ibn Al-Musayyab, Hasan Al-Bashry dan lainnya.
Demikianlah, para sahabat pada masa awal diturunkan Al-Qur’an mampu memahaminya dengan pemahaman yang mendalam, mereka dapat menangkap sinar Al-Qur’an dengan pemahaman yang sempurna dan mengkajinya sehingga dapat mengetahui penjelasannya dalam berbagai bentuk ungkapan yang berbeda-beda. Akan tetapi mereka tidak sampai merumuskan kaidah-kaidah balaghah yang sangat diperlukan oleh generasi dan perkembangan manusia berikutnya. Oleh karena itu, dari mereka tidak ditemukan prinsip-prinsip tentang kaidah tersebut, sebab dengan fithrah mereka mampu mengetahui unsur balaghah, seperti ijaz, ithnab,haqiqah, majaz, tasybih, kinayah, dan lainnya.
B. TAFSIR PADA MASA TABI’IN
Orang yang mengkaji sejarah tafsir tidak hanya berkepentingan baginya mengkaji hakekat sejarahnya, oleh karena ia mempunyai relefansi yang kuat dengan metode tafsir pada masa itu dan perkembangan ilmiah dalam tafsir pada masa-masa berikutnya. Akan tetapi ia harus pula mengemukakan bukti dari sejarah para Ulama tafsir yang telah menghabiskan usia untuk menafsirkan ayat-ayat Allah, mengabdikan dirinya untuk AL Qur’an, merenungkan rahasia-rahasia dari setiap ayatnya dan memikirkan setiap maknanya. Mereka berhasil mengkaji dalil nash dari berbagai seginya. Mereka mengkaji setiap huruf yang terdapat pada suatu kata, kalimat yang terdapat pada suatu ayat yang terdapat pada suatu surat. Mereka meneliti setiap huruf dengan teliti dan cermat, menyingkap muatan setiap kata dari kalam Allah, memperhatikan konteks kalimat dan mengungkap rahasia-rahasia huruf yang dikenal dalam ilmu Nahwu pada konteksnya dalam Al Qur’an, yaitu huruf ‘athaf
C. KODIFIKASI TAFSIR
Penafsiran Rosulullah SAW dan penafsiran sahabat, tabi’in dan tabiun tabi’in yang bersumber dari Rosulullah, dari mulut ke mulut telah menyebar di berbagai kalangan kaum muslimin, tetapi belum terbukukan dalam satu kitab atau lembaran-lembaran sampai masa dimulai pembukuan Hadist Rosulullah pada Sayyidina Umar bin Abdul Al Azis ( kholifah ke VIII dari kholifah Bany Umayah ) pada tahun 99 H. kemudian, bersamaan dengan itu dibukukan pula tafsir dan tafsir merupakan salah satu dari bab-bab dalam kitab Hadist.
Tidak ada satupun para ulama’ yang sampai menyusun tafsir secara tersendiri ( terpisah dari kitab hadist ) yang didalamnya Al Qur’an ditafsirkan surat demi surat secara utuh. Para ulama’ dari kawasan wilayah kekuasaan Islam setelah masa sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, hanyalah mengumpulkan hadist-hadist yang diriwayatkan dari Rosulullah yang berfungsi sebagai penafsir dari ayat-ayat Al Qur’an. Demikianlah, sampai sekarang dalam kitab-kitab hadist terdapat bab-bab tertentu yang mengemukakan hadist-hadist yang berfungsi sebagai penafsir Al Qur’an sesuai urutan dalam Mushhaf.
Keadaan demikian berlansung sampai pada masa-masa terakhir dari Bani Umayah dan masa-masa awal Abbasiyah. Setelah itu timbullah gerakan ilmiah dan mulailah masa pembukuan ilmu-ilmu agama dan science serta klasifikasi, pembagian bab-bab dan sistematikannya. Tafsir terpisah dari hadist: ia merupakan ilmu yang berdiri sendiri dan dilakukanlah penafsiran terhadap setiap ayat Al Qur’an dari awal sampai akhir. Hal ini disebabkan kaum muslimin telah memasuki masa-masa suram dan mereka membutuhkan hasil penafsiran Al Qur’an yang dilakukan oleh para ulama’ yang mempunyai Ilmu yang mendalam tentang bahasa Arab dan keahlian dalam ilmu agama.
Tafsir yang pertama kali lahir pada masa itu adalah Tafsir Ibnu Abbas. Diriwayatkan, bahwa Abdullah ibnu Abbas menyimpan catatan-catatan yang didalamnya dibukukan sebagian dari apa yang ia dengar dari Rosulullah SAW.
Sa’id bin jubair menulis riwayat-riwayat dari Abdullah bin Abbas, demikian juga dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abu Huroiroh dan lain-lainnya. Sementara itu pembagian bab dan sistematisasi terhadap hadits-hadits Nabi sesuai dengan urutan surat dan ayat Al Qur’an baru tersusun oada akhir abad kedua hijriah.
Diriwayatkan, bahwa Abu Ubaidah, yakni Ma’mar bin Al Mutsanna, adalah penyusun tafsir pertama; ia mengarang sebuah kitab yang diberi nama Manhaj fy Al Qur’an pada tahun 188 H. penafsiran terhadap kitabnya itu dilakukan sesuai dengan urutan dalam Al Qur’an, sehingga generasi setelahnya tidak menemui kesulitan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Rasulullah berkewajiban menjelaskan tentang penafsiran al-qura’n kepada para sahabat tapi karena tidak dijelaskan sampai akhir mengakibatkan sahabat ada yang melakukan ijtihad. Dengan mengambil riwayat dari ibn abbas sahabat mampu memahami al-quran dengan pemahaman yang mendalam tetapi tidak sampai merumuskan balaghah yang diperlukan untuk generasi berikutnya.
2. Penafsiran yang dilakukan rasulullah, sahabat serta tabi’un tabi’in belum dilakukan dalam bentuk kitab sehingga masih ada kesulitan untuk mempelajarinya. Barulah pada masa akhir bani umayyah dilakukan pembukuan dari penafsiran al-quran. Tafsir yang dilakukan mulai dari ibnu abbas, sa’id bin jubair, dan abu ubaidah.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nasrudin.Rekonstruksi Ilmu Tafsir, STAIN Surakarta:1999
Anwar, Rohisan, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia Bandung : 2000
Al-‘Arid, ‘Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada : 1994
SEJARAH PERKEMBANGAN
TAFSIR
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Islah Gusmian, S.Ag, M.Ag
Disusun oleh :
Muryadi ( 26.09.3.1.177 )
Ninik Sholikah ( 26.09.3.1.185 )
Nur Arina Mudmainah ( 26.09.3.1.188)
JURUSAN TARBIYAH (PAI)
SEKOLAH TINGGI ISLAM NEGERI SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Penafsiran al-quran telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64). Mufasirnya adalah Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.
Seiring telah dilakukan penafsiran oleh Nabi SAW dan para sahabat, maka secara tidak langsung ilmu tafsir telah ada pada waktu itu, meskipun belum dibukukan, apalagi dikaji secara ilmiah , teoritis dan sistematis. Berarti ilmu tafsir merupakan ilmu tertua dalam khazanah intelektual islam meskipun pembukuan dimulai pada abad ketiga Hijriyah. Dalam waktu yang demikian panjang, jelaslah telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan yang amat menonjol dalam kajian penafsiran Al-Qur’an sampai abad modern sebagai kita saksikan dewasa ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis mengambil judul “Sejarah Perkembangan Tafsir” yang bisa membantu untuk mengetahui lebih dalam tentang tafsir Al-Qur’an. Terutama kepada kaum muda agar lebih termotivasi untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dengan mengetahui sejarah perkembangan tafsir diperoleh penafsiran Al-Qur’an yang lebih kondusif dengan tuntunan zaman yang semakin kompleks. Dengan begitu akan terasa bahwa Al-Qur’an selalu hangat (update) dan tak pernah kadaluarsa (outdate) serta senantiasa menarik bagi umat di muka bumi ini.
BAB II
ISI
A. TAFSIR PADA MASA RASULULLAH DAN SAHABAT
Pada saat Al Qur’an diturunkan Rosulullah menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya makna yang terkandung dalam AL Qur’an karena merupakan tugas beliau sebagai penyampai Risalah-Nya. Khususnya untuk yat-ayat yang tidak jelas maknanya atau samar artinya. Keadaan ini berlansung hingga Beliau wafat. Walaupun tidak semua isi kandungan AL Qur’an kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat yang menjelaskannya karena Rosulullah sendiri pun tidak menjelaskan semua kandungan Al Qur’an. Setelah wafat mereka terpaksa melakukan Ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali Bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ubay Bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.
Sementara ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam AL Qur’an kepada tokoh-tokoh ahlul kitab seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al Ahbar, dan lain-lain. Inilah merupakan benih-benih timbulnya Isroiliyat.
Penafsiran sahabat terhadap Al-Qur’an mengacu pada inti dan kandungan Al-Qur’an, mengarah pada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung serta menggambarkan makna yang tinggi dan ayat yang berisi nasihat, petunjuk, kisah-kisah agamis, penuturan keadaan umat terdahulu, penjelasan maksud peribahasa dan ayat yang dijadikan Alloh sebagai contoh bagi manusia untuk dipikirkan dan direnungkan, nasihat yang baik, dan maksud Al-Qur’an yang lain.
Untuk semua itu, para sahabat banyak merujuk pada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunnya ayat dan peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat. Oleh karenanya, mereka tidak mengkaji dari segi Nahwu,I’rab dan macam-macam balaghah, yaitu ilmu Ma’any, Bayan dan Badi’, Majaz, dan Kinayah.
Mereka juga tidak mengkaji segi lafadh, susunan kalimat, hubungan suatu ayat dengan ayat sebelumnya dan segi lain yang sangat diperhatikan oleh mufassir kemudian (mutaakhirin), oleh karena mereka mempunyai dzauq (rasa kebahasan) dan mereka mengetahui hal itu semua dengan fithrah mereka, tidak seperti kita yang baru mengetahui hal itu semua berdasarkan kaidah dan dari kitab serta hasil kajian.
Para ahli tafsir banyak mengambil manfaat dari apa yang mereka riwayatkan dari Ibn Abbas tentang penafsiran terhadap Al-Qur’an, sebagaimana imam Al-Suyuthy berkata : ”Yang paling utama dijadikan sebagai rujukan dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an adalah penafsiran Ibn Abbas dan sahabat yang belajar darinya, karena dari mereka lahir penafsiran yang menyeluruh terhadap hal-hal yang gharib (amat sulit) dari Al-Qur’an.
Setelah Ibn Abbas terkenal pula ahli tafsir yang lain, yaitu Mujahid, Muqatil, Ikrimah, Ibn Jubair, Thawus, Sa’id Ibn Al-Musayyab, Hasan Al-Bashry dan lainnya.
Demikianlah, para sahabat pada masa awal diturunkan Al-Qur’an mampu memahaminya dengan pemahaman yang mendalam, mereka dapat menangkap sinar Al-Qur’an dengan pemahaman yang sempurna dan mengkajinya sehingga dapat mengetahui penjelasannya dalam berbagai bentuk ungkapan yang berbeda-beda. Akan tetapi mereka tidak sampai merumuskan kaidah-kaidah balaghah yang sangat diperlukan oleh generasi dan perkembangan manusia berikutnya. Oleh karena itu, dari mereka tidak ditemukan prinsip-prinsip tentang kaidah tersebut, sebab dengan fithrah mereka mampu mengetahui unsur balaghah, seperti ijaz, ithnab,haqiqah, majaz, tasybih, kinayah, dan lainnya.
B. TAFSIR PADA MASA TABI’IN
Orang yang mengkaji sejarah tafsir tidak hanya berkepentingan baginya mengkaji hakekat sejarahnya, oleh karena ia mempunyai relefansi yang kuat dengan metode tafsir pada masa itu dan perkembangan ilmiah dalam tafsir pada masa-masa berikutnya. Akan tetapi ia harus pula mengemukakan bukti dari sejarah para Ulama tafsir yang telah menghabiskan usia untuk menafsirkan ayat-ayat Allah, mengabdikan dirinya untuk AL Qur’an, merenungkan rahasia-rahasia dari setiap ayatnya dan memikirkan setiap maknanya. Mereka berhasil mengkaji dalil nash dari berbagai seginya. Mereka mengkaji setiap huruf yang terdapat pada suatu kata, kalimat yang terdapat pada suatu ayat yang terdapat pada suatu surat. Mereka meneliti setiap huruf dengan teliti dan cermat, menyingkap muatan setiap kata dari kalam Allah, memperhatikan konteks kalimat dan mengungkap rahasia-rahasia huruf yang dikenal dalam ilmu Nahwu pada konteksnya dalam Al Qur’an, yaitu huruf ‘athaf
C. KODIFIKASI TAFSIR
Penafsiran Rosulullah SAW dan penafsiran sahabat, tabi’in dan tabiun tabi’in yang bersumber dari Rosulullah, dari mulut ke mulut telah menyebar di berbagai kalangan kaum muslimin, tetapi belum terbukukan dalam satu kitab atau lembaran-lembaran sampai masa dimulai pembukuan Hadist Rosulullah pada Sayyidina Umar bin Abdul Al Azis ( kholifah ke VIII dari kholifah Bany Umayah ) pada tahun 99 H. kemudian, bersamaan dengan itu dibukukan pula tafsir dan tafsir merupakan salah satu dari bab-bab dalam kitab Hadist.
Tidak ada satupun para ulama’ yang sampai menyusun tafsir secara tersendiri ( terpisah dari kitab hadist ) yang didalamnya Al Qur’an ditafsirkan surat demi surat secara utuh. Para ulama’ dari kawasan wilayah kekuasaan Islam setelah masa sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, hanyalah mengumpulkan hadist-hadist yang diriwayatkan dari Rosulullah yang berfungsi sebagai penafsir dari ayat-ayat Al Qur’an. Demikianlah, sampai sekarang dalam kitab-kitab hadist terdapat bab-bab tertentu yang mengemukakan hadist-hadist yang berfungsi sebagai penafsir Al Qur’an sesuai urutan dalam Mushhaf.
Keadaan demikian berlansung sampai pada masa-masa terakhir dari Bani Umayah dan masa-masa awal Abbasiyah. Setelah itu timbullah gerakan ilmiah dan mulailah masa pembukuan ilmu-ilmu agama dan science serta klasifikasi, pembagian bab-bab dan sistematikannya. Tafsir terpisah dari hadist: ia merupakan ilmu yang berdiri sendiri dan dilakukanlah penafsiran terhadap setiap ayat Al Qur’an dari awal sampai akhir. Hal ini disebabkan kaum muslimin telah memasuki masa-masa suram dan mereka membutuhkan hasil penafsiran Al Qur’an yang dilakukan oleh para ulama’ yang mempunyai Ilmu yang mendalam tentang bahasa Arab dan keahlian dalam ilmu agama.
Tafsir yang pertama kali lahir pada masa itu adalah Tafsir Ibnu Abbas. Diriwayatkan, bahwa Abdullah ibnu Abbas menyimpan catatan-catatan yang didalamnya dibukukan sebagian dari apa yang ia dengar dari Rosulullah SAW.
Sa’id bin jubair menulis riwayat-riwayat dari Abdullah bin Abbas, demikian juga dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abu Huroiroh dan lain-lainnya. Sementara itu pembagian bab dan sistematisasi terhadap hadits-hadits Nabi sesuai dengan urutan surat dan ayat Al Qur’an baru tersusun oada akhir abad kedua hijriah.
Diriwayatkan, bahwa Abu Ubaidah, yakni Ma’mar bin Al Mutsanna, adalah penyusun tafsir pertama; ia mengarang sebuah kitab yang diberi nama Manhaj fy Al Qur’an pada tahun 188 H. penafsiran terhadap kitabnya itu dilakukan sesuai dengan urutan dalam Al Qur’an, sehingga generasi setelahnya tidak menemui kesulitan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Rasulullah berkewajiban menjelaskan tentang penafsiran al-qura’n kepada para sahabat tapi karena tidak dijelaskan sampai akhir mengakibatkan sahabat ada yang melakukan ijtihad. Dengan mengambil riwayat dari ibn abbas sahabat mampu memahami al-quran dengan pemahaman yang mendalam tetapi tidak sampai merumuskan balaghah yang diperlukan untuk generasi berikutnya.
2. Penafsiran yang dilakukan rasulullah, sahabat serta tabi’un tabi’in belum dilakukan dalam bentuk kitab sehingga masih ada kesulitan untuk mempelajarinya. Barulah pada masa akhir bani umayyah dilakukan pembukuan dari penafsiran al-quran. Tafsir yang dilakukan mulai dari ibnu abbas, sa’id bin jubair, dan abu ubaidah.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nasrudin.Rekonstruksi Ilmu Tafsir, STAIN Surakarta:1999
Anwar, Rohisan, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia Bandung : 2000
Al-‘Arid, ‘Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada : 1994
MAKALAH PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA KHULAFAURROSYIDIIN
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA KHULAFAURROSYIDIIN
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
SEJARAH PERADAPAN ISLAM
Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
JURUSAN TARBIYAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2009 / 2010
BAB I
PENDAHULUAN
PENGERTIAN KHULAFAURROSYIDIIN
Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, pemerintahan ini dilanjutkan oleh Khulafaurrosyidiin. Khulafaurrosyidiin adalah Para Kholifah yang berkewajiban memimpin pemerintahan setelah Nabi Muhammad Wafat. Mereka adala Abu Bakar Ash-shidiq, Umar Bin Khotthob, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Tholib.
Di dalam memimpin para Kholifah memerintah berdasarkan ajaran dan cita-cita Nabi Muhammad. Pemerintahan pada masa itu berbentuk pemerintah demokrasi artinya Pengambilankeputusan tidak hanya berdasarkan kemauan Kholifah saja akan tetapi berdasarkan musyawarah dengan semua unsur yang terlibat dalam pemerintahan Negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KHALIFAH ABU BAKAR ASH SHIDIQ 11-13 H( 632-634 M)
1. Peran Abu Bakar Masa Rosulullah
Abu Bakar As-shidiq adalah seorang suku Quroisy. Nama aslinya dalah Abu Quhafah. Dinamakan Abu Bakar karena termasuk orang yang pertama kali masuk Islam yaitu dari kata “bakar” yaitu pagi, maksudnya adalah orang yang pagi-pagi masuk Islam. Dan dijuluki dengan Ash Syidiq karena ia segera membenarkan Rosul dalam berbagai peristiwa terutama peristiwa Isro’ Mi’roj.
Dimasa Jahiliyah Abu Bakar terkenal sebagai orang yang jujur dan berhati suci. Tatkala Islam dating segeralah dianutnya kemudian ikut menyiarkan dan mengembangkannya.
Ia sudah mengenal Nabi Muhammad sebelum kenabian beliau. Perkenalannya dengan Nabi semakin akrab setelah Nabi menikah dengan Khitijah, antara lain karena mereka tinggal dalam satu lorong atau komplek.
Abu Bakar sangat mengagumi Nabi Muhammad, Baginya Muhammad adalah pribadi yang sempurna. Ia berusaha meneladani dan meniru sifat-sifat Nabi Muhammad. Oleh karena itu banyak yang mengatakan ia memiliki pribadi yang mirib dengan Nabi Muhammad.
a. Periode Makkah
Abu Bakar yang ketika dibacakan Ayat Allah oleh Nabi seketika itu langsung mengimani Kebenaran Ayat tersebut dan saat itu pula Ia bersyahadat. Begitu pula dengan peristiwa Isro’ Mi’roj yang mana kaum Quroisy mengolok-olok peristiwa tersebut akan tetapi Abu Bakar menegaskan “ jika itu dikatakan oleh Muhammad, saya tidak ragu pasti benar”. Dengan sikap yang menggambarkan keteguhan Iman Beliau yang penuh.
Keimanan dan pendiriannya terhadap seruan Nabi Muhammad itu disampaikan kepada teman-temannya. Oleh karena itu banyak para sahabat yang menjadi Islam berkat pengaruh Abu Bakar, misalnya Utsman Bin ‘Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman Bin Auf dan sebagainya.
Keimanan dan kecintaan Abu Bakar terhadap Islam sebenarnya merugikan perniagaan karena hampir setiap waktunya dicurahkan untuk Islam dan dikurangi waktu untuk berdagang. Dan membantu Rosulullah berdakwah.
Abu Bakar mengorbankan semua yang ia meliki tidak hanya pikiran, tenaga, dan waktu akan tetapi juga harta yang ia miliki untuk berdakwah menyampaikan Ajaran Islam. Ia dikenal sebagai orang yang baik hati. Ketika ia berhijrah ke Habsyi, di tengah perjalanan ia bertemu dengan Ibnu Addaghnah yang meminta untuk mengurungkan niatnya dan siap menjadi jaminan. Lalu Ibnu Abbaghnah berkata “ orang sebaik dirimu wahai Abu Bakar, tidak keluar atau dikeluarkan. Engkau menolong orang papa, membantu yang sengsara, gemar bersilaturrahmi dan amat menghormati tamu. Aku siap menjadi pelindungmu, mari kita kembali!”. Begitulah Abu Bakar walaupun Ia tidak meminta pertolongan kepada orang lain akan tetapi orang tersebutpun bersedia membantu beliau karena kebaikan yang Ia miliki.
Peristiwa hijrah Nabi ke Yasrib menjadi puncak kebahagiaan Abu Bakar dalam menumpahkan kesetiaan, kecintaan, dan pengorbanan kepada Muhammad Rosulullah. Ketika suatu sore Nabi berkata kepada Beliau bahwa Allah telah mengizinkan kita berhijrah lalu disambut gembira kabar tersebut oleh Abu Bakar.
Menurut Aisyah, ketika itu tidak ada orang yang lebih gembira daripada Ayahnya. Ia menangis sembari menyiapkan dua Unta dan mengangkat Abdullah bin Ariqoth sebagai petunjuk jalan. Malam harinya Nabi Muhammad meloloskan diri dari kepungan algojo-algojo Quroisy di rumahnya dan menuju kerumah Abu Bakar dan dari sana mereka menuju ke Gua Tsur. Setiba di Gua Tsur Abu Bakar asuk terlebih dahulu untuk meneliti keadaan Gua setelah dirasanya aman barulah Abu Bakar memnolehkan Nabi Masuk
Mereka berada di Gua selama Tiga hari. Bagaimana mereka memperoleh makanan dan lain sebagainya telah diatur oeleh Abu Bakar yaitu dengan menyuruh Amir Bin Fuhairo - pembantu Abu Bakar- ditugaskan mengembala kambing disekitar Gua jika sudah sore kambing itu di ikat di dekat Gua agar malam harinya mereka dapat memeras air susunya. Sedangkan Abdullah Bin Abu Bakar ditugaskan berada di dekat pimpinan Quroisy untuk mengamati rencana-rencana mereka dan malam harinya dilaporkan kepada ayahnya dan Nabi.
Pimpinan Kaum Quroisy mengadakan sayembara bahwa : “barang siapa yang dapat menangkap Muhammad hidup ataupun Mati akan diberi hadiah 100 Unta”.
Dari pernyataan itu Kaum Quroisy berlomba-lomba mencari Muhammad demi mendpatka haidiah yang amt besar. Ada yang mendekat ke Gua Tsur, hal tersebut membuat Abu Bakar khawatir akan tetapi Nabi menasehati beliau dengan berkata “ janganlah engkau takut dan bersedih sesungguhnya Allah bersama kita”. Benarlah Allah melindungi mereka.
Setelah 3 hari di dalam Gua, mereka dengan diiringkan oleh Abdullah bin Ariqoth berangkat menuju yasrib. Ditengah perjalanan ini pun masih ada orang yang memperebutkan 100 unta, diantaranya yaitu Suroqoh Bin Malik bin Ju’sum. Ia sangat bersemangat mendapatkan haidah itu. Dalam pengejarannya ia semakin yakin bahwa itu adalah Muhammad dan ingin segera membunuhnya. Abu baker melihat gelagat buruk yang akan menimpa Nabi dan memberitahukan kepada beliau. Akan tetapi Beliau tetap tenang dan sambil berdzikir. Setelah semakin dekat, tiba-tiba kuda Suroqoh terjatuh dan Ia terpelanting, ia masih berusaha mengejarnya lagi tetapi segera jatuh kembali yang lebih parah dari yang pertama. Sambil meraung raung kesakitan, tumbuhlah kesadaran bahwa orang yang ia kejar mendapatkan perlindungan dari Tuhannya. Hatinnya menjadi takut dan menyesal sehingga ia mempunyai keinginan untuk meminta maaf .
Rosulullah menghentikan untanya sehingga dapat dikejar Suroqoh. Begitu melihat Rosulullah, Suroqoh langsung menangis dan meminta maaf Rosulpun memaafkannya. Rosulullah pun melanjutkan perjalannya ke Yasrib. Menurut sebagian Riwayat Suroqoh pun kembali ke Makkah dan memperdayakan orang orang yang masih mencari Muhammad.
b. Periode Madinah
Di Madinah Abu bakar mendapat penghargaan dari NAbi dengan Dipersaudarakannya dengan Khorijah Bin Zaid, dari Kabilah Khazroj. Beliau di Madinah memilih bertani dengan menyewa tanah dari Saudara barunya tersebut. Demikianlah para Muhajirrin ada yang bertani, berdagang dan bekerja sebagia Buruh. Pada waktu Sholat lima waktu mereka melakukan sholat berjama’ah diMAsjid yang baru mereka Bangun. Selesai sholat Nabi selalu memberi pencerahan kepada mereka serta menyampaikan firman Allah untuk mereka tulis atau membacakan yang sudah pernah dibacakan untuk dihafal, dan juga memusyawarahkan berbagai kepentingan yang menyangkut bersama.
2. Abu Bakar, Khulafaurrosyidin Pertama
a. Proses Pembaiatan Abu Bakar
Telah beberapa lam Rosulullah Sakit, sehingga tugas mengimani sholat digantikan oleh Abu Bakar Ash shidiq. Namun pada subuh tanggal 12 Robiul Awal 11 H. beliau merasa agak segar dan pergi kemasjid mengimami sholat Subuh pagi hari itu. Maka ketika ada yang memberitahu bahwa Rosulullah wafat banyak yang terkejut. Bahkan Umar berkeyakinan bahwa berita itu bohong yang sengaja disiarkan untuk melemahkan Islam. Sedangkan Abu Bakar yang mendengarkan berita itu langsung menuju ke rumah beliau. Dilihatnya jenazah Rosulullah. Lalu diciumnya dan diucapkan oleh Abu Bakar : “alangkah Baikmu sewaktu hidup dan alangkah baikmu sesudah mati”.
Kemudian Abu Bakar keluar dan memasuki masjid yang banyak orang seketika itu suasana menjadi hening yang tadinya bergemuruh. Abu Bakar langsung berbicara serta mengingatkan kepada umat Islam Surat Ali Imron : 144
•
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh Telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Lalu Abu Bakar kembali kerumah Aisyah dan sengera mempersiapkan penyelenggaraan jenazah Nabi Muhammad diiringi para sahabat dan sebagian pulang dan menceritakan kepada keluarga mereka.
Sesudah Rosulullah Wafat, kaum Anshor menghendaki agar orang yang akan dijadikan Kholifah dipilih dari mereka. Akan tetapi Ali bin Abi Tholib menghendaki bahwa dirinyalah yang diangkat menjadi Kholifah, berdasarkan kedudukan beliau di dalam Islam, apalagi beliau adalah menantu sekaligus karib Nabi. Tetapi sebagian besar menginginkan Abu Bakar sebagai Kholifah, sehingga di tetapkanlah Abui Bakar yang terpilih menjadi Kholifah.
Sesudah diangkat menjadi kholifah Abu Bakar berpidato. Dalam pidatonya itu dijelaskan siasat pemerintahan yang akan beliau jalankan. Diantara cuplikan pidato beliau adalah sebagai berikut :
“ Wahai Manusia! Aku telah diangkat menjadi kholifah untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang paling baik diantaramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik maka ikutilah aku akan tetapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah! Orang yang kamu pandang kuat, aku pandang lemah dan aku mengambil haknya, sedang orang yang kamu pandang lemah dan aku pandang kuat maka akan ku kembalikan haknya. Hendaklah kamu mentaatiku selama aku mentaati Allah dan Rosulullah akan tetapi jangan kalian mengikutiku selama aku melanggar perintahNya”.
b. Kesulitan-kesulitan yang di hadapi Abu Bakar
Setelah pembaitan Beliau fakta-fakta menyebutkan bahwa banyak diantara Kaum Muslimin yang belum begitu mendalami Agama Islam sehingga setelah wafatnya Nabi banyak yang menyatakan diri murtad atau keluar dari agam Islam karena mereka hanya menyatakan Iman secara lisan tanpa keimanan dalam hati. Ada juga yang masuk Islam karena menghindari peperangan dengan Umat Islam, namun ada pula yang menginginkan harta rampasan perang dan ingin mendapatkan kedudukan saja.
Agama Islam telah mampu menghilangkan sukuisme, akan tetapi setelah wafatnya Nabi banyak yang memandang bahwa mereka berada di bawah kekuasaan suku Quroisy sehingga bertambah kuatlah alasan mereka untuk keluar dari agama Islam. Ada juga golongan orang yang salah menafsirkan Ayat-ayat Al Qur’an sehingga mereka menempuh jalan yang sesat yaitu bukan jalan yang ditempuh oleh kaum Muslimin kebanyakan.
Yang lebih parah lagi yaitu mereka yang mengaku Nabi. Diantaranya adalah Musailamah Al Kadzab dari bani Hanifah di al yamamah, Aswad ‘Ansi di Yaman, dan Thulaihah Inbu Khuwailid dari bani Asad.
Melihat fakta-fakta tersebut Kholifah Abu Bakar mengadakan perundingan bersama para Sahabat dan hasil akhirnya yaitu semua orang yang menyeleweng dari ajaran Islam maka mereka wajib diperangi walaupun harus mengerbankan nyawa dalam mempertahankan Agama Allah.
Abu Bakar membentuk sebelas pasukan yang masing-masing dipimpin oleh pahlawan-pahlawan Arab diantaranya ialah Kholid Bin Walid, Amr bin Ash, Ikrimah bin Abi Jahl dan lainnya. Masing-masing dikirim keberbagai daerah di Arab. Pengerahan bala tentara ini ternyata membawa hasil yang gemilang dan bias menyatukan kembali persatuan Tanah Arab. Meskipun pedang terpaksa dihunus terhadap mereka yang telah tersesat.
c. Keutamaan & Keistimewaan Abu Bakar
Keistimewaan Abu Bakar antara lain :
1. karena ia termasuk orang yang pertama kali masuk Islam( Assabiqunal Awaluun) dan sebaya dengan Nabi.
2. Akhlaqnya yang terpuji, keramah tamahannya memikat setiap orang.
3. pembelaan dan pengorbanannya kepada Nabi yang tak tertandingi dengan yang lain.
Keutamaan Abu Bakar antara lain :
1. begitu diajak Nabi untuk mengimani Allah Yang Esa dan Muhammad Rosulullah langsung membenarkan dan mengimani. ( Julukan : Abu Bakar )
2. ketika masyarakat makkah menghebohkan peristiwa Isro’ Mi’roj tanpa ragu Abu Bakar langsung mempercayai hal Tersebut ( Gelar : Ash Shidiq )
3. ketika Rosulullah sakit yang dipesan untuk mengimani Sholat adalah Abu Bakar.
4. mampu menenangkan kaum Muslimin ketika Rosulullah meninggal. sebagaimana dalam surat Ali Imron : 144
d. Jasa dan Peninggalan Kholifah Abu Bakar
Jasa Kholifah Abu Bakar antara lain ialah :
1. Menghimpun Al Qur’an
Berbagai peperangan telah terlewati dan menyebabkan banyaknya Fuqoha’ meninggal. Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan hilangnya Al Qur’an secara berlahan-lahan. Lalu Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengadakan penghimpunan Al Qur’an dan akhirnya disetujui oleh Beliau. Dan menyuruh Zait bin Tsabit untuk menulis. Walaupun belum berbentuk Mushaf masih lembaran-lembaran.
2. memperluas wilayah penyebaran Islam
a. di wilayah kekuasaan Persia :
- Kazima : Mazar, Allis, Amghisia
- Hirah : menjadi pusat pertahanan dan Ibu kota pertama Islam di luar Arab.
- Ambar : Dumatul jandal
- Firodh
b. di wilayah kekuasaan Romawi :
- semua kekuasaan romawi telah dikuasai oleh Islam bahkan Yarmuk dan Syam.
Sedangkan peninggalan beliau yang berupa fisik hanyalah:
a. Mushaf AL Qur’an yang telah disusun dan dihimpun sesuai urutannya.
b. Dan wilayah kekuasaan baru sebagai tempat untuk berdakwah di sebagian Iraq dan Siria.
Sedangkan peninggalan yang lainya Ialah :
a. semangant dan tekat yang kuat yang dpat memelihara apa yang telah dicapai pada Zaman Rosulullah
b. Sikapnya untuk berpegang teguh pada kebenaran yang bersumber dari Al Qur’an.
c. Jiwa berkorban yang penuh.dari harta, tenaga pikiran bahkan jiwanya dalam membela Islam.
B. KHALIFAH UMAR BIN KHOTHOB
1. Peran Umar Bin Khothob Masa Hayat Rosul
a. Periode Makkah
Umar Bin Khothoh adalah putra dari Nufail al Quroisy, dari Bani Adi. Saetelah Islam suku bani adi ini di kenal sebagai suku yang terpandang, mulia, megah, dan berkedudukan tinggi.
Menjelang Umar masuk Islam, suasana permusuhan kafir Quroisy terhadap Nabi Muhammad dan umat Islam sedang memuncak. Mereka sangat marah dan kecewa karena banyak umat Islam yang berhijrah ke Habsyi. Saat itu Umar mendeengar usaha-usaha Kafir Quroisy untuk membunuh Nabi Muhammad. Dia juga mendengar Abu Jahal telah berusaha membunuh Nabi dengan menimpakan batu besar ke kepalanya pada saat Beliau sholat, namun gagal. Demikian juga usaha Uqba bin Abi Muaith yang mencekik Nabi Muhammad akan tetapi dapat digagalkan oleh Abu Bakar. Peristiwa itu telah di dengar semua oleh Umar dan membuat Umar geram. Baginya perbuatan tersebut hanya omong kosong belaka tanpa bukti nyata. Hal ini mendorong umar untuk langsung menangani sendri pembunuhan terhadap Muhammad. Dia beranggapan, tak akan ada yang bisa membunuh Muhammad kecuali dirinya sendiri. Dengan tak sabar Umar mengambil Pedang kesayangannya dan bergegas menuju keluar mencari dimana Muhammad berada.
Di tengah perjalanan ia bertemu dan disapa oleh Nu’aim bin Abdullah : “Hai Umar hendak kemana?”. “Aku ingin membunuh Muhammad”, jawab Umar dengan Garangnya. Mendengar jawaban tersebut serasa merontkkan jantung Nu’aim, karena ia kenal betul siapa Umar, akan tetapi Nu’aim membelokkan perhatian Umar. “apa tidak salah Alamat, kamu ingin membunuh Muhammad, ingatlah pembelaan Bani Abu Manaf , dan jika engkau ingin membunuhnya dna melenyapkan ajarannya, maka bereskanlah Keluargamu?”.Umar melotot dan Balik bertanya: “apa sa;ah keluargaku?”. “ Ya keluargamu dan anak pamanmu Said bin Zaid, serta adikmu sendiri Fatimah Bin Khottob telah mengikuti ajaran Nabi Muhammad!”. Bagai disengat kalajengking, mendiidhlah Amarahnya lebih dari sebelum ia berangkat ingin membunuh Muhammad. Maka ia balik arah dan menuju kerumah Fatimah.
Belum terlalu dekat dengan rumah yang dituju ia mendengarsuara seeorang sedang membacakan sesuatu semacam syair. Memang di dlaam rumah Said ( suami Fatimah ) terda[at Habab Bin Araats yang sedang mengajarkan Al Qur’an Wahyu Allah. Mendengar suara langkah Umar Said menyembunyikan Habab dn Fatimah menyembunyikan lembaran-lembaran Qur’an yang telah IA Baca.
Ketika umar masuk, suasana menjadi hening mencekam,. “syair apa yang tadi aku dengar?dan aku telah diberi tahu baha kalian berdua telah masuk Islammengikuti ajaran Muhammad!”. Kemudian Umar selangkah menyerang Said. Melihat bahaya yang akan menimpa suaminya, Fatimah secepat kilat menghadang umar,sehingga dialah yang terkena amarah kakaknya itu dan bercucurankah darah dari mukanya. Nmaun justru Fatimah semakin berani dan dengan tenagnya ia berkata kepada kakaknya:” Benar. Kami berdua telah menjadi muslim, dan mengimani Allah dan Muhammad sebagai Rosulullah! Sekarang sesuka hatimu terhadap kami?”.
Melihat darah adiknya yang mengucur dan ketegarannya itu, hati umar menjadi luluh.“ berikan lembaran yang gtelah aku dengar tadi agar aku dapat mempertimbangkan apa yang telah diajarkan Muhammad kepadamu!”.Fatimah memberikan lembaran itu dan Umar menyimak bahsa dan makna yang dikandungnya, kemudian ia berkata “sungguh alangkah indah dan mulia apa yang telah kalian pelajari ini!”.Demi mendengar ucapan umar Hababpun keluar sambil berkata “demi Allah, aku berharap Allah memilihmu memenui do’a NabiNya yang kemarin dimohonkannya demikian :” Ya Allah teguhkalah Islam dengan berislamnya Abi Hakam Bin Hisyam ( Abu Jahal) atau Umar Bin Khottob”.Umar menyahut “ Wahai Haba Ktatakanlah dimana Muhammad berada dan aku akan menyatakan keIslamanku di hadapannya.
Demikianlah Umar yang berencana akan mebunuh Nabi berubah menjadi pengikutnya. Dan dan gemparlah masyarakat Mekkah pada umumnya dan suku Quroisy pada khususnya. Akan tetapi tak menyurutkan semangat Karir Quroisy untuk mencari cara yaitu dengan pemboikotan umum kepada kaum Muslimin dan keluarga Bani Hasyim serta Bani Abdul Mutholib yang berlangsung kurang lebih selama 3 tahun.
b. Periode Madinah
Umar dikenal sebagai seorang yang pemberan , terbuka dengan sikap yang agak kasar. Banyak sahabat yang memendam persoalan dan tidak berani mengungkapkannya akan tetapi Umar selalu terbuka. Misalnya saja Ia merasa risih ketika menyaksikan sahabat yang minum arak dan bermabuk-mabukan. Ia segera melaporkan kepada Rosulullah untuk melarangnya. Akan tetapi Rosul masih mendiamkan usulan tersebut hingga Ayat Allah menjawab kerisauan Umar yait surat Al Maidah ayat : 90
Artinya :
“Hai orang – orang yang beriman, sesungguhnya minuman khomr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithon. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Begitualh Umar yang selalu kritis dengan keadaan yang memimpa Muslimin.
2. Umar Bin Khothob, Khulafaurrosyidin Kedua
a. Proses Pengangkatan
Ketiak Abu Bakar merasa parah sakit yang di deritanya terpikirlah olehnya untuk menentukan pengganti beliau. Beliau berfikir jika hal ini diserahkan saja kepada musyawarah kaum Muslimin khawatir akan terjadi perselisihan yang lebih parah dibandingkan ketika pengangkatannya dulu. Beliau meminta persetujuan kaum Muahajirin dan Anshor. Pada umumnya mereka sepakat bahwa Umar sebagai salon kholifah kedua nanti. Terdapat sedikit pertimbangan mengenai sifat Uamr yang keras, tetapi abu baker telah menjelaska bahwa sikap kerasnya it semata-mata untuk menutup kelemahan beliau yang terlalu lembut. Dengn begitu mereka dapat memaklumi hal tersebut.
Maka hal selanjutnya kekholifahan diserahkan kepada Umar setelah beliau wafat. Kaum muslimin menyambutnya dengan senang hati dan lega. Mereka semua ikut membaiat Umar sebagai Kholifah kedua setelah Abu Bakar.
b. Pembangunan Pemerintah Islam
Pembangunan pada masa umar diantaranya ilah :
1. memperbaharui dan melengkapi pemerintahan sehingga terdapat dewan-dewan atau pejabat-pejabat yang mengurusi dan mengatur berbagai keperluan masyarakat.
2. didirikannya Baitul Mall di setiap wilayah kekuasaan Islam.
3. dibuat mata uang baru dari logam
4. didirikan tentara yang tetap dan diberi gaji.untuk melindungi perbatasan
5. mengangkat kahim-hakim
6. mengatur perjalanan pos
7. mendirikan hisbah yaitu badan yang menguasai pasar, timbangan, takaran, tata tertib, tata social dan kebersihan.
8. menciptakan tahun Hijriyah.
c. Peninggalan-peninggalan Khalifah Umar
Dari segi fisik meninggalkan perluasan wilayah antara lain :
1. diwilayah kekuasaan Persi:
Masa Abu Bakar menguasai sebagian Irak
Masa Umar Bin Khotob menguasai seluruh Iraq dan Iran
2. diwilayah kekuasaan Romawi :
Masa Abu Bakar : sebagian Siria dan Yurdan
Masa Uamr :menguasai seluruh Yoprdan, Syiria, Sebagian Eropa, Baitul Maqdis, Mesir, dan Iskandariyah.
Sedangkan dari Non Fisik :
1. organisasi dan administrasi pemerintahan yang baik.
2. sikap hidup yang sederhana
3. sikap hidup kreatif dan pragmatif ( mempertimbangkan keadaan)
4. sikap hidup kerja keras, ditanamkan etos kerja yang tinggi.
C. KHALIFAH USTMAN BIN ‘AFFAN
1. Peran Umar Bin Khothob Masa Hayat Rosul
a. Periode Makkah
Beliau adaalh Ustman bin Affan Abil Ash Ibnu Umayah. Dilahirkan di waktu Rosulullah berusia lima tahun dan mask Islam atas seruan Abu Bakar.
Ketika itu Usman mendatangi abu Bkar bertabnya tentang perihal kenabiannya Nabi Muhammad. Abu bakarpun membenarkan Hal tresebut dan setelah mendegarkan penjlsan Abu Bakar, Utsman pun pergi kerumah Rosulullah dan mendpat penjelasan yang lebih rinci lagi dan menyatakan diri untuk Islam.
Dari sisi lain, berate keislamannya mulai menimbulkan perhatian banyak orang Quroisy. Mereka mulai bersepakat untuk menghancurkannya. Karena figure Utsman yang dipandang baik dimasyarakat dan berhasil dlam dunia perdaganan.
Demikianlah Ustman yang sudah menjadi menantu Rosulullah dan sebagai saudagar kaya raya, rela dan taat jepada perintah Rosul untuk berhijrah ke suatu negri yang jauh karena kekejaman Kaum Quroisy dalam penyiksaannya.
Ustman juga sejak di Makkah sering diminta Rosulullah untuk bersama-sama Zaid Bin Tsabit, Ali Bin Abi Tholib,dan Ubay Bin Ka’ab menuliskan wahyu.
b. Periode Madinah
Sesudah kaum Muslimin berhijrah ke madinah, maka mereka yang semula hijrah ke Habsy menggabung meninggalkan Habsyi dan menuju Ke Madinah. Ustman Pun beserta Istrinya ikut ke madinah, itulah sebabnya mereka dijuluki dengan Hijotain yang artinya Dua kali Hijrah.
2. Ustman Bin ‘Affan, Khulafaurrosyidin Ketiga
a. Proses Pengangkatan
Ketika Umar bin Khathab merasa semakin lemah, akibat luka yang dideritanya (Umar ditikam Abu Lu’luah asal Parsi dan beragama Nasrani). Ia menetapkan 6 orang calon penggantinya. Sepeninggalnya nanti mereka merundingkan dan memilih salah seorang dari yang enam itu untuk menjadi khalifah ketiga. Ditambahkan putranya, Abdullah bin Umar, hanya sebagai pendengar dan pemilih manakala terjadi kebuntuan, dan tidak boleh dipilih sebagai calon. Adapun yang enam orang itu ialah:
Utsman bin ‘Affan;
Thalhah bin Ubaidillah;
Sa’ad bin Abi Waqqash;
Ali bin Abi Thalib;
Zubair bin Awwam;
Abdurrahman bin Auf.
b. Musyawarah Anggota Tim
Sesudah Umar bin Khatab meninggal mereka mengadakan musyawarah. Dalam musyawarah itu, Abdurrahman bin Auf mengusulkan agar dirinya diperkenankan mengundurkan diri dari calon dan diberi wewenang penuh untuk menetapkan khalifah seseuai keinginan yang berkembang dari kaum muslimin. Usul itu disetujui oleh seorang anggota tim.
Maka Abdur Rahman bin Auf mengadakan penjajagan, menghipun pendapat dari Anggota tim dan dari pemuka-pemuka kaum Muslimin umumnya. Dari usahanya itu, disimpulkan bahwa umumnya kaum muslimin mencalonkan dua unggulan : Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin ‘Affan. Karena Utsman bin ‘Affan lebih tua dan perilakunya lebih halus, dipilihnya ia sebagai khlifah. Maka pada tahun 23 H (644 M) Utsman bin ‘Affan dipilih secara resmi menjadi Khalifah ketiga, setelah Umar. Utsman menjadi Khalifah selama 12 tahun dan termasuk khalifah yang paling lama berkuasa diantara Khalifah Al-Rasyidin yang empat.
3. Jasa-jasa Peninggalan Khalifah Utsman bin ‘Affan.
a. Jasa-jasa Khalifah Utsman bin ‘Affan
Jasa-jasa Khalifah Utsman bin ‘Affan antara lain :
Menginsyafkan kembali Azerbaijan dan Armenia yang bermaksud melepaskan diri dari ikatan perjanjian dengan kekuasaan Islam zaman Umar bin Khatthab. Dikirimnya pasukan Muslim dibawah Komando Al Walid bin Aqobah kesana. Dengan kedatangan pasukan Walid, penguasa Azerbaijan dan Armenia menyatakan tunduk kembali kepada kekuasaan Islam.
b. Peninggalan-peninggalan Usman Bin Affan
Usman memegang kekholifahan pada usia hampir 70 nyahun dan menjadi kholifah selama 12 Tahun. Dan sifat pribadinya memang lembut, Ustaman meninggalkan hal-hal yang penting :
1. wilayah dakwah yang amat luas meliputi :
a. seluruh jazirah Arab yang tetap utuh.
b. Hampir seluruh kekuasaan Persia telah tunduk pada kekuasaan Usman,yaitu : Irak, Iran, Afganiostan dan Turkistan.
c. Sebagian besar kekuasaan Romawi telah ditundukkannya seperti : Turki, sebagian Yugoslafia,polandia, Siria, Palestina, Mesir, Iskandaria dan cypirus.
d. Afrika utara dan daerah-daerah sebelah selatan Mesir.
c. Memperluas wilayah dakwah Islamiyah
- Sesudah pemberontakan di Iskandariah dapat dipadamkan, maka diteruskan perluasan wilayah dakwah ke seluruh Afrika Utara. Berhasil dikuasai Barqah dan Tripoli (Libya sekarang)
- Ditundukkan pula Nubah (Mesir bagian Selatan menurut peta sekarang).
- Bergabung pula dalam kekuasaan Islam itu negeri-negeri sekitar Armenia dan Azerbaijan seperti: Tabaristan.
- Dapat ditundukkan pula daerah sekitar sungai Amu Daria (Rusia Bagian Selatan), dan Turkestan.
- Ditundukkannya negeri-negeri Balkan, yaitu sebagian dari Yugoslavia, Polandia.
- Turki dikuasai.
- Kepulauan Cyprus juga dapat ditundukkan.
d. Membangun Angkatan Laut yang tangguh.
Angkatan Laut Muslim ini menjadi terkenal, ketika Romawi berusaha kembali merebut Iskandaria dengan membawa armada Angkatan Laut mereka yang besar, sekitar 800 buah kapal, namun dapat dikalahkan oleh Angkatan Laut Muslim yang berkekuatan sekitar 200 kapal.
Peperangan tersebut terkenal dengan sebutan “Dzatis Sawari” (Pertempuran Tiang Kapal), karena banyaknya kapal-kapal bertiang yang digunakan dalam perang itu.
e. Menggandakan Al-Qur’an yang dikenal dengan sebutan “Mushaf Utsmani”.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar telah dihimpunkan lembaran-lembaran Al-Qur’an, diikat dan disimpan di rumah Hafshah binti Umar bin Khatthab, janda Rasulullah. Pada masa Khalifah Utsman bin ‘Affan, himpunan Al-Qur’an itu diambil dari rumah Hafshah untuk digandakan. Panitia Penggandaan Al-Qur’an terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dan anggota-anggota : Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdur rahman bin Harist bin hisyam. Hasilnya sebanyak lima muskhaf : satu mushaf ditangan Usman bin Affan, satu Mushaf untuk Makkah, satu mushaf untuk siria, satu mushaf untuk Basroh, dan satu Mushaf lagi untuk Huffah.
D. KHALIFAH ALI BIN ABI THOLIB
1. Peran Ali Bin Abi Tholib Masa Hayat Rosul
a. Periode Makkah
Ketika Nabi Muhammad menerima wahyu pertama usia Ali baru 10 Tahun, sesuai petunjuk Wahyu untuk mengimani ajaran island itu mula-mula ditujukan kepada keluarga serumah, kemudian kepada famili terdekat, dan teman yang akrab.
Ketiak nabi beserta Khotijah melakukan sholat Ali memperhatiokkannya dan sesuadah Itu menanyakan,kepada siapa Ibadah itu ditujukan Nabi menjelaskan bahwa ibadah itu ditujukan kepada allah yang Maha esa dan ditambah oleh beliau bahwa bwliau telah menerima wahyu sebagai tanda kenabiannya untuk beriman. Dan Ali pun mengimaninya.
Ketika kafirt Qurosy ingin membunuh Nabi ali dengan senang hati menggantikan Nabi dikamar beliau dan Nabi pun bias keluar tanpa sepengetahuan Kfir Quruisy. Begitulah pengorbanan Ali membela Islam walaupun Usianya masih Muda.
b. Periode Madinah
peran penting Ali dalam perjuangan islam ketika masa hayat nabi periode madinah adalah dalam hal peperangan. Diantaranya yaitu perang Badar, Perang Uhud, dan Perang khondak.
2. Ali Bin Abi Tholib, Khulafaurrosyidin Keempat
a. Proses Pengangkatan
Ali bein Abi tholib termasuk Jajaran AshabiqunalAwalun. Yaitu orang-orang yang pertama masuk Islam, nahkan ialah remaja pertama yang masuk Islam. Ia anak paman Rosulullah dan iapun juga menantu Roslullah dan dikawinkan dengan fatimah. Sehimngga mempunyai keturunan hasan dan husian.
Keadaan rakyat diwilayah-wilayah banyak merasa tidak puas karena hak-hak rakyat banyak dirampas untuk kepentingan pejabat yang masih keluarga ustman. Akhirnya banyak muncul protes-protes yang disampaikan pada kholifah. Akan tetapi tidak dihiraukan.
Setelah Usman meninggal tidak ada tokoh yang dapat menggantikan usman kecuali Ali bin Abi tholib. Namun usianya yang relative muda menyebabkan tidak dipilihnya sebagai kholifah. Akan tetapi kaum Muslimin dan sahabat banyak mendukung Ali sebagai Kholifah. Untuk itu pada tahun 35 Hijriyah Ali diangkat menjadi Kholifah ke Empat salama lima Tahun.
b. Jasa dan Peninggalan Ali Bin Abi Tholib
Jasa-jasa Ali Antara lain adalah :
- memecat gubernur-gubernur yang diangkat Ustman dari keluarganya.
- Menarik kembali tanah dan kekayaan yang bersumber dari baitul Mall dari para pejabat dan keluarga Ustman.
- Dapat mengembalikan fungsi baitul Mall untuk kepentingan golongan yang lemah.
- Berusaha menempatkan kekuasaan sesuai kemampuan kepribadiannya dan akhlaqnya.
- Mengembangkan ilmu Bahasa Arab.
Peninggalan beliau antara lain :
- keberaniannya mengambil resiko dalam perjuangan.
- Sifat pribadi yang luhur misalnya jujur, sederhana, adil dan tegas.
- Ilmu nahwu yang menjadi cabang dari bahasa Arab
- Penetapan kelender Hijriyah
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
- Khulafaurrosyidiin adalah Para Kholifah yang berkewajiban memimpin pemerintahan setelah Nabi Muhammad Wafat. Mereka adala Abu Bakar Ash-shidiq, Umar Bin Khotthob, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Tholib.
- Pada masa Abu Bakar perkembangan Islam belum begitu pesat karena banyaknya kaum muslimin sendiri yang menyeleweng dari ajaran Islam hingga harus diperangi.
- Perkembangan Pada masa Umar sangat pesat dan mampu memperluas wilayah hingga sebagian eropa. Dan mendirikan berbagai macam keperluan Masyarakat. Begitu juga pada masa kholifah ustman dan Ali
DAFTAR PUSTAKA
Syalabi, Prof, Dr, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1.Pustaka Al Husna Baru .Jakarta: 2007
Abdullah Ahmad, ‘Aasyur. 10 Orang Di Jamin Ke Syurga. Gema Insani Press. Jakarta : 1993.
Kholid, Muhammad Kholid.60 Sahabat Rosulullah. Cv, Diponegoro. Bandung. 1993
Rus’an. Lintasan Sejarah Islam, Zaman Abu Bakar Shidiq. Wicaksana. Semarang : 1983
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
SEJARAH PERADAPAN ISLAM
Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
JURUSAN TARBIYAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2009 / 2010
BAB I
PENDAHULUAN
PENGERTIAN KHULAFAURROSYIDIIN
Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, pemerintahan ini dilanjutkan oleh Khulafaurrosyidiin. Khulafaurrosyidiin adalah Para Kholifah yang berkewajiban memimpin pemerintahan setelah Nabi Muhammad Wafat. Mereka adala Abu Bakar Ash-shidiq, Umar Bin Khotthob, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Tholib.
Di dalam memimpin para Kholifah memerintah berdasarkan ajaran dan cita-cita Nabi Muhammad. Pemerintahan pada masa itu berbentuk pemerintah demokrasi artinya Pengambilankeputusan tidak hanya berdasarkan kemauan Kholifah saja akan tetapi berdasarkan musyawarah dengan semua unsur yang terlibat dalam pemerintahan Negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KHALIFAH ABU BAKAR ASH SHIDIQ 11-13 H( 632-634 M)
1. Peran Abu Bakar Masa Rosulullah
Abu Bakar As-shidiq adalah seorang suku Quroisy. Nama aslinya dalah Abu Quhafah. Dinamakan Abu Bakar karena termasuk orang yang pertama kali masuk Islam yaitu dari kata “bakar” yaitu pagi, maksudnya adalah orang yang pagi-pagi masuk Islam. Dan dijuluki dengan Ash Syidiq karena ia segera membenarkan Rosul dalam berbagai peristiwa terutama peristiwa Isro’ Mi’roj.
Dimasa Jahiliyah Abu Bakar terkenal sebagai orang yang jujur dan berhati suci. Tatkala Islam dating segeralah dianutnya kemudian ikut menyiarkan dan mengembangkannya.
Ia sudah mengenal Nabi Muhammad sebelum kenabian beliau. Perkenalannya dengan Nabi semakin akrab setelah Nabi menikah dengan Khitijah, antara lain karena mereka tinggal dalam satu lorong atau komplek.
Abu Bakar sangat mengagumi Nabi Muhammad, Baginya Muhammad adalah pribadi yang sempurna. Ia berusaha meneladani dan meniru sifat-sifat Nabi Muhammad. Oleh karena itu banyak yang mengatakan ia memiliki pribadi yang mirib dengan Nabi Muhammad.
a. Periode Makkah
Abu Bakar yang ketika dibacakan Ayat Allah oleh Nabi seketika itu langsung mengimani Kebenaran Ayat tersebut dan saat itu pula Ia bersyahadat. Begitu pula dengan peristiwa Isro’ Mi’roj yang mana kaum Quroisy mengolok-olok peristiwa tersebut akan tetapi Abu Bakar menegaskan “ jika itu dikatakan oleh Muhammad, saya tidak ragu pasti benar”. Dengan sikap yang menggambarkan keteguhan Iman Beliau yang penuh.
Keimanan dan pendiriannya terhadap seruan Nabi Muhammad itu disampaikan kepada teman-temannya. Oleh karena itu banyak para sahabat yang menjadi Islam berkat pengaruh Abu Bakar, misalnya Utsman Bin ‘Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman Bin Auf dan sebagainya.
Keimanan dan kecintaan Abu Bakar terhadap Islam sebenarnya merugikan perniagaan karena hampir setiap waktunya dicurahkan untuk Islam dan dikurangi waktu untuk berdagang. Dan membantu Rosulullah berdakwah.
Abu Bakar mengorbankan semua yang ia meliki tidak hanya pikiran, tenaga, dan waktu akan tetapi juga harta yang ia miliki untuk berdakwah menyampaikan Ajaran Islam. Ia dikenal sebagai orang yang baik hati. Ketika ia berhijrah ke Habsyi, di tengah perjalanan ia bertemu dengan Ibnu Addaghnah yang meminta untuk mengurungkan niatnya dan siap menjadi jaminan. Lalu Ibnu Abbaghnah berkata “ orang sebaik dirimu wahai Abu Bakar, tidak keluar atau dikeluarkan. Engkau menolong orang papa, membantu yang sengsara, gemar bersilaturrahmi dan amat menghormati tamu. Aku siap menjadi pelindungmu, mari kita kembali!”. Begitulah Abu Bakar walaupun Ia tidak meminta pertolongan kepada orang lain akan tetapi orang tersebutpun bersedia membantu beliau karena kebaikan yang Ia miliki.
Peristiwa hijrah Nabi ke Yasrib menjadi puncak kebahagiaan Abu Bakar dalam menumpahkan kesetiaan, kecintaan, dan pengorbanan kepada Muhammad Rosulullah. Ketika suatu sore Nabi berkata kepada Beliau bahwa Allah telah mengizinkan kita berhijrah lalu disambut gembira kabar tersebut oleh Abu Bakar.
Menurut Aisyah, ketika itu tidak ada orang yang lebih gembira daripada Ayahnya. Ia menangis sembari menyiapkan dua Unta dan mengangkat Abdullah bin Ariqoth sebagai petunjuk jalan. Malam harinya Nabi Muhammad meloloskan diri dari kepungan algojo-algojo Quroisy di rumahnya dan menuju kerumah Abu Bakar dan dari sana mereka menuju ke Gua Tsur. Setiba di Gua Tsur Abu Bakar asuk terlebih dahulu untuk meneliti keadaan Gua setelah dirasanya aman barulah Abu Bakar memnolehkan Nabi Masuk
Mereka berada di Gua selama Tiga hari. Bagaimana mereka memperoleh makanan dan lain sebagainya telah diatur oeleh Abu Bakar yaitu dengan menyuruh Amir Bin Fuhairo - pembantu Abu Bakar- ditugaskan mengembala kambing disekitar Gua jika sudah sore kambing itu di ikat di dekat Gua agar malam harinya mereka dapat memeras air susunya. Sedangkan Abdullah Bin Abu Bakar ditugaskan berada di dekat pimpinan Quroisy untuk mengamati rencana-rencana mereka dan malam harinya dilaporkan kepada ayahnya dan Nabi.
Pimpinan Kaum Quroisy mengadakan sayembara bahwa : “barang siapa yang dapat menangkap Muhammad hidup ataupun Mati akan diberi hadiah 100 Unta”.
Dari pernyataan itu Kaum Quroisy berlomba-lomba mencari Muhammad demi mendpatka haidiah yang amt besar. Ada yang mendekat ke Gua Tsur, hal tersebut membuat Abu Bakar khawatir akan tetapi Nabi menasehati beliau dengan berkata “ janganlah engkau takut dan bersedih sesungguhnya Allah bersama kita”. Benarlah Allah melindungi mereka.
Setelah 3 hari di dalam Gua, mereka dengan diiringkan oleh Abdullah bin Ariqoth berangkat menuju yasrib. Ditengah perjalanan ini pun masih ada orang yang memperebutkan 100 unta, diantaranya yaitu Suroqoh Bin Malik bin Ju’sum. Ia sangat bersemangat mendapatkan haidah itu. Dalam pengejarannya ia semakin yakin bahwa itu adalah Muhammad dan ingin segera membunuhnya. Abu baker melihat gelagat buruk yang akan menimpa Nabi dan memberitahukan kepada beliau. Akan tetapi Beliau tetap tenang dan sambil berdzikir. Setelah semakin dekat, tiba-tiba kuda Suroqoh terjatuh dan Ia terpelanting, ia masih berusaha mengejarnya lagi tetapi segera jatuh kembali yang lebih parah dari yang pertama. Sambil meraung raung kesakitan, tumbuhlah kesadaran bahwa orang yang ia kejar mendapatkan perlindungan dari Tuhannya. Hatinnya menjadi takut dan menyesal sehingga ia mempunyai keinginan untuk meminta maaf .
Rosulullah menghentikan untanya sehingga dapat dikejar Suroqoh. Begitu melihat Rosulullah, Suroqoh langsung menangis dan meminta maaf Rosulpun memaafkannya. Rosulullah pun melanjutkan perjalannya ke Yasrib. Menurut sebagian Riwayat Suroqoh pun kembali ke Makkah dan memperdayakan orang orang yang masih mencari Muhammad.
b. Periode Madinah
Di Madinah Abu bakar mendapat penghargaan dari NAbi dengan Dipersaudarakannya dengan Khorijah Bin Zaid, dari Kabilah Khazroj. Beliau di Madinah memilih bertani dengan menyewa tanah dari Saudara barunya tersebut. Demikianlah para Muhajirrin ada yang bertani, berdagang dan bekerja sebagia Buruh. Pada waktu Sholat lima waktu mereka melakukan sholat berjama’ah diMAsjid yang baru mereka Bangun. Selesai sholat Nabi selalu memberi pencerahan kepada mereka serta menyampaikan firman Allah untuk mereka tulis atau membacakan yang sudah pernah dibacakan untuk dihafal, dan juga memusyawarahkan berbagai kepentingan yang menyangkut bersama.
2. Abu Bakar, Khulafaurrosyidin Pertama
a. Proses Pembaiatan Abu Bakar
Telah beberapa lam Rosulullah Sakit, sehingga tugas mengimani sholat digantikan oleh Abu Bakar Ash shidiq. Namun pada subuh tanggal 12 Robiul Awal 11 H. beliau merasa agak segar dan pergi kemasjid mengimami sholat Subuh pagi hari itu. Maka ketika ada yang memberitahu bahwa Rosulullah wafat banyak yang terkejut. Bahkan Umar berkeyakinan bahwa berita itu bohong yang sengaja disiarkan untuk melemahkan Islam. Sedangkan Abu Bakar yang mendengarkan berita itu langsung menuju ke rumah beliau. Dilihatnya jenazah Rosulullah. Lalu diciumnya dan diucapkan oleh Abu Bakar : “alangkah Baikmu sewaktu hidup dan alangkah baikmu sesudah mati”.
Kemudian Abu Bakar keluar dan memasuki masjid yang banyak orang seketika itu suasana menjadi hening yang tadinya bergemuruh. Abu Bakar langsung berbicara serta mengingatkan kepada umat Islam Surat Ali Imron : 144
•
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh Telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Lalu Abu Bakar kembali kerumah Aisyah dan sengera mempersiapkan penyelenggaraan jenazah Nabi Muhammad diiringi para sahabat dan sebagian pulang dan menceritakan kepada keluarga mereka.
Sesudah Rosulullah Wafat, kaum Anshor menghendaki agar orang yang akan dijadikan Kholifah dipilih dari mereka. Akan tetapi Ali bin Abi Tholib menghendaki bahwa dirinyalah yang diangkat menjadi Kholifah, berdasarkan kedudukan beliau di dalam Islam, apalagi beliau adalah menantu sekaligus karib Nabi. Tetapi sebagian besar menginginkan Abu Bakar sebagai Kholifah, sehingga di tetapkanlah Abui Bakar yang terpilih menjadi Kholifah.
Sesudah diangkat menjadi kholifah Abu Bakar berpidato. Dalam pidatonya itu dijelaskan siasat pemerintahan yang akan beliau jalankan. Diantara cuplikan pidato beliau adalah sebagai berikut :
“ Wahai Manusia! Aku telah diangkat menjadi kholifah untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang paling baik diantaramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik maka ikutilah aku akan tetapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah! Orang yang kamu pandang kuat, aku pandang lemah dan aku mengambil haknya, sedang orang yang kamu pandang lemah dan aku pandang kuat maka akan ku kembalikan haknya. Hendaklah kamu mentaatiku selama aku mentaati Allah dan Rosulullah akan tetapi jangan kalian mengikutiku selama aku melanggar perintahNya”.
b. Kesulitan-kesulitan yang di hadapi Abu Bakar
Setelah pembaitan Beliau fakta-fakta menyebutkan bahwa banyak diantara Kaum Muslimin yang belum begitu mendalami Agama Islam sehingga setelah wafatnya Nabi banyak yang menyatakan diri murtad atau keluar dari agam Islam karena mereka hanya menyatakan Iman secara lisan tanpa keimanan dalam hati. Ada juga yang masuk Islam karena menghindari peperangan dengan Umat Islam, namun ada pula yang menginginkan harta rampasan perang dan ingin mendapatkan kedudukan saja.
Agama Islam telah mampu menghilangkan sukuisme, akan tetapi setelah wafatnya Nabi banyak yang memandang bahwa mereka berada di bawah kekuasaan suku Quroisy sehingga bertambah kuatlah alasan mereka untuk keluar dari agama Islam. Ada juga golongan orang yang salah menafsirkan Ayat-ayat Al Qur’an sehingga mereka menempuh jalan yang sesat yaitu bukan jalan yang ditempuh oleh kaum Muslimin kebanyakan.
Yang lebih parah lagi yaitu mereka yang mengaku Nabi. Diantaranya adalah Musailamah Al Kadzab dari bani Hanifah di al yamamah, Aswad ‘Ansi di Yaman, dan Thulaihah Inbu Khuwailid dari bani Asad.
Melihat fakta-fakta tersebut Kholifah Abu Bakar mengadakan perundingan bersama para Sahabat dan hasil akhirnya yaitu semua orang yang menyeleweng dari ajaran Islam maka mereka wajib diperangi walaupun harus mengerbankan nyawa dalam mempertahankan Agama Allah.
Abu Bakar membentuk sebelas pasukan yang masing-masing dipimpin oleh pahlawan-pahlawan Arab diantaranya ialah Kholid Bin Walid, Amr bin Ash, Ikrimah bin Abi Jahl dan lainnya. Masing-masing dikirim keberbagai daerah di Arab. Pengerahan bala tentara ini ternyata membawa hasil yang gemilang dan bias menyatukan kembali persatuan Tanah Arab. Meskipun pedang terpaksa dihunus terhadap mereka yang telah tersesat.
c. Keutamaan & Keistimewaan Abu Bakar
Keistimewaan Abu Bakar antara lain :
1. karena ia termasuk orang yang pertama kali masuk Islam( Assabiqunal Awaluun) dan sebaya dengan Nabi.
2. Akhlaqnya yang terpuji, keramah tamahannya memikat setiap orang.
3. pembelaan dan pengorbanannya kepada Nabi yang tak tertandingi dengan yang lain.
Keutamaan Abu Bakar antara lain :
1. begitu diajak Nabi untuk mengimani Allah Yang Esa dan Muhammad Rosulullah langsung membenarkan dan mengimani. ( Julukan : Abu Bakar )
2. ketika masyarakat makkah menghebohkan peristiwa Isro’ Mi’roj tanpa ragu Abu Bakar langsung mempercayai hal Tersebut ( Gelar : Ash Shidiq )
3. ketika Rosulullah sakit yang dipesan untuk mengimani Sholat adalah Abu Bakar.
4. mampu menenangkan kaum Muslimin ketika Rosulullah meninggal. sebagaimana dalam surat Ali Imron : 144
d. Jasa dan Peninggalan Kholifah Abu Bakar
Jasa Kholifah Abu Bakar antara lain ialah :
1. Menghimpun Al Qur’an
Berbagai peperangan telah terlewati dan menyebabkan banyaknya Fuqoha’ meninggal. Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan hilangnya Al Qur’an secara berlahan-lahan. Lalu Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengadakan penghimpunan Al Qur’an dan akhirnya disetujui oleh Beliau. Dan menyuruh Zait bin Tsabit untuk menulis. Walaupun belum berbentuk Mushaf masih lembaran-lembaran.
2. memperluas wilayah penyebaran Islam
a. di wilayah kekuasaan Persia :
- Kazima : Mazar, Allis, Amghisia
- Hirah : menjadi pusat pertahanan dan Ibu kota pertama Islam di luar Arab.
- Ambar : Dumatul jandal
- Firodh
b. di wilayah kekuasaan Romawi :
- semua kekuasaan romawi telah dikuasai oleh Islam bahkan Yarmuk dan Syam.
Sedangkan peninggalan beliau yang berupa fisik hanyalah:
a. Mushaf AL Qur’an yang telah disusun dan dihimpun sesuai urutannya.
b. Dan wilayah kekuasaan baru sebagai tempat untuk berdakwah di sebagian Iraq dan Siria.
Sedangkan peninggalan yang lainya Ialah :
a. semangant dan tekat yang kuat yang dpat memelihara apa yang telah dicapai pada Zaman Rosulullah
b. Sikapnya untuk berpegang teguh pada kebenaran yang bersumber dari Al Qur’an.
c. Jiwa berkorban yang penuh.dari harta, tenaga pikiran bahkan jiwanya dalam membela Islam.
B. KHALIFAH UMAR BIN KHOTHOB
1. Peran Umar Bin Khothob Masa Hayat Rosul
a. Periode Makkah
Umar Bin Khothoh adalah putra dari Nufail al Quroisy, dari Bani Adi. Saetelah Islam suku bani adi ini di kenal sebagai suku yang terpandang, mulia, megah, dan berkedudukan tinggi.
Menjelang Umar masuk Islam, suasana permusuhan kafir Quroisy terhadap Nabi Muhammad dan umat Islam sedang memuncak. Mereka sangat marah dan kecewa karena banyak umat Islam yang berhijrah ke Habsyi. Saat itu Umar mendeengar usaha-usaha Kafir Quroisy untuk membunuh Nabi Muhammad. Dia juga mendengar Abu Jahal telah berusaha membunuh Nabi dengan menimpakan batu besar ke kepalanya pada saat Beliau sholat, namun gagal. Demikian juga usaha Uqba bin Abi Muaith yang mencekik Nabi Muhammad akan tetapi dapat digagalkan oleh Abu Bakar. Peristiwa itu telah di dengar semua oleh Umar dan membuat Umar geram. Baginya perbuatan tersebut hanya omong kosong belaka tanpa bukti nyata. Hal ini mendorong umar untuk langsung menangani sendri pembunuhan terhadap Muhammad. Dia beranggapan, tak akan ada yang bisa membunuh Muhammad kecuali dirinya sendiri. Dengan tak sabar Umar mengambil Pedang kesayangannya dan bergegas menuju keluar mencari dimana Muhammad berada.
Di tengah perjalanan ia bertemu dan disapa oleh Nu’aim bin Abdullah : “Hai Umar hendak kemana?”. “Aku ingin membunuh Muhammad”, jawab Umar dengan Garangnya. Mendengar jawaban tersebut serasa merontkkan jantung Nu’aim, karena ia kenal betul siapa Umar, akan tetapi Nu’aim membelokkan perhatian Umar. “apa tidak salah Alamat, kamu ingin membunuh Muhammad, ingatlah pembelaan Bani Abu Manaf , dan jika engkau ingin membunuhnya dna melenyapkan ajarannya, maka bereskanlah Keluargamu?”.Umar melotot dan Balik bertanya: “apa sa;ah keluargaku?”. “ Ya keluargamu dan anak pamanmu Said bin Zaid, serta adikmu sendiri Fatimah Bin Khottob telah mengikuti ajaran Nabi Muhammad!”. Bagai disengat kalajengking, mendiidhlah Amarahnya lebih dari sebelum ia berangkat ingin membunuh Muhammad. Maka ia balik arah dan menuju kerumah Fatimah.
Belum terlalu dekat dengan rumah yang dituju ia mendengarsuara seeorang sedang membacakan sesuatu semacam syair. Memang di dlaam rumah Said ( suami Fatimah ) terda[at Habab Bin Araats yang sedang mengajarkan Al Qur’an Wahyu Allah. Mendengar suara langkah Umar Said menyembunyikan Habab dn Fatimah menyembunyikan lembaran-lembaran Qur’an yang telah IA Baca.
Ketika umar masuk, suasana menjadi hening mencekam,. “syair apa yang tadi aku dengar?dan aku telah diberi tahu baha kalian berdua telah masuk Islammengikuti ajaran Muhammad!”. Kemudian Umar selangkah menyerang Said. Melihat bahaya yang akan menimpa suaminya, Fatimah secepat kilat menghadang umar,sehingga dialah yang terkena amarah kakaknya itu dan bercucurankah darah dari mukanya. Nmaun justru Fatimah semakin berani dan dengan tenagnya ia berkata kepada kakaknya:” Benar. Kami berdua telah menjadi muslim, dan mengimani Allah dan Muhammad sebagai Rosulullah! Sekarang sesuka hatimu terhadap kami?”.
Melihat darah adiknya yang mengucur dan ketegarannya itu, hati umar menjadi luluh.“ berikan lembaran yang gtelah aku dengar tadi agar aku dapat mempertimbangkan apa yang telah diajarkan Muhammad kepadamu!”.Fatimah memberikan lembaran itu dan Umar menyimak bahsa dan makna yang dikandungnya, kemudian ia berkata “sungguh alangkah indah dan mulia apa yang telah kalian pelajari ini!”.Demi mendengar ucapan umar Hababpun keluar sambil berkata “demi Allah, aku berharap Allah memilihmu memenui do’a NabiNya yang kemarin dimohonkannya demikian :” Ya Allah teguhkalah Islam dengan berislamnya Abi Hakam Bin Hisyam ( Abu Jahal) atau Umar Bin Khottob”.Umar menyahut “ Wahai Haba Ktatakanlah dimana Muhammad berada dan aku akan menyatakan keIslamanku di hadapannya.
Demikianlah Umar yang berencana akan mebunuh Nabi berubah menjadi pengikutnya. Dan dan gemparlah masyarakat Mekkah pada umumnya dan suku Quroisy pada khususnya. Akan tetapi tak menyurutkan semangat Karir Quroisy untuk mencari cara yaitu dengan pemboikotan umum kepada kaum Muslimin dan keluarga Bani Hasyim serta Bani Abdul Mutholib yang berlangsung kurang lebih selama 3 tahun.
b. Periode Madinah
Umar dikenal sebagai seorang yang pemberan , terbuka dengan sikap yang agak kasar. Banyak sahabat yang memendam persoalan dan tidak berani mengungkapkannya akan tetapi Umar selalu terbuka. Misalnya saja Ia merasa risih ketika menyaksikan sahabat yang minum arak dan bermabuk-mabukan. Ia segera melaporkan kepada Rosulullah untuk melarangnya. Akan tetapi Rosul masih mendiamkan usulan tersebut hingga Ayat Allah menjawab kerisauan Umar yait surat Al Maidah ayat : 90
Artinya :
“Hai orang – orang yang beriman, sesungguhnya minuman khomr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithon. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Begitualh Umar yang selalu kritis dengan keadaan yang memimpa Muslimin.
2. Umar Bin Khothob, Khulafaurrosyidin Kedua
a. Proses Pengangkatan
Ketiak Abu Bakar merasa parah sakit yang di deritanya terpikirlah olehnya untuk menentukan pengganti beliau. Beliau berfikir jika hal ini diserahkan saja kepada musyawarah kaum Muslimin khawatir akan terjadi perselisihan yang lebih parah dibandingkan ketika pengangkatannya dulu. Beliau meminta persetujuan kaum Muahajirin dan Anshor. Pada umumnya mereka sepakat bahwa Umar sebagai salon kholifah kedua nanti. Terdapat sedikit pertimbangan mengenai sifat Uamr yang keras, tetapi abu baker telah menjelaska bahwa sikap kerasnya it semata-mata untuk menutup kelemahan beliau yang terlalu lembut. Dengn begitu mereka dapat memaklumi hal tersebut.
Maka hal selanjutnya kekholifahan diserahkan kepada Umar setelah beliau wafat. Kaum muslimin menyambutnya dengan senang hati dan lega. Mereka semua ikut membaiat Umar sebagai Kholifah kedua setelah Abu Bakar.
b. Pembangunan Pemerintah Islam
Pembangunan pada masa umar diantaranya ilah :
1. memperbaharui dan melengkapi pemerintahan sehingga terdapat dewan-dewan atau pejabat-pejabat yang mengurusi dan mengatur berbagai keperluan masyarakat.
2. didirikannya Baitul Mall di setiap wilayah kekuasaan Islam.
3. dibuat mata uang baru dari logam
4. didirikan tentara yang tetap dan diberi gaji.untuk melindungi perbatasan
5. mengangkat kahim-hakim
6. mengatur perjalanan pos
7. mendirikan hisbah yaitu badan yang menguasai pasar, timbangan, takaran, tata tertib, tata social dan kebersihan.
8. menciptakan tahun Hijriyah.
c. Peninggalan-peninggalan Khalifah Umar
Dari segi fisik meninggalkan perluasan wilayah antara lain :
1. diwilayah kekuasaan Persi:
Masa Abu Bakar menguasai sebagian Irak
Masa Umar Bin Khotob menguasai seluruh Iraq dan Iran
2. diwilayah kekuasaan Romawi :
Masa Abu Bakar : sebagian Siria dan Yurdan
Masa Uamr :menguasai seluruh Yoprdan, Syiria, Sebagian Eropa, Baitul Maqdis, Mesir, dan Iskandariyah.
Sedangkan dari Non Fisik :
1. organisasi dan administrasi pemerintahan yang baik.
2. sikap hidup yang sederhana
3. sikap hidup kreatif dan pragmatif ( mempertimbangkan keadaan)
4. sikap hidup kerja keras, ditanamkan etos kerja yang tinggi.
C. KHALIFAH USTMAN BIN ‘AFFAN
1. Peran Umar Bin Khothob Masa Hayat Rosul
a. Periode Makkah
Beliau adaalh Ustman bin Affan Abil Ash Ibnu Umayah. Dilahirkan di waktu Rosulullah berusia lima tahun dan mask Islam atas seruan Abu Bakar.
Ketika itu Usman mendatangi abu Bkar bertabnya tentang perihal kenabiannya Nabi Muhammad. Abu bakarpun membenarkan Hal tresebut dan setelah mendegarkan penjlsan Abu Bakar, Utsman pun pergi kerumah Rosulullah dan mendpat penjelasan yang lebih rinci lagi dan menyatakan diri untuk Islam.
Dari sisi lain, berate keislamannya mulai menimbulkan perhatian banyak orang Quroisy. Mereka mulai bersepakat untuk menghancurkannya. Karena figure Utsman yang dipandang baik dimasyarakat dan berhasil dlam dunia perdaganan.
Demikianlah Ustman yang sudah menjadi menantu Rosulullah dan sebagai saudagar kaya raya, rela dan taat jepada perintah Rosul untuk berhijrah ke suatu negri yang jauh karena kekejaman Kaum Quroisy dalam penyiksaannya.
Ustman juga sejak di Makkah sering diminta Rosulullah untuk bersama-sama Zaid Bin Tsabit, Ali Bin Abi Tholib,dan Ubay Bin Ka’ab menuliskan wahyu.
b. Periode Madinah
Sesudah kaum Muslimin berhijrah ke madinah, maka mereka yang semula hijrah ke Habsy menggabung meninggalkan Habsyi dan menuju Ke Madinah. Ustman Pun beserta Istrinya ikut ke madinah, itulah sebabnya mereka dijuluki dengan Hijotain yang artinya Dua kali Hijrah.
2. Ustman Bin ‘Affan, Khulafaurrosyidin Ketiga
a. Proses Pengangkatan
Ketika Umar bin Khathab merasa semakin lemah, akibat luka yang dideritanya (Umar ditikam Abu Lu’luah asal Parsi dan beragama Nasrani). Ia menetapkan 6 orang calon penggantinya. Sepeninggalnya nanti mereka merundingkan dan memilih salah seorang dari yang enam itu untuk menjadi khalifah ketiga. Ditambahkan putranya, Abdullah bin Umar, hanya sebagai pendengar dan pemilih manakala terjadi kebuntuan, dan tidak boleh dipilih sebagai calon. Adapun yang enam orang itu ialah:
Utsman bin ‘Affan;
Thalhah bin Ubaidillah;
Sa’ad bin Abi Waqqash;
Ali bin Abi Thalib;
Zubair bin Awwam;
Abdurrahman bin Auf.
b. Musyawarah Anggota Tim
Sesudah Umar bin Khatab meninggal mereka mengadakan musyawarah. Dalam musyawarah itu, Abdurrahman bin Auf mengusulkan agar dirinya diperkenankan mengundurkan diri dari calon dan diberi wewenang penuh untuk menetapkan khalifah seseuai keinginan yang berkembang dari kaum muslimin. Usul itu disetujui oleh seorang anggota tim.
Maka Abdur Rahman bin Auf mengadakan penjajagan, menghipun pendapat dari Anggota tim dan dari pemuka-pemuka kaum Muslimin umumnya. Dari usahanya itu, disimpulkan bahwa umumnya kaum muslimin mencalonkan dua unggulan : Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin ‘Affan. Karena Utsman bin ‘Affan lebih tua dan perilakunya lebih halus, dipilihnya ia sebagai khlifah. Maka pada tahun 23 H (644 M) Utsman bin ‘Affan dipilih secara resmi menjadi Khalifah ketiga, setelah Umar. Utsman menjadi Khalifah selama 12 tahun dan termasuk khalifah yang paling lama berkuasa diantara Khalifah Al-Rasyidin yang empat.
3. Jasa-jasa Peninggalan Khalifah Utsman bin ‘Affan.
a. Jasa-jasa Khalifah Utsman bin ‘Affan
Jasa-jasa Khalifah Utsman bin ‘Affan antara lain :
Menginsyafkan kembali Azerbaijan dan Armenia yang bermaksud melepaskan diri dari ikatan perjanjian dengan kekuasaan Islam zaman Umar bin Khatthab. Dikirimnya pasukan Muslim dibawah Komando Al Walid bin Aqobah kesana. Dengan kedatangan pasukan Walid, penguasa Azerbaijan dan Armenia menyatakan tunduk kembali kepada kekuasaan Islam.
b. Peninggalan-peninggalan Usman Bin Affan
Usman memegang kekholifahan pada usia hampir 70 nyahun dan menjadi kholifah selama 12 Tahun. Dan sifat pribadinya memang lembut, Ustaman meninggalkan hal-hal yang penting :
1. wilayah dakwah yang amat luas meliputi :
a. seluruh jazirah Arab yang tetap utuh.
b. Hampir seluruh kekuasaan Persia telah tunduk pada kekuasaan Usman,yaitu : Irak, Iran, Afganiostan dan Turkistan.
c. Sebagian besar kekuasaan Romawi telah ditundukkannya seperti : Turki, sebagian Yugoslafia,polandia, Siria, Palestina, Mesir, Iskandaria dan cypirus.
d. Afrika utara dan daerah-daerah sebelah selatan Mesir.
c. Memperluas wilayah dakwah Islamiyah
- Sesudah pemberontakan di Iskandariah dapat dipadamkan, maka diteruskan perluasan wilayah dakwah ke seluruh Afrika Utara. Berhasil dikuasai Barqah dan Tripoli (Libya sekarang)
- Ditundukkan pula Nubah (Mesir bagian Selatan menurut peta sekarang).
- Bergabung pula dalam kekuasaan Islam itu negeri-negeri sekitar Armenia dan Azerbaijan seperti: Tabaristan.
- Dapat ditundukkan pula daerah sekitar sungai Amu Daria (Rusia Bagian Selatan), dan Turkestan.
- Ditundukkannya negeri-negeri Balkan, yaitu sebagian dari Yugoslavia, Polandia.
- Turki dikuasai.
- Kepulauan Cyprus juga dapat ditundukkan.
d. Membangun Angkatan Laut yang tangguh.
Angkatan Laut Muslim ini menjadi terkenal, ketika Romawi berusaha kembali merebut Iskandaria dengan membawa armada Angkatan Laut mereka yang besar, sekitar 800 buah kapal, namun dapat dikalahkan oleh Angkatan Laut Muslim yang berkekuatan sekitar 200 kapal.
Peperangan tersebut terkenal dengan sebutan “Dzatis Sawari” (Pertempuran Tiang Kapal), karena banyaknya kapal-kapal bertiang yang digunakan dalam perang itu.
e. Menggandakan Al-Qur’an yang dikenal dengan sebutan “Mushaf Utsmani”.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar telah dihimpunkan lembaran-lembaran Al-Qur’an, diikat dan disimpan di rumah Hafshah binti Umar bin Khatthab, janda Rasulullah. Pada masa Khalifah Utsman bin ‘Affan, himpunan Al-Qur’an itu diambil dari rumah Hafshah untuk digandakan. Panitia Penggandaan Al-Qur’an terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dan anggota-anggota : Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdur rahman bin Harist bin hisyam. Hasilnya sebanyak lima muskhaf : satu mushaf ditangan Usman bin Affan, satu Mushaf untuk Makkah, satu mushaf untuk siria, satu mushaf untuk Basroh, dan satu Mushaf lagi untuk Huffah.
D. KHALIFAH ALI BIN ABI THOLIB
1. Peran Ali Bin Abi Tholib Masa Hayat Rosul
a. Periode Makkah
Ketika Nabi Muhammad menerima wahyu pertama usia Ali baru 10 Tahun, sesuai petunjuk Wahyu untuk mengimani ajaran island itu mula-mula ditujukan kepada keluarga serumah, kemudian kepada famili terdekat, dan teman yang akrab.
Ketiak nabi beserta Khotijah melakukan sholat Ali memperhatiokkannya dan sesuadah Itu menanyakan,kepada siapa Ibadah itu ditujukan Nabi menjelaskan bahwa ibadah itu ditujukan kepada allah yang Maha esa dan ditambah oleh beliau bahwa bwliau telah menerima wahyu sebagai tanda kenabiannya untuk beriman. Dan Ali pun mengimaninya.
Ketika kafirt Qurosy ingin membunuh Nabi ali dengan senang hati menggantikan Nabi dikamar beliau dan Nabi pun bias keluar tanpa sepengetahuan Kfir Quruisy. Begitulah pengorbanan Ali membela Islam walaupun Usianya masih Muda.
b. Periode Madinah
peran penting Ali dalam perjuangan islam ketika masa hayat nabi periode madinah adalah dalam hal peperangan. Diantaranya yaitu perang Badar, Perang Uhud, dan Perang khondak.
2. Ali Bin Abi Tholib, Khulafaurrosyidin Keempat
a. Proses Pengangkatan
Ali bein Abi tholib termasuk Jajaran AshabiqunalAwalun. Yaitu orang-orang yang pertama masuk Islam, nahkan ialah remaja pertama yang masuk Islam. Ia anak paman Rosulullah dan iapun juga menantu Roslullah dan dikawinkan dengan fatimah. Sehimngga mempunyai keturunan hasan dan husian.
Keadaan rakyat diwilayah-wilayah banyak merasa tidak puas karena hak-hak rakyat banyak dirampas untuk kepentingan pejabat yang masih keluarga ustman. Akhirnya banyak muncul protes-protes yang disampaikan pada kholifah. Akan tetapi tidak dihiraukan.
Setelah Usman meninggal tidak ada tokoh yang dapat menggantikan usman kecuali Ali bin Abi tholib. Namun usianya yang relative muda menyebabkan tidak dipilihnya sebagai kholifah. Akan tetapi kaum Muslimin dan sahabat banyak mendukung Ali sebagai Kholifah. Untuk itu pada tahun 35 Hijriyah Ali diangkat menjadi Kholifah ke Empat salama lima Tahun.
b. Jasa dan Peninggalan Ali Bin Abi Tholib
Jasa-jasa Ali Antara lain adalah :
- memecat gubernur-gubernur yang diangkat Ustman dari keluarganya.
- Menarik kembali tanah dan kekayaan yang bersumber dari baitul Mall dari para pejabat dan keluarga Ustman.
- Dapat mengembalikan fungsi baitul Mall untuk kepentingan golongan yang lemah.
- Berusaha menempatkan kekuasaan sesuai kemampuan kepribadiannya dan akhlaqnya.
- Mengembangkan ilmu Bahasa Arab.
Peninggalan beliau antara lain :
- keberaniannya mengambil resiko dalam perjuangan.
- Sifat pribadi yang luhur misalnya jujur, sederhana, adil dan tegas.
- Ilmu nahwu yang menjadi cabang dari bahasa Arab
- Penetapan kelender Hijriyah
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
- Khulafaurrosyidiin adalah Para Kholifah yang berkewajiban memimpin pemerintahan setelah Nabi Muhammad Wafat. Mereka adala Abu Bakar Ash-shidiq, Umar Bin Khotthob, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Tholib.
- Pada masa Abu Bakar perkembangan Islam belum begitu pesat karena banyaknya kaum muslimin sendiri yang menyeleweng dari ajaran Islam hingga harus diperangi.
- Perkembangan Pada masa Umar sangat pesat dan mampu memperluas wilayah hingga sebagian eropa. Dan mendirikan berbagai macam keperluan Masyarakat. Begitu juga pada masa kholifah ustman dan Ali
DAFTAR PUSTAKA
Syalabi, Prof, Dr, Sejarah dan Kebudayaan Islam 1.Pustaka Al Husna Baru .Jakarta: 2007
Abdullah Ahmad, ‘Aasyur. 10 Orang Di Jamin Ke Syurga. Gema Insani Press. Jakarta : 1993.
Kholid, Muhammad Kholid.60 Sahabat Rosulullah. Cv, Diponegoro. Bandung. 1993
Rus’an. Lintasan Sejarah Islam, Zaman Abu Bakar Shidiq. Wicaksana. Semarang : 1983
MAKALAH ISTISHHAB
MAKALAH ISTISHHAB
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
USHUL FIQIH
Dosen pengampu ; Sholahuddin Sirizar, MA
Disusun Oleh ;
Ninik Sholikah ( 26.09.3.1.185 )
Noviana Rahayuningtyas ( 26.09.3.1.186)
Nur Amin Barokah Asfari ( 26.09.3.1.187 )
Nur Arina Mudmainah ( 26.09.3.1.188 )
JURUSAN TARBIYAH / PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Istishhab termasuk dalam dalil hukum islam yang tidak disepakati penggunanya di kalangan ulama ushul. Metode Istishhab digunakan oleh kalangan ulama yang menggunakannya setelah mereka tidak dapat menyelesaikan masalah hukum melalui empat dalil yang disepakati, yaitu ; Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Perbedaan pendapat dalam penggunaannya, bukan disebabkan oleh perbedaan dalam mengartikan istishhab tersebut, tetapi memang berbeda dalam menempatkannya sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISTISHAB
Secara etimologi, istishhab ( ) berarti :
1. Meminta bersahabat atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya .
2. Pengakuan terhadap hubungan pernikahan .
3. Meminta ikut serta secara terus-menerus .
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, diantaranya :
a. Imam Ghazali : Berpegang dalil akal atau syara’, bukan karena tidak mengetahui dalil tapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada maksudnya, apabila ada kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui dalil lain yang mengubah hukum tersebut maka hukum yang ada di masa lampau tetap berlaku sebagaimana adanya4.
b. Al-syaukani dalam Irsyad al Fuhul :“Apa yang berlaku secara tepat pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang’’
c. Ibn Al-Subki dalam kitab Jam’u al Jawami :Berlakunya sesuatu pada waktu kedua karena yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama karena tidak ada yang patut untuk mengubahnya.
d. Muhammad ‘Ubaidillah al As’adi : “Mengukuhkan hukum ditetapkan dengan dalil pada masa lalu, dipandang waktu ini diperoleh dalil yang mengubahnya.”
e. Ibn al Hummam dari kalangan ulama Hanafiyah : “Tetapnya sesuatu yang sudah pasti yang belum ada dugaan kuat tentang tiadanya.”
f. Ibnu Hazm (384-456H/994-1064 Mtokoh Fiqh Zhahiriyyah)5 :”berlaku hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (ayat atau hadits) sampai dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut.”
g. Menetapkan sesuatu berdasarkan keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan itu6.
h. Abdul Karim Zaidan, ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir7 :”Tetapnya status sesuatu seperti keadaan semula sebelum ada bukti yang mengubah.”
i. Ibnu Qayyim al Jawziyah, tokoh ushul fiqh Hanbali8 :”Berlakunya hukum yang ada atau meniadakan yang tiada sampai ada bukti yang mengubah keadaannya.”
Dari pengertian Istishhab yang dikemukakan di atas, dipahami bahwa Istishhab itu, ialah:
1. Hukum yang ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Misalnya, seseorang diketahui masih hidup pada masa tertentu dianggap hidup pada masa sesudahnya selama belum terbukti bahwa ia telah wafat.Ulama ushul fiqh menyatakan penetapan hukum pada kasus tersebut didasarkan pada metode Istishhab.
B. DASAR HUKUM ISTISHHAB
Dari keterangan dan contoh di atas diambil kesimpulan bahwa Istishhab bukan cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tapi hakikatnya menguatkan atau menyatakan berlaku hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Karena itu, ulama Hanafiyah menyatakan Istishhab tidak lain hanya mempertahankan hukum yang ada, bukan menetapkan hukum baru. Istishhab bukan dasar atau dalil penetapan hukum yang belum tetap, tetapi menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya Istishhab dapat dijadikan dasar hujjah.
Sebagian besar mengikuti Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i,Hambali dan Madzhab Dzahiri berhujjah dengan istishhab, terdapat perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya, seperti pernyataan Abu Zaid, ulama Madzhab Hanafi Istishhab itu hanya dapat dijadikan dasar hujjah untuk menolak ketetapan yang mengubah ketetapan yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum baru. Jika diperhatikan proses terjadi atau perubahan undang-undang dalam suatu negara atau keputusan pemerintah, maka Istishhab adalah kaidah yang selalu diperhatikan setiap pembuat undang-undang atau peraturan.
C. MACAM-MACAM ISTISHHAB
Ulama Ushul Fiqh mengemukakan bahwa Istishhab ada lima macam, yang sebagian disepakati dan lainnya diperselisihkan. Kelima macam istishhab itu adalah :
1. Istishhab hukum al-Ibahah al-Ashliyyah
Yaitu menetapkan hukum yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misal, seluruh pohon di hutan merupakan milik bersama umat manusia dan setiap orang berhak untuk menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik seseorang. Dalam hal ini alasan yang dikemukakan para ahli ushul fiqh adalah :
•
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ...”
(QS Al Baqarah :29)
Menurut mereka, kalimat “bagi kamu” dalam ayat ini menunjukkan kebolehan memanfaatkan apa-apa yang ada di bumi. Ayat lain yang dijadikan ulama Ushul Fiqh sebagai dasar bentuk Istishhab pertama adalah firman Allah dalam QS. Al-A’raf (7) ayat 32 :
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?"
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa memanfaatkan perhiasan dan mencari rizki yang baik merupakan hak setiap orang. Selanjutnya, para ahli mengatakan bahwa pemanfaatan seluruh ciptaan Allah di bumi, perhiasan-Nya, dan hak mencari rizki, merupakan hak tiap orang dan halal, selama tidak ada dalil lain menunjukkan hukum halal dan boleh telah berubah. Misalnya, hutan yang tadinya dimanfaatkan setiap orang, berdasarkan keputusan pemerintah ditetapkan menjadi hak bagi orang tertentu. Berdasarkan ketetapan pemerintah ini maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan ini berubah menjadi tidak boleh. Istishhab seperti ini menurut ulama dijadikan hujjah penetapan hukum.
2. Istishhab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Ibn Qayyim al Jauziyyah (691-71 H/1292-1350 M ahli ushul fiqh Hambali) menyebutnya dengan washf ats tsabit li al hukum hatta yutsbita khilafuhu (sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu). Misalnya hak milik suatu benda adalah tetap dan terus berlangsung, disebabkan ada transaksi pemilikan, yaitu akad sampai ada sebab hak milik itu pindah tangan kepada orang lain. Contoh lain, hukum wudhu’ seseorang yang telah berwudhu’ dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa terganggu apakah wudhu’nya masih ada atau telah batal maka berdasarkan Istishhab, wudhunya dianggap masih ada karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu’ tersebut, tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu’. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW terhadap seseorang yang merasa ragu terhadap keutuhan wudhu’nya. Ketika itu Rasulullah SAW menyatakan :”Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak maka sekali-kali ia jangan keluar dari mesjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau (kentut).” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Terhadap kehujjahan istishhab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh. Ibn Qayyim al jauziyyah berpendapat bahwa Istishhab seperti ini dapat dijadikan hujjah.
Al-Ghazali menyatakan Istishhab dijadikan hujjah bila didukung dalil atau nash yang menunjukkan hukum itu masih berlaku dan tidak ada dalil lain yang membatalkan. Istishhab tidak dapat dijadikan alasan berdasarkan anggapan bahwa tidak ada dalil lain yang membatalkan suatu hukum.Ulama hanafiyah berpendirian bahwa istishhab seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada (yang akan datang).
Ulama Malikiyyah menolak Istishhab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti orang yang ragu terhadap keutuhan wudhu seperti yang dikemukakan di atas. Menurut mereka, kasus seperti ini Istishhab tidak berlaku. Karenya, bila seseorang merasa ragu akan keutuhan wudhunya sedang ia dalam keadaan shalat maka shalatnya batal dan harus berwudhu kembali dan mengulangi salatnaya.
3. Istishhab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum adanya dalil yang bersifat khusus dan Istishhab dengan nash selama tidak ada dalil yang nash.
Istishhab bentuk ketiga ini, dari segi esensi, tidak diperselisihkan ulama Ushul Fiqh. Dari segi penamaannya,tedapat perbedaaan ulama Ushul Fiqh. Misalnya dalam QS. Al Baqarah, 2:267, “diwajibkan menafkahkan seluruh hasil usaha manusia dan seluruh yang diperoleh melalui pengeksploitasian sumber daya alam”. Kalimat “nafkah” seluruh hasil usaha dan seluruh hasil yang dieksploitasi dari sumber daya alam tersebut menurut kesepakatan ulama Ushul Fiqh bersifat umum, baik berbentuk nafkah zakat, nafkah keluarga, maupun kaum kerabat. Kalimat “hasil usaha” dan “hasil eksploitasi bumi” dalam ayat ini bersifat umum, yakni jenis yang dieksploitasi dari bumi. Kandungan ayat yang umum ini, menurut junhur Ushul Fiqh, tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan seperti ini dinamakan Istishhab.Tapi menurut sebagian ulama lainnya seperti Imam Haramain al Juwaini (419-478 H/1028-1085 M) dan Iamm al Syaukani (1172-1250 H-1759-1824 M) hal seperti ini tidak dinamakan Istishhab, tapi dalil berdasarkan kaidah bahasa, yaitu kaidah yang menyatakan “suatu dalil yang umum tetap berlaku sesuai dengan keumumannya sampai ada dalil yang mengususkannya.”
Contoh Istishhab dengan nash selama tidak ada yang mennashkannya adalah kewajiban berpuasa dalam QS Al Baqarah ayat 183. Menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, termasuk Istishhab tapi menurut ulama Ushul Fiqh lain tidak dinamakan Istishhab melainkan berdalil berdasarkan kaidah bahasa.
4. Istishhab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukumhukum syar’i sebelum datangnya syara’, seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya, apabila seseorang menggugat (penggugat) orang yang tergugat bahwa ia berhutang kepada penggugatsejumlah uang maka penggugat berkewajiban mengemukakan alat-alat bukti atas tuduhannya tersebut. Apabila ia tidajk sanggup maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah mengemukakan alat-alat bukti atas tuduhannya tersebut. Apabila ia tidajk sanggup maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishhab seperti ini diperselisihkan para ulama ushul fiqh.
Menurut ulama Hanafiyyah, istishhab dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukumyang telah ada dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang. Sedangkan menurut ulaam Malikiyyah, Syafi’iyyah dan hanbilah, istishhab seperti ini juga menetapakn hukum syar’i, baikuntuk menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan datang.
5. Istishhab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’, tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Istishhab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujjahannya. Misalnya, ulama fiqh menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan sholat. Apabila sholatnay selesai ia kerjakan maka sholatnya dinyatakan sah. Akan tetapi, apabial dalam keadan sholat ia melihat ada air, apakah sholatnya harus dibatalkan kemudian berwudhu’ atau sholat ia teruskan?
Menurut ulama malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan sholatnya karena ada ijma’ yang menyatakan bawa sholat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukumitu tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan sholatnya unytuk kemudian bewudhu dan mengulang kembali shalatnya.
Akan tetapi, ulama hanaiyyah dan Hanabilah mengatakan orang yang melakukan sholat dengan tayamum dan ketika sholat melihat air, ia harus membatalkan sholatnya, untuk kemudian berwudhu, dan mengulangi sholatnya. Mereka tidak menerima ijma’ tentang sahnya sholat orang yang betayamum sebelum melihat air, karena ijma’,menurut mereka hanya terkait dengan hukum sahnya sholat bagi orang dalam keaadaan ketiadaan air, bukan dalam keadaan tersedianya air.
D. KEHUJJAHAN ISTISHHAB
Istishhab merupakan dalil syara’ terakhir yang dipakai mujtahid sebagai hujjah untuk mengetahui hukum suatu kejadian yangdihadapkan kepadanya. Ulama ushul fiqh mengatakan bahwa pada dasarnya istishhab merupakan tempat berputarnya fatwa yang terakhir untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan selama tidak ada dalil lain yang mengubahnya . Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishhab ketika ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
1. Menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam), Istishhab tidak bisa dijadikan dalil karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka mendasarkan hukum pada Istishhab merupakan penetapan hukum tanpa dalil karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, namun untuk memberlakukan hukum tersebut untuk masa yang akan datang diperlukan dalil lain. Istishhab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang bearati menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak diperbolehkan syara’.
2. Minoritas ulama Hanafiyyah, khususnya muta’akhirin (generasi belakangan), Istishhab bisa jadi hujjjah menetapkan hukum yang ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.
Alasannya, seorang mujtahid meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada, mempunyai gambaran hukumnya sudah ada atau dibatalkan, tetapi tidak mengetahui atau menemukan dalil yang menyatakan hukum telah dibatalkan. Dalam hal ini, mujtahid berpegang pada hukum yang sudah ada, karena tidak mengetahui dalil yang membatalkan hukum itu. Namun, penetapan berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya bukan pada kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, Istishhab hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang ada, selama tidak ada dalil yang membatakkan hukum itu, tapi tidak berlaku menetapkan hak yang baru muncul. Inilah yang dimaksudkan ulama Hanfiyyah dengan Istishhab hujjah li al daf’i la li al itabat (Istishhab menjadi hujjjah mempertahankan hak bukan menetapkan hak). Menurutnya dapat dilihat dalam Istishhab bentuk kedua dan keempat.
3. Ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Zhahiriyyah dan Syi’ah berpendapat bahwa Istishhab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya.
Alasannya, sesuatu yang ditetapkan masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubah,baik secara qath’i (pasti) maupun zhanni (relatif) maka hukum tetap berlaku , karena belum ada perubahannya. Menurutnya suatu dugaan keras (zhann) bisa jadi landasan hukum. Bila tidak demikian, bisa membawa akibat tidak berlakunya seluruh hukum yang disyari’atkan Allah dan Rasulullah SAW bagi generasi sesudahnya. Bila Istishhab tidak bisa menetapkan hukum maka kemungkinan terjdi Naskh (pembatalan) syari’at. Hal itu memunculkan pandangan bahwa tidak berlaku syari’at di jaman Rasulullah bagi generasi sesudahnya.Alasan yang menunjukan berlakunya syari’at di zaman Rasullulah saw.sampai hari kiamat adalah menduga keras (dzann) berlakunya syari’at itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang men-naskh-kannya. Menurut mereka hal ini disebut Istishhab.
Disamping itu, mereka beralasan dengan ijma’, karena banyak hukum juz’i (rinci) yang disepakati ulama ushul fiqh (ijma’) didasarkan kaidah Istishhab. Misalnya, wudhu tidak batal karena keraguan tentang ketentuan wudhu itu, menetapkan halalnya berhubungan suami istri yang malakukan akad nikah sampai terbukti mereka cerai dan menetapkan bahwa hak milik seseorang menjadi miliknya,selama tidak terbukti terjadi pemindahtanganan hak milik tersebut.
E. AKIBAT HUKUM PERBEDAAN KEHUJJAHAN ISTISHHAB
Akibat hukum dari perbedaan pendapat diatas dapat dilihat dalam kasus mafqud (orang hilang yang telah melalui masa bertahun-tahun, tidak diketahui keadaan sebenarnya, apakah masih hidup atau sudah wafat). Menurut ulama Malikiyyah, Syafi’iyyh, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak menerima pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan pada ahli waris lain. Demikian juga bila ada orang yang berwasiat atau menghibahkan harta, atau mewakafkan harta bagi orang yang hilang tersebut. Adapun hartanya yang ia tinggalkan, tetap menjadi miliknya serta tidak boleh dibagi, sampai keadaannya benar-benar diketahui telah wafat. Tetapi, ulama Hanabilah membatasi hal tersebut selama empat tahun setelah kepergiannya. Sebelum habis masa empat tahun tersebut, hartanya belum boleh dibagi kepada ahli warisnya.
Menurut ulama Hanafiyyah, orang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi pada ahli warisnya, sampai keadaan orang itu benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini karena Istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang tidak bisa dibagi), bukan menerima atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah, dan wakaf).
F. KAIDAH-KAIDAH ISTISHHAB
Para ulama ushul fiqh menerapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada istishhab, diantaranya adalah :
1. Al ashl baqa’ ma kaana ‘alaa maa kaana. Hatta yutsbita maa yughayyiruh.
Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang berlaku pada masa lampau, berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum tersebut tidak berlaku lagi. Contohnya adalah kasus orang yang hilang (mafqud).
2. Al ashl fi al asyya’ al ibahah
Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatrnya bermanfaat bagi manusia, hukumnya adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini maka seluruh akad/transaksi dianggap sah selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal. Sebagaimanan juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syara’ yang melarangnya maka hukumnya adalah boleh.
3. Al yaqin la yuzal bi al syakk
Maksudnya, keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui kaidah ini seseorang yang telah berwudhu, apabila merasa ragu akan wudhunya apakah batal atau belum maka ia berpegang pada keyakinannya apabila ia telah berwudhu dan wudhu itu tetap sah.
Contoh lain, bila seseorang sahur di akhir malam, dia tidak mengetahui apakah sudah fajar atau belum. Dalam kasus ini maka sahurnya dilanjutkan dan puasanya sah karena keyakinan bahwa hari masih malam. Tetapi, ulama Malikiyyah, melakukan pengecualian dalam sholat. Menurutnya bila keraguan (syakk) berkaitan dengan sholat maka kaidah ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, menurut mereka apabila seserorang ragu dalam masalah wudhu maka wajib berwudhu kembali.
4. Al ashl fi al dzimmah al bara’ah min al taklif wa al huquq.
Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum ada dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seorang tergugat dalam kasus apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan bahwa ia bersalah.
Nasrun Haroen,Ushul Fiqh,hal 128
2 Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushulul Fiqh,hal 152
3 Satria Effendi, M. Zein.Ushul Fiqh,hal 159
4Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushulul Fiqh,hal 154
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf,Abdul Wahhab.Ilmu Ushul Fiqh.1994.Dina Utama Semarang (Toha Putra Group):Semarang
Khallaf,Abdul Wahhab.Ilmu Ushulul Fiqh.1996.Gema Risalah Perss:Bandung
Haroen,Nasrun.Ushul Fiqh.1996.Logos:Jakarta Cet.1
Effendi,Satria dan M. Zein.Ushul Fiqh.2008.Kencana Prenada Media Group:Jakarta
Syaifuddin,Amir.Ushul Fiqh Jilid 2.1999.Kencana Prenada Media Group:Jakarta
Syihab, Umar.Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran.1996.Dina Utama Semarang(Toha Putra Group):Semarang
http://m.cybermq.com dalam Istishhab diakses tanggal 10 Maret 2010
http://sitibaizurah.multiply.com dalam Pengertian Istishhab diakses tanggal 10 Maret 2010
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
USHUL FIQIH
Dosen pengampu ; Sholahuddin Sirizar, MA
Disusun Oleh ;
Ninik Sholikah ( 26.09.3.1.185 )
Noviana Rahayuningtyas ( 26.09.3.1.186)
Nur Amin Barokah Asfari ( 26.09.3.1.187 )
Nur Arina Mudmainah ( 26.09.3.1.188 )
JURUSAN TARBIYAH / PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Istishhab termasuk dalam dalil hukum islam yang tidak disepakati penggunanya di kalangan ulama ushul. Metode Istishhab digunakan oleh kalangan ulama yang menggunakannya setelah mereka tidak dapat menyelesaikan masalah hukum melalui empat dalil yang disepakati, yaitu ; Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Perbedaan pendapat dalam penggunaannya, bukan disebabkan oleh perbedaan dalam mengartikan istishhab tersebut, tetapi memang berbeda dalam menempatkannya sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISTISHAB
Secara etimologi, istishhab ( ) berarti :
1. Meminta bersahabat atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya .
2. Pengakuan terhadap hubungan pernikahan .
3. Meminta ikut serta secara terus-menerus .
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, diantaranya :
a. Imam Ghazali : Berpegang dalil akal atau syara’, bukan karena tidak mengetahui dalil tapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada maksudnya, apabila ada kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui dalil lain yang mengubah hukum tersebut maka hukum yang ada di masa lampau tetap berlaku sebagaimana adanya4.
b. Al-syaukani dalam Irsyad al Fuhul :“Apa yang berlaku secara tepat pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang’’
c. Ibn Al-Subki dalam kitab Jam’u al Jawami :Berlakunya sesuatu pada waktu kedua karena yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama karena tidak ada yang patut untuk mengubahnya.
d. Muhammad ‘Ubaidillah al As’adi : “Mengukuhkan hukum ditetapkan dengan dalil pada masa lalu, dipandang waktu ini diperoleh dalil yang mengubahnya.”
e. Ibn al Hummam dari kalangan ulama Hanafiyah : “Tetapnya sesuatu yang sudah pasti yang belum ada dugaan kuat tentang tiadanya.”
f. Ibnu Hazm (384-456H/994-1064 Mtokoh Fiqh Zhahiriyyah)5 :”berlaku hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (ayat atau hadits) sampai dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut.”
g. Menetapkan sesuatu berdasarkan keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan itu6.
h. Abdul Karim Zaidan, ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir7 :”Tetapnya status sesuatu seperti keadaan semula sebelum ada bukti yang mengubah.”
i. Ibnu Qayyim al Jawziyah, tokoh ushul fiqh Hanbali8 :”Berlakunya hukum yang ada atau meniadakan yang tiada sampai ada bukti yang mengubah keadaannya.”
Dari pengertian Istishhab yang dikemukakan di atas, dipahami bahwa Istishhab itu, ialah:
1. Hukum yang ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Misalnya, seseorang diketahui masih hidup pada masa tertentu dianggap hidup pada masa sesudahnya selama belum terbukti bahwa ia telah wafat.Ulama ushul fiqh menyatakan penetapan hukum pada kasus tersebut didasarkan pada metode Istishhab.
B. DASAR HUKUM ISTISHHAB
Dari keterangan dan contoh di atas diambil kesimpulan bahwa Istishhab bukan cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tapi hakikatnya menguatkan atau menyatakan berlaku hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Karena itu, ulama Hanafiyah menyatakan Istishhab tidak lain hanya mempertahankan hukum yang ada, bukan menetapkan hukum baru. Istishhab bukan dasar atau dalil penetapan hukum yang belum tetap, tetapi menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya Istishhab dapat dijadikan dasar hujjah.
Sebagian besar mengikuti Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i,Hambali dan Madzhab Dzahiri berhujjah dengan istishhab, terdapat perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya, seperti pernyataan Abu Zaid, ulama Madzhab Hanafi Istishhab itu hanya dapat dijadikan dasar hujjah untuk menolak ketetapan yang mengubah ketetapan yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum baru. Jika diperhatikan proses terjadi atau perubahan undang-undang dalam suatu negara atau keputusan pemerintah, maka Istishhab adalah kaidah yang selalu diperhatikan setiap pembuat undang-undang atau peraturan.
C. MACAM-MACAM ISTISHHAB
Ulama Ushul Fiqh mengemukakan bahwa Istishhab ada lima macam, yang sebagian disepakati dan lainnya diperselisihkan. Kelima macam istishhab itu adalah :
1. Istishhab hukum al-Ibahah al-Ashliyyah
Yaitu menetapkan hukum yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misal, seluruh pohon di hutan merupakan milik bersama umat manusia dan setiap orang berhak untuk menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik seseorang. Dalam hal ini alasan yang dikemukakan para ahli ushul fiqh adalah :
•
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ...”
(QS Al Baqarah :29)
Menurut mereka, kalimat “bagi kamu” dalam ayat ini menunjukkan kebolehan memanfaatkan apa-apa yang ada di bumi. Ayat lain yang dijadikan ulama Ushul Fiqh sebagai dasar bentuk Istishhab pertama adalah firman Allah dalam QS. Al-A’raf (7) ayat 32 :
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?"
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa memanfaatkan perhiasan dan mencari rizki yang baik merupakan hak setiap orang. Selanjutnya, para ahli mengatakan bahwa pemanfaatan seluruh ciptaan Allah di bumi, perhiasan-Nya, dan hak mencari rizki, merupakan hak tiap orang dan halal, selama tidak ada dalil lain menunjukkan hukum halal dan boleh telah berubah. Misalnya, hutan yang tadinya dimanfaatkan setiap orang, berdasarkan keputusan pemerintah ditetapkan menjadi hak bagi orang tertentu. Berdasarkan ketetapan pemerintah ini maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan ini berubah menjadi tidak boleh. Istishhab seperti ini menurut ulama dijadikan hujjah penetapan hukum.
2. Istishhab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Ibn Qayyim al Jauziyyah (691-71 H/1292-1350 M ahli ushul fiqh Hambali) menyebutnya dengan washf ats tsabit li al hukum hatta yutsbita khilafuhu (sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu). Misalnya hak milik suatu benda adalah tetap dan terus berlangsung, disebabkan ada transaksi pemilikan, yaitu akad sampai ada sebab hak milik itu pindah tangan kepada orang lain. Contoh lain, hukum wudhu’ seseorang yang telah berwudhu’ dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa terganggu apakah wudhu’nya masih ada atau telah batal maka berdasarkan Istishhab, wudhunya dianggap masih ada karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu’ tersebut, tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu’. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW terhadap seseorang yang merasa ragu terhadap keutuhan wudhu’nya. Ketika itu Rasulullah SAW menyatakan :”Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak maka sekali-kali ia jangan keluar dari mesjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau (kentut).” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Terhadap kehujjahan istishhab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh. Ibn Qayyim al jauziyyah berpendapat bahwa Istishhab seperti ini dapat dijadikan hujjah.
Al-Ghazali menyatakan Istishhab dijadikan hujjah bila didukung dalil atau nash yang menunjukkan hukum itu masih berlaku dan tidak ada dalil lain yang membatalkan. Istishhab tidak dapat dijadikan alasan berdasarkan anggapan bahwa tidak ada dalil lain yang membatalkan suatu hukum.Ulama hanafiyah berpendirian bahwa istishhab seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada (yang akan datang).
Ulama Malikiyyah menolak Istishhab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti orang yang ragu terhadap keutuhan wudhu seperti yang dikemukakan di atas. Menurut mereka, kasus seperti ini Istishhab tidak berlaku. Karenya, bila seseorang merasa ragu akan keutuhan wudhunya sedang ia dalam keadaan shalat maka shalatnya batal dan harus berwudhu kembali dan mengulangi salatnaya.
3. Istishhab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum adanya dalil yang bersifat khusus dan Istishhab dengan nash selama tidak ada dalil yang nash.
Istishhab bentuk ketiga ini, dari segi esensi, tidak diperselisihkan ulama Ushul Fiqh. Dari segi penamaannya,tedapat perbedaaan ulama Ushul Fiqh. Misalnya dalam QS. Al Baqarah, 2:267, “diwajibkan menafkahkan seluruh hasil usaha manusia dan seluruh yang diperoleh melalui pengeksploitasian sumber daya alam”. Kalimat “nafkah” seluruh hasil usaha dan seluruh hasil yang dieksploitasi dari sumber daya alam tersebut menurut kesepakatan ulama Ushul Fiqh bersifat umum, baik berbentuk nafkah zakat, nafkah keluarga, maupun kaum kerabat. Kalimat “hasil usaha” dan “hasil eksploitasi bumi” dalam ayat ini bersifat umum, yakni jenis yang dieksploitasi dari bumi. Kandungan ayat yang umum ini, menurut junhur Ushul Fiqh, tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan seperti ini dinamakan Istishhab.Tapi menurut sebagian ulama lainnya seperti Imam Haramain al Juwaini (419-478 H/1028-1085 M) dan Iamm al Syaukani (1172-1250 H-1759-1824 M) hal seperti ini tidak dinamakan Istishhab, tapi dalil berdasarkan kaidah bahasa, yaitu kaidah yang menyatakan “suatu dalil yang umum tetap berlaku sesuai dengan keumumannya sampai ada dalil yang mengususkannya.”
Contoh Istishhab dengan nash selama tidak ada yang mennashkannya adalah kewajiban berpuasa dalam QS Al Baqarah ayat 183. Menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, termasuk Istishhab tapi menurut ulama Ushul Fiqh lain tidak dinamakan Istishhab melainkan berdalil berdasarkan kaidah bahasa.
4. Istishhab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukumhukum syar’i sebelum datangnya syara’, seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya, apabila seseorang menggugat (penggugat) orang yang tergugat bahwa ia berhutang kepada penggugatsejumlah uang maka penggugat berkewajiban mengemukakan alat-alat bukti atas tuduhannya tersebut. Apabila ia tidajk sanggup maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah mengemukakan alat-alat bukti atas tuduhannya tersebut. Apabila ia tidajk sanggup maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishhab seperti ini diperselisihkan para ulama ushul fiqh.
Menurut ulama Hanafiyyah, istishhab dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukumyang telah ada dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang. Sedangkan menurut ulaam Malikiyyah, Syafi’iyyah dan hanbilah, istishhab seperti ini juga menetapakn hukum syar’i, baikuntuk menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan datang.
5. Istishhab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’, tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Istishhab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujjahannya. Misalnya, ulama fiqh menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan sholat. Apabila sholatnay selesai ia kerjakan maka sholatnya dinyatakan sah. Akan tetapi, apabial dalam keadan sholat ia melihat ada air, apakah sholatnya harus dibatalkan kemudian berwudhu’ atau sholat ia teruskan?
Menurut ulama malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan sholatnya karena ada ijma’ yang menyatakan bawa sholat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukumitu tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan sholatnya unytuk kemudian bewudhu dan mengulang kembali shalatnya.
Akan tetapi, ulama hanaiyyah dan Hanabilah mengatakan orang yang melakukan sholat dengan tayamum dan ketika sholat melihat air, ia harus membatalkan sholatnya, untuk kemudian berwudhu, dan mengulangi sholatnya. Mereka tidak menerima ijma’ tentang sahnya sholat orang yang betayamum sebelum melihat air, karena ijma’,menurut mereka hanya terkait dengan hukum sahnya sholat bagi orang dalam keaadaan ketiadaan air, bukan dalam keadaan tersedianya air.
D. KEHUJJAHAN ISTISHHAB
Istishhab merupakan dalil syara’ terakhir yang dipakai mujtahid sebagai hujjah untuk mengetahui hukum suatu kejadian yangdihadapkan kepadanya. Ulama ushul fiqh mengatakan bahwa pada dasarnya istishhab merupakan tempat berputarnya fatwa yang terakhir untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan selama tidak ada dalil lain yang mengubahnya . Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishhab ketika ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
1. Menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam), Istishhab tidak bisa dijadikan dalil karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka mendasarkan hukum pada Istishhab merupakan penetapan hukum tanpa dalil karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, namun untuk memberlakukan hukum tersebut untuk masa yang akan datang diperlukan dalil lain. Istishhab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang bearati menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak diperbolehkan syara’.
2. Minoritas ulama Hanafiyyah, khususnya muta’akhirin (generasi belakangan), Istishhab bisa jadi hujjjah menetapkan hukum yang ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.
Alasannya, seorang mujtahid meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada, mempunyai gambaran hukumnya sudah ada atau dibatalkan, tetapi tidak mengetahui atau menemukan dalil yang menyatakan hukum telah dibatalkan. Dalam hal ini, mujtahid berpegang pada hukum yang sudah ada, karena tidak mengetahui dalil yang membatalkan hukum itu. Namun, penetapan berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya bukan pada kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, Istishhab hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang ada, selama tidak ada dalil yang membatakkan hukum itu, tapi tidak berlaku menetapkan hak yang baru muncul. Inilah yang dimaksudkan ulama Hanfiyyah dengan Istishhab hujjah li al daf’i la li al itabat (Istishhab menjadi hujjjah mempertahankan hak bukan menetapkan hak). Menurutnya dapat dilihat dalam Istishhab bentuk kedua dan keempat.
3. Ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Zhahiriyyah dan Syi’ah berpendapat bahwa Istishhab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya.
Alasannya, sesuatu yang ditetapkan masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubah,baik secara qath’i (pasti) maupun zhanni (relatif) maka hukum tetap berlaku , karena belum ada perubahannya. Menurutnya suatu dugaan keras (zhann) bisa jadi landasan hukum. Bila tidak demikian, bisa membawa akibat tidak berlakunya seluruh hukum yang disyari’atkan Allah dan Rasulullah SAW bagi generasi sesudahnya. Bila Istishhab tidak bisa menetapkan hukum maka kemungkinan terjdi Naskh (pembatalan) syari’at. Hal itu memunculkan pandangan bahwa tidak berlaku syari’at di jaman Rasulullah bagi generasi sesudahnya.Alasan yang menunjukan berlakunya syari’at di zaman Rasullulah saw.sampai hari kiamat adalah menduga keras (dzann) berlakunya syari’at itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang men-naskh-kannya. Menurut mereka hal ini disebut Istishhab.
Disamping itu, mereka beralasan dengan ijma’, karena banyak hukum juz’i (rinci) yang disepakati ulama ushul fiqh (ijma’) didasarkan kaidah Istishhab. Misalnya, wudhu tidak batal karena keraguan tentang ketentuan wudhu itu, menetapkan halalnya berhubungan suami istri yang malakukan akad nikah sampai terbukti mereka cerai dan menetapkan bahwa hak milik seseorang menjadi miliknya,selama tidak terbukti terjadi pemindahtanganan hak milik tersebut.
E. AKIBAT HUKUM PERBEDAAN KEHUJJAHAN ISTISHHAB
Akibat hukum dari perbedaan pendapat diatas dapat dilihat dalam kasus mafqud (orang hilang yang telah melalui masa bertahun-tahun, tidak diketahui keadaan sebenarnya, apakah masih hidup atau sudah wafat). Menurut ulama Malikiyyah, Syafi’iyyh, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak menerima pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan pada ahli waris lain. Demikian juga bila ada orang yang berwasiat atau menghibahkan harta, atau mewakafkan harta bagi orang yang hilang tersebut. Adapun hartanya yang ia tinggalkan, tetap menjadi miliknya serta tidak boleh dibagi, sampai keadaannya benar-benar diketahui telah wafat. Tetapi, ulama Hanabilah membatasi hal tersebut selama empat tahun setelah kepergiannya. Sebelum habis masa empat tahun tersebut, hartanya belum boleh dibagi kepada ahli warisnya.
Menurut ulama Hanafiyyah, orang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi pada ahli warisnya, sampai keadaan orang itu benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini karena Istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang tidak bisa dibagi), bukan menerima atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah, dan wakaf).
F. KAIDAH-KAIDAH ISTISHHAB
Para ulama ushul fiqh menerapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada istishhab, diantaranya adalah :
1. Al ashl baqa’ ma kaana ‘alaa maa kaana. Hatta yutsbita maa yughayyiruh.
Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang berlaku pada masa lampau, berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum tersebut tidak berlaku lagi. Contohnya adalah kasus orang yang hilang (mafqud).
2. Al ashl fi al asyya’ al ibahah
Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatrnya bermanfaat bagi manusia, hukumnya adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini maka seluruh akad/transaksi dianggap sah selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal. Sebagaimanan juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syara’ yang melarangnya maka hukumnya adalah boleh.
3. Al yaqin la yuzal bi al syakk
Maksudnya, keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui kaidah ini seseorang yang telah berwudhu, apabila merasa ragu akan wudhunya apakah batal atau belum maka ia berpegang pada keyakinannya apabila ia telah berwudhu dan wudhu itu tetap sah.
Contoh lain, bila seseorang sahur di akhir malam, dia tidak mengetahui apakah sudah fajar atau belum. Dalam kasus ini maka sahurnya dilanjutkan dan puasanya sah karena keyakinan bahwa hari masih malam. Tetapi, ulama Malikiyyah, melakukan pengecualian dalam sholat. Menurutnya bila keraguan (syakk) berkaitan dengan sholat maka kaidah ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, menurut mereka apabila seserorang ragu dalam masalah wudhu maka wajib berwudhu kembali.
4. Al ashl fi al dzimmah al bara’ah min al taklif wa al huquq.
Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum ada dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seorang tergugat dalam kasus apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan bahwa ia bersalah.
Nasrun Haroen,Ushul Fiqh,hal 128
2 Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushulul Fiqh,hal 152
3 Satria Effendi, M. Zein.Ushul Fiqh,hal 159
4Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushulul Fiqh,hal 154
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf,Abdul Wahhab.Ilmu Ushul Fiqh.1994.Dina Utama Semarang (Toha Putra Group):Semarang
Khallaf,Abdul Wahhab.Ilmu Ushulul Fiqh.1996.Gema Risalah Perss:Bandung
Haroen,Nasrun.Ushul Fiqh.1996.Logos:Jakarta Cet.1
Effendi,Satria dan M. Zein.Ushul Fiqh.2008.Kencana Prenada Media Group:Jakarta
Syaifuddin,Amir.Ushul Fiqh Jilid 2.1999.Kencana Prenada Media Group:Jakarta
Syihab, Umar.Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran.1996.Dina Utama Semarang(Toha Putra Group):Semarang
http://m.cybermq.com dalam Istishhab diakses tanggal 10 Maret 2010
http://sitibaizurah.multiply.com dalam Pengertian Istishhab diakses tanggal 10 Maret 2010
AL-MASLAHAH
AL- MASLAHAH
I. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang dianugerahkan kepada seluruh manusia melalui seorang Nabi terakhir yang ummi sebagai tuntunan untuk memperoleh kebahagiaan di Dunia dan Akhirat. Sebagai sebuah anugerah dari yang maha Esa tentunya segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah murni hanya untuk kepentingan umat, karena Allah adalah dzat yang suci dari tujuan-tujuan pribadi, bermula dari sini dan dalil-dalil nash maka Ulama’ membuat sebuah kaidah pokok dari tujuan syari’at yaitu, mendatangkan berbagai kemaslahatan serta menolak berbagai kerusakan atau bias disebut juga Malahah Mursalah. Perlu kita ketahui bahwa semua mujtahid menggunakan konsep ini dalam menghasilkan produk-produk hukum karena mereka semua sepakat bahwa denganya Syari’at Islam telah membuktikan bahwa ia adalah agama yang mampu untuk menjawab berbagai tantangan dari perkembangan zaman dan peradaban yang tidak bisa kita pungkiri telah memiliki wujud yang selalu berubah-ubah ditiap situasi dan kondisi.
Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran, teknologi, dan budaya masyarakat, banyak problematika kehidupun muncul kepermukaan bumi. Mulai dari permasalahan masyarakat kalangan bawah sampai pada kalangan pejabat. Mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali sosial-politik. Semua itu memerlukan jawaban yang mapan untuk menyelesaikan masalah ini.
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang salah satu dari tujuan syari’at yaitu maslahah yang akan membuka wawasan kita tentang kajian Ushul Fiq¬h dan semoga bisa membuat kita lebih profesional di dalam menyikapi segala permasalahan yang ada di sekitar kita yang terus berkembang dan berubah dari waktu kewaktu dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua aminn.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Maslahah
Menurut istilah umum Maslahah adalah: mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya Manfaat adalah ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala sesuatu yang ada kaitan denganya.
Pandangan terhadap Maslahah tebagi menjadi dua bagian, yaitu pandangan maslahah menurut kaum sosialis materialis serta pandanganya menurut syara’(hakikat syara’), dalam pembahasan pertama al Syatiby mengatakan: “ maslahah ditinjau dari segi artinya adalah segala sesuatu yang menguatkan keberlangsungan dan Menyerpurnakan kehidupan manusia, serta memenuhi segala keinginan rasio dan syahwatnya secara mutlak” . Sedangkan menurut arti secara Syara’ (hakikat) adalah segala sesuatu yang menguatkan kehidupan di dunia tidak dengan cara merusaknya serta mampu menuai hasil dan beruntung di akhirat, dalam hal ini al Syatiby mengatakan, “ menarik kemaslahatan dan membuang hal-hal yang merusak bisa juga disebut dengan melaksanakan kehidupan di dunia untuk kehidupan di akhirat”. sedangkan menurut al Ghozali maslahah adalah: “memelihara tujuan daripada syari’at”. sedangkan tujuan syara’ meliputi lima dasar pokok, yaitu:
1.melindungi agama (hifdu al diin),
2.melindungi jiwa (hifdu al nafs),
3.melindungi akal (hifdu al aql),
4.melindungi kelestarian manusia (hifdu al nasl),
5.melindungi harta benda (hifdu al mal).
Bukan hal yang diragukan lagi bahwa lafad al-Maslahah dan al-Mafsadah adalah berupa bentuk yang masih umum, yang menurut kesepakatan ulama’ adalah mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan dunia dan akhirat, al-Syatibi menyatakan “bahwa tujuan dari diturunkanya Syari’at adalah untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat secara bersamaan.”.
Al ghozali .1997. “al mustasfa,Juz 1” Bairut.daar al ihya’ al turats al ‘araby. 217
Wahba Zuhaili,ilmu ushl al fiqh., juz II.hlm.799-800.
Abd. Wahbah Khalaf. Ilmu ushul fiqh.hlm. 86.
Dr M.ibn ahmad taqiyah.1999.”masadiru al tasyri’ al islamy”.Lebanon. muasisu al kitab al tsaqofiyah. Hlm. 138
Wahbah zuhaily.1990.”Ushul Fiqh”.kuliyat da’wah al islami. Hlm 89
Maslahah al mursalah atau istihlah
A. Pegertian
Istihlah menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar meelihara kemaslahatan.
Tiga macam kemaslahatan
1. Kemaslahatan yang ditegaskan dalam al Qur’an atu as Sunah , kemaslahatan ini disepakati para ulama’ . contohnya Hifdu nafsi, hifdu mal , dn lain sebagainya .
2. Kemaslahatan yang bertentangan dengan nash syara’ qath’i. Jumhur ulam meno,lak kemaslahantan ini kecuali NajmuddinAthufi dari Mazhab Maliki, sedngkan dlam bertentangkan dengan nash yang dhani para ulam berbeda pendapat dalam hal ini
3. Kemaslahatan yang tidak dinyatakan dalam syara’, tetapi tidak ada dalili yang menolaknya. Inilah yang dimaksud dalam mursalah, para ulam berbeda pendapat dalam hal , para ulam yng menolak mengjunakan istihsa juga menolak pengunaan maslahah mursalah.
B. Lapangan istihlah dan kehujjahanya
Istihlah tidak berlaku dalam bidang ibadah, karean dalam hukum-hukum ibadah adalah ta’abudi, adapun selain dalam bidang ibadah dan selain ketentuan-ketentuan yang qat’i yang ditetapkan dalam bidang muamalah, dalam bidang ta’zir , pembuktian perkara-perkara yang lain, para ualam berbeda pendapat dalam hal ini
Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa istihlah adalah salah satu jalan menetapkan hukum yang tak ad nash da tak ada pula ijma’ terhadapnya. Menurut mereka Maslahah Mursalah yang tidak ditunjuki oleh Syara’ dan tjidak pula dibatalkan dapat dijadikan dasar istimbat
Jumhur ulama mengangap Maslahah Mursalah sebagai hujjah syari’ah , sekalipun dengan nama yang berbeda-beda. Adapun alasan pengunaan Istihlah sebagai dasar syar’i diantarnya
1. Kemaslahatan yang diharapokan manuia itu tumbuh dan bertambah. Sekiranya hukum tidak menampung untuk menetapkan kemaslahatna manusia yang dapat diterima, berarti kurang sempurna syari’at itu , atau bekuilah syari’at itu . padahal nyatalah tidak demikian
2. Kalau diamati benar-benar, para shahabat dan tabi’in serta para imam mujtahid, mereka telah menetapkan hukum-hukum berdasarkan kemaslahaan, seperti abu Bakar memerintahkn untuk menyususn Mushaf yang sebelumya terumpul.
Alasan para ulama yang menolak pengunaan Maslahah Mursalah sebagai dalil Syara’
Ulama yan menolak pengunaan Istihlah sebagai dalili syari’ antara lai Imam syafii , beliu menolak pengunaan istihlah dengan disamakan dengan istihsan , alasan para ulama dalam menolak aistihlah sebagai dalil syar’ antara lain :
1. Syari’at islam menpunyai tujuan menjaga tujuan kemaslahatan manusia. Sedangkan syara’ tidak menbiarkan manusia dalam keadaan terlantar ftampa petunjuk. Pentunjuk itu itu berdasarkan ibarat nas. Kalu kemaslahatan yang tidak berpedoman
C. Syarat-syarat penggunaan Maslahah Mursalah
1. Al Maslahah Mursalah tidak boleh bertentangan dengan Maqosid Al Syari’ah., dalil-dalil kulli’ semangat ajaran islam dan dalil-dalil juz’i yang qathi wurud dan dalalahnya.
2. kemaslahatan tersebut harus menyakinkan dalam arti harus ada pembahasan dan penilitian yang rasional serta mendalam sehingga kita yakin menberkan manfaat atau menolak kemudharatan.
3. kemaslahatan itu bersifat umum
4. pelaksanaan tidak menimbulkan kesulitan yan tidak wajar
Dengan adanya cara berrijtihad dengan istihsan dan istihlah menyebabkan hukum islam akan dapat menampung hal-hal yang baru dengan tetap tidak akan kehilanagan indetitasnya sebagai hukum islam.
Daftar Pustaka
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI, Yogyakarta
MASLAHAH MURSALAH
SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN UMAT
Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran dan budaya masyarakat, setumpuk problematika kehidupun muncul kepermukaan. Mulai dari permasalahan masyarakat kalangan bawah sampai pada kalangan teknokrat dan feodal. Mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali sosial-politik. Semua itu memerlukan jawaban yang mapan.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi harkat manusia dengan misi utamanya "rahmatan lil alamin" , tertantang untuk menjawab semua problem di atas.
Tapi benarkah Islam menjadi rahmat bagi segenap manusia, sementara sebagian hukumnya–seperti yang terekam dalam sejumlah kitab klasik- terkesan sangat memberatkan? Keraguan ini sangat beralasan, akan tetapi bisakah keraguan itu dibenarkan? Ataukah keraguan tersebut hanya sebatas keraguan yang tak beralasan karena kurang memahami prinsip hukum Islam?
Secara etimologi, Maslahah berarti manfaat, kemanfaatan, atau pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan terminologi, Al Gahazali menyatakan bahwa maslahah pada prinsipnya adalah mengambil manfaat dan menolak mudlarat untuk memelihara tujuan-tujuan syariat (Nasution: 114).
Menurut Al Ghazali, maslahah harus sejalan dengan tujuan syariat, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia. Sebab, kemaslahatan yang dikehendaki oleh manusia tidak selamanya didasarkan pada tujuan syariat. Tapi, sering didasarkan pada hawa nafsunya. Oleh karena itu, parameter untuk menentukan kemaslahatan itu adalah tujuan syariat.
Tulisan singkat ini mencoba mengkaji maslahah mursalah dan relevansinya dengan perkembangan hukum Islam.
Varian-varian Maslahah
Ditinjau dari materinya, para ulama ushul fikh membagi maslahah menjadi dua :
1. Maslahah ammah ;
Maslahah al ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya ulama memperbolehkan membunuh penyebar bid'ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Maslahah khassah .
Maslahah khashsah adalah kemaslahatan pribadi. Maslahah khashsah ini sering terjadi dalam kehidupan kita seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.
Pembagian kemaslahatan di atas sangat urgen, karena berkaitan dengan prioritas yang harus diambil ketika terjadi benturan antara kemaslahatan umum dan kemaslahatan yang bersifat indivual. Dalam pertentangan keduanya, Islam mendahulukan kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi.
Sementara dilihat dari berubah atau tidaknya maslahah , Muhammad Mustafa al-Ayalabi membagi maslahah menjadi 2 :
1. Maslahah al stabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat permanin (tetap) dan tidak berubah sampai akhir zaman. Maslahah ini berkait dengan aspek ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji dsb.
2. Maslahah Mutaghayirah, yaitu kemaslahatan yang selalu berubah sesuai dengan perubahan situasi, kondisi, dan subyek hukum. Kemaslahatan ini berkaitan erat dengan intraksi sosial ( muamalah ) dan adat kebiasaan.
Dan dilihat dari segi keberadaan Maslahat itu sendiri, syariat membaginya atas tiga bentuk yaitu:
1. Maslahah muktabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syariat.
Maksudnya, ada dalil khusus yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Dalam kasus peminum khamer misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadis Nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW.
2. Maslahah al-mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syariat karena bertolak belakang dengan ketentuan syariat.
Misalnya, syarak menetukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan ramadan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (H.R. al Bukhari dan Muslim). Terkait dengan kasus ini al Laits Ibnu Sa'ad langsung menetapkan dengan hukuman berupa puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang penguasa yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadlan (al-Hassan: 1997, 428).
Dalam kasus ini, para ulama memandang putusan hukum yang diberikan oleh al-Laits tadi bertentangan dengan Hadits Rasullah di atas, karena bentuk-bentuk hukum itu menurut mereka harus diterapkan secara berurutan. Oleh sebab itu ulama ushul fikh memandang mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut daripada memerdekakan seorang budak dengan dalil kemaslahatan hukum, merupakan kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syarak, sehingga dengan sendirinya putusan itu menjadi batal. Kemaslahatan semacam ini, menurut kesepakatan mereka disebut Maslahah al Mulghah dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam memproduk hukum.
3. Maslahah yang keberadaannya tidak didukung oleh syarak dan tidak pula ditolak melalui dalil yang detail (rinci).
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu :
pertama , maslahah al-gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau suatu kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syarak, baik secara rinci maupun secara umum. Ironisnya, para ulama ushul fikh sendiri tidak dapat mengemukakan contohnya yang pasti. Bahkan Imam as Syatibi menyatakan, kemaslahatan jenis ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada secara teori.
Kedua , maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syariat atau nash secara rinci, namun ia mendapat dukungan kuat dari makna implisit sejumlah nash yang ada.
Berargumen dengan maslahah
Ulama ushul fikih sepakat menyatakan bahwa maslahah muktabarah dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Sedang maslahah al Mulghah dan maslahah al gharibah dianggap tidak dapat digunakan untuk menetapkan hukum Islam.
Pada prinsipnya, semua ulama madzhab menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syariat sekalipun mereka berbeda pendapat dalam peristilahan, menentukan syarat, penerapan, dan penempatannya.
Menolak kemudlaratan, merupakan tujuan syarak yang wajib dilakukan. Ia termasuk dalam konsep maslahah muarsalah. Atas dasar itulah ulama hanafiyah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dengan syarat bahwa kemaslahatan tersebut terdapat dan didukung oleh nash dan ijma' . Penerapan konsep maslahah mursalah di kalangan hanafiyah terlihat sangat luas dalam metode Istihsan.
Maslahah ini yang menyebabkan Saydina Abu Bakar Ra mengumpulkan lembaran-lembaran al Quran yang berserakan sehingga—dalam perkembangannya—menjadi satu mushaf. Sebelumnya, kodifikasi ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dengan dasar maslahah pula Saydina Umar Ra membentuk kota-kota administrasi, membangun penjara, dsb.
Selain hanafiyah, madzhab Maliki dan Hambali adalah madzhab yang menerima maslahah mursalah sebagai landasan hukum, bahkan kedua madzhab ini dianggap sebagai ulama fikh yang paling banyak dan luas dalam menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah adalah hasil induksi dari logika sekumpulan nash, akan tetapi bukan dari nash-nash yang rinci sebagaimana dalam Qiyas.
Alasan-alasan yang digunakan jumhurul ulama untuk menjadikan maslahah sebagai pijakan hukum, antara lain :
1. Kesimpulan mereka atas sejumlah ayat dan hadist yang menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia sebagaimana disinyalir firman Allah “dan tidaklah kami mengutus mu (Muhammad) melainkan sebagai Rahmat bagi semesta alam” .
Menurut mereka, Rasulullah SAW tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu, serta subyek hukum.
Apabila syariat Islam hanya dibatasi pada hukum-hukum yang sudah ada saja, padahal problematika dan kemaslahatan selalu muncul dan berkembang, maka akan membawa kesulitan bagi umat manusia.
3. Penggunaan maslahah mursalah ini juga didasarkan pada beberapa atsarus sahabah .
Kereteria Maslahah dan Pandangan-pandangan Ulama tentangnya
Untuk menjadi pijakan hukum, ulama menetapkan beberapa kereteria yang harus dipenuhi. Beberapa syarat maslahah tersebut adalah :
• Kemaslahatan sejalan dengan maksud syariat.
• Kemaslahatan itu harus bersifat rasional, bukan sekadar perkiraan ( Zaidan:1996, 242) .
• Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Madzhab Syafii pada dasarnya juga menjadikan maslahah mursalah sebagai salah satu dalil syariat. Akan tetapi beliau lebih cenderung memasukkannya ke dalam bagian Qiyas. Misalnya, beliau mengqiyaskan hukuman bagi peminum arak pada hukuman orang yang menuduh orang berzina, yaitu berupa dera sebanyak 80 kali, karena orang yang mabuk diduga kuat akan menuduh orang lain berbuat zina.
Tidak dipungkiri bahwa kebanyakan hukum yang dilahirkan dari qaul jadid Imam Syafi'i di Mesir didasarkan pada adat penduduknya. Ini tidak lain hanyalah untuk kemaslahatan penduduknya.
Al-Ghazali juga membahas maslahah mursalah dalam kitab al-mustasfâ . Menurutnya, syarat untuk menjadikan maslahah mursalah sebagai argumen untuk mengambil hukum sama dengan tiga point di atas walaupun sedikit berbeda pada point kedua dan ketiga, yatiu:
(1). Maslahah itu sejalan dengan syariat;
(2). maslahah itu tidak bertentangan dengan nash syariat;
(3). maslahah tersebut masuk dalam kategori maslahah dlaruriyah (kebutuhan yang sangat mendesak), baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kepentingan orang banyak. Untuk yang terahir ini, al-Ghazali mengatakan bahwa hajiyah (kebutuhan biasa), apabila menyangkut kepentingan orang banyak bisa menjadi dlaruriyah .
Selanjutnya beliau menambahkan, jika yang dimaksudkan dengan maslahah mursalah adalah untuk mewujudkan moralitas unversal syariat maka dalil ini tidak perlu diperselisihkan lagi dan harus diikuti. Namun, jika terjadi pertentangan antara dua maslahah, maka harus dilakukan tarjih .
Senada dengan itu Al-Qurtubi menyatakan bahwa dengan adanya batasan-batasan itu maka dalil ini tidak seharusnya diperselihkan eksistensinya. Walaupun para ulama fikih mengemukakan syarat-syarat yang sangat ketat dalam menggunakan maslahah sebagai pijakan hukum, namun pada kenyataannya, para sahabat yang memenuhi semua syarat tersebut.
Mereka hanya menjaga kemaslahatan meskipun sifatnya hanya parsial, teka-teki, atau dzanni (praduga). Hal ini pernah dilakukan oleh Saydina Umar Ra ketika menghukumi talak terhadap seorang wanita yang suaminya hilang selama empat tahun. Keputusan Saydina Umar Ra ini adalah untuk melindungi kemaslahatan si istri tersebut dan menghindarkannya dari bahaya meskipun tidak ada kejelasan mengenai kematian sang suami Pendapat Saydina Umar Ra di atas disepakati oleh saydina Utsman Ra, Saydina Ali Ra, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan sejumlah tabi'in .
Keputusan seperti ini juga banyak diambil oleh para sahabat pada kasus-kasus yang berbeda . Oleh karenanya, Imam al Syatibi dalam memberlakukan maslahah mursalah tidak menetapkan syarat sebagaimana yang dilakukan oleh al-Ghazali, khususnya poin pertama dan kedua. Hanya saja beliau memberikan tiga hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan dalil maslahah , yaitu :
(1) bersifat logis, dan bukan masalah ta'abbudi (ibadah) karena hal-hal yang bersifat ta'abbudi adalah sesuatu yang harus diterima;
(2) berhubungan dengan tujuan syariat secara global dengan tidak menghilangkan hukum dari asalnya, serta tidak ada dalil yang menunjukkan secara qath'i ;
(3) penggunaan dalil tersebut untuk menjaga sesuatu yang mendesak ( dharuri ) atau menghilangkan kesulitan dalam agama (al-Qaradhawi: 2002, 77).
Dasar penggunaan dalil maslahah untuk menghilangkan kesulitan adalah untuk meringankan dan mempermudah. Oleh karena itu, tidak harus memenuhi beberapa syarat yang dikemukakan olah al-Ghazali. Sebab, kemaslahatan adakalanya bersifat mendesak. Tidak menjadi keharusan pula bahwa sesuatu yang menyeluruh itu meliputi kepentingan umum. Sedangkan memelihara maslahat pribadi dan kelompok-kelompok yang berbeda diakui oleh syariat. Maslahah yang dapat dijadikan sebagai pijakan hukum itu tidak harus berupa dalil qat'i (pasti). Dzan yang rajih pun dibenarkan dalam hukum derivasi.
Tokoh lain yang berbicara tentang maslahah ini adalah Najm al Din al-Thufi. Dia memandang bahwa inti ajaran Islam yang terkandung dalam nash adalah maslahah bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemaslahatan disyariatkan. Kemaslahatan tidak perlu mendapat dukungan dari nash , baik literal atau tersirat.. Menurutnya, maslahah merupakan dalil kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syariat.
Pandangan al-Thufi ini tentu bertentangan dengan paham yang dianut oleh mayoritas ulama ushul fikih di zamannya yang memandang bahwa maslahah harus didukung syariat, baik literal atau tersirat. Karena pandangan ini juga, al-Thufi termarginalkan dari forum-forum ulama ushul fikih di zamannya. Akan tetapi, pemikirannya tentang maslahah ini kemudian banyak dikaji oleh ulama ushul sesudahnya, terutama oleh pemikir kontemporer.
Alasan al Thufi dalam menjadikan maslahah sebagai hujjah sebagai berikut :
(1) akal bebas menentukan maslahah dan mafsadah;
(2) maslahah hanya berlaku dalam mu'amalah dan adat, sedangkan ibadah merupakan hak Allah semata;
(3) maslahah adalah dalil yang mandiri dalam menetapkan hukum syariat, tidak butuh dukungan nash. Oleh karenanya, jika terjadi pertentangan dengan nash maka maslahah harus dimenangkan dengan cara men takhsish nash dan bayan .
Walupun secara sepintas orang akan mengklaim pandangan al Thufi ini sangat radikal, namun menurut penulis, pandangan al-Thufi sebenarnya tidak jauh berbeda al-Ghazali atau al-Syatibi. Hal itu karena pandangan al Thufi mengenai maslahah ini lebih menekankan pada sejumlah kasus yang bersifat dharurah . Sehingga menurut beliau, ketika maslahah berseberangan dengan nash maka yang dimenangkan adalah maslahah.
Kesimpulan.
Maslahah mursalah relevan dalam kehidupan masyarakat yang selalu berkembang terutama pada era modern saat ini. Tanpanya, para ulama dan intelektual Muslim akan mendapati kesulitan dalam memproduk hukum yang relevan dan menyentuh segala aspek kehidupan bermasyarakat.
Dengannya, hukum tidak kaku, tidak mempersulit, dan sesuai dengan kadar masyarakat, yang pada gilirannya akan ditinggalkan. Namun begitu, hukum juga tidak liberal (bebas) yang berakibat pada tidak adanya parameter yang pasti dan jelas sehingga mudah diperalat sebagai alat justifikasi oknum-oknum tertentu.
Relevansi hukum-hukum Islam sebenarnya nampak pada perbedaan produk hukum ulama-ulama terdahulu. Mereka memproduk hukum sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Bahkan al-Syafi'i pun mempunyai qaul qadim dan qaul jadid .
Masalahnya sekarang, kenapa kebanyakan ulama masa sekarang merasa puas bahkan memandang sudah cukup dengan putusan-putusan hukum yang ditetapkan oleh ulama sekitar empat belas abad yang silam? Semoga fenomena itu bukan disebabkan oleh statemen yang mengatakan bahwa “pintu ijtihad sudah ditutup.” Amin.
*******
by arland
from : Abd Hadi Rahmany (mahasiswa STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang)
__._,_.___
Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.
I. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang dianugerahkan kepada seluruh manusia melalui seorang Nabi terakhir yang ummi sebagai tuntunan untuk memperoleh kebahagiaan di Dunia dan Akhirat. Sebagai sebuah anugerah dari yang maha Esa tentunya segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah murni hanya untuk kepentingan umat, karena Allah adalah dzat yang suci dari tujuan-tujuan pribadi, bermula dari sini dan dalil-dalil nash maka Ulama’ membuat sebuah kaidah pokok dari tujuan syari’at yaitu, mendatangkan berbagai kemaslahatan serta menolak berbagai kerusakan atau bias disebut juga Malahah Mursalah. Perlu kita ketahui bahwa semua mujtahid menggunakan konsep ini dalam menghasilkan produk-produk hukum karena mereka semua sepakat bahwa denganya Syari’at Islam telah membuktikan bahwa ia adalah agama yang mampu untuk menjawab berbagai tantangan dari perkembangan zaman dan peradaban yang tidak bisa kita pungkiri telah memiliki wujud yang selalu berubah-ubah ditiap situasi dan kondisi.
Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran, teknologi, dan budaya masyarakat, banyak problematika kehidupun muncul kepermukaan bumi. Mulai dari permasalahan masyarakat kalangan bawah sampai pada kalangan pejabat. Mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali sosial-politik. Semua itu memerlukan jawaban yang mapan untuk menyelesaikan masalah ini.
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang salah satu dari tujuan syari’at yaitu maslahah yang akan membuka wawasan kita tentang kajian Ushul Fiq¬h dan semoga bisa membuat kita lebih profesional di dalam menyikapi segala permasalahan yang ada di sekitar kita yang terus berkembang dan berubah dari waktu kewaktu dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua aminn.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Maslahah
Menurut istilah umum Maslahah adalah: mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya Manfaat adalah ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala sesuatu yang ada kaitan denganya.
Pandangan terhadap Maslahah tebagi menjadi dua bagian, yaitu pandangan maslahah menurut kaum sosialis materialis serta pandanganya menurut syara’(hakikat syara’), dalam pembahasan pertama al Syatiby mengatakan: “ maslahah ditinjau dari segi artinya adalah segala sesuatu yang menguatkan keberlangsungan dan Menyerpurnakan kehidupan manusia, serta memenuhi segala keinginan rasio dan syahwatnya secara mutlak” . Sedangkan menurut arti secara Syara’ (hakikat) adalah segala sesuatu yang menguatkan kehidupan di dunia tidak dengan cara merusaknya serta mampu menuai hasil dan beruntung di akhirat, dalam hal ini al Syatiby mengatakan, “ menarik kemaslahatan dan membuang hal-hal yang merusak bisa juga disebut dengan melaksanakan kehidupan di dunia untuk kehidupan di akhirat”. sedangkan menurut al Ghozali maslahah adalah: “memelihara tujuan daripada syari’at”. sedangkan tujuan syara’ meliputi lima dasar pokok, yaitu:
1.melindungi agama (hifdu al diin),
2.melindungi jiwa (hifdu al nafs),
3.melindungi akal (hifdu al aql),
4.melindungi kelestarian manusia (hifdu al nasl),
5.melindungi harta benda (hifdu al mal).
Bukan hal yang diragukan lagi bahwa lafad al-Maslahah dan al-Mafsadah adalah berupa bentuk yang masih umum, yang menurut kesepakatan ulama’ adalah mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan dunia dan akhirat, al-Syatibi menyatakan “bahwa tujuan dari diturunkanya Syari’at adalah untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat secara bersamaan.”.
Al ghozali .1997. “al mustasfa,Juz 1” Bairut.daar al ihya’ al turats al ‘araby. 217
Wahba Zuhaili,ilmu ushl al fiqh., juz II.hlm.799-800.
Abd. Wahbah Khalaf. Ilmu ushul fiqh.hlm. 86.
Dr M.ibn ahmad taqiyah.1999.”masadiru al tasyri’ al islamy”.Lebanon. muasisu al kitab al tsaqofiyah. Hlm. 138
Wahbah zuhaily.1990.”Ushul Fiqh”.kuliyat da’wah al islami. Hlm 89
Maslahah al mursalah atau istihlah
A. Pegertian
Istihlah menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar meelihara kemaslahatan.
Tiga macam kemaslahatan
1. Kemaslahatan yang ditegaskan dalam al Qur’an atu as Sunah , kemaslahatan ini disepakati para ulama’ . contohnya Hifdu nafsi, hifdu mal , dn lain sebagainya .
2. Kemaslahatan yang bertentangan dengan nash syara’ qath’i. Jumhur ulam meno,lak kemaslahantan ini kecuali NajmuddinAthufi dari Mazhab Maliki, sedngkan dlam bertentangkan dengan nash yang dhani para ulam berbeda pendapat dalam hal ini
3. Kemaslahatan yang tidak dinyatakan dalam syara’, tetapi tidak ada dalili yang menolaknya. Inilah yang dimaksud dalam mursalah, para ulam berbeda pendapat dalam hal , para ulam yng menolak mengjunakan istihsa juga menolak pengunaan maslahah mursalah.
B. Lapangan istihlah dan kehujjahanya
Istihlah tidak berlaku dalam bidang ibadah, karean dalam hukum-hukum ibadah adalah ta’abudi, adapun selain dalam bidang ibadah dan selain ketentuan-ketentuan yang qat’i yang ditetapkan dalam bidang muamalah, dalam bidang ta’zir , pembuktian perkara-perkara yang lain, para ualam berbeda pendapat dalam hal ini
Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa istihlah adalah salah satu jalan menetapkan hukum yang tak ad nash da tak ada pula ijma’ terhadapnya. Menurut mereka Maslahah Mursalah yang tidak ditunjuki oleh Syara’ dan tjidak pula dibatalkan dapat dijadikan dasar istimbat
Jumhur ulama mengangap Maslahah Mursalah sebagai hujjah syari’ah , sekalipun dengan nama yang berbeda-beda. Adapun alasan pengunaan Istihlah sebagai dasar syar’i diantarnya
1. Kemaslahatan yang diharapokan manuia itu tumbuh dan bertambah. Sekiranya hukum tidak menampung untuk menetapkan kemaslahatna manusia yang dapat diterima, berarti kurang sempurna syari’at itu , atau bekuilah syari’at itu . padahal nyatalah tidak demikian
2. Kalau diamati benar-benar, para shahabat dan tabi’in serta para imam mujtahid, mereka telah menetapkan hukum-hukum berdasarkan kemaslahaan, seperti abu Bakar memerintahkn untuk menyususn Mushaf yang sebelumya terumpul.
Alasan para ulama yang menolak pengunaan Maslahah Mursalah sebagai dalil Syara’
Ulama yan menolak pengunaan Istihlah sebagai dalili syari’ antara lai Imam syafii , beliu menolak pengunaan istihlah dengan disamakan dengan istihsan , alasan para ulama dalam menolak aistihlah sebagai dalil syar’ antara lain :
1. Syari’at islam menpunyai tujuan menjaga tujuan kemaslahatan manusia. Sedangkan syara’ tidak menbiarkan manusia dalam keadaan terlantar ftampa petunjuk. Pentunjuk itu itu berdasarkan ibarat nas. Kalu kemaslahatan yang tidak berpedoman
C. Syarat-syarat penggunaan Maslahah Mursalah
1. Al Maslahah Mursalah tidak boleh bertentangan dengan Maqosid Al Syari’ah., dalil-dalil kulli’ semangat ajaran islam dan dalil-dalil juz’i yang qathi wurud dan dalalahnya.
2. kemaslahatan tersebut harus menyakinkan dalam arti harus ada pembahasan dan penilitian yang rasional serta mendalam sehingga kita yakin menberkan manfaat atau menolak kemudharatan.
3. kemaslahatan itu bersifat umum
4. pelaksanaan tidak menimbulkan kesulitan yan tidak wajar
Dengan adanya cara berrijtihad dengan istihsan dan istihlah menyebabkan hukum islam akan dapat menampung hal-hal yang baru dengan tetap tidak akan kehilanagan indetitasnya sebagai hukum islam.
Daftar Pustaka
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI, Yogyakarta
MASLAHAH MURSALAH
SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN UMAT
Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran dan budaya masyarakat, setumpuk problematika kehidupun muncul kepermukaan. Mulai dari permasalahan masyarakat kalangan bawah sampai pada kalangan teknokrat dan feodal. Mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali sosial-politik. Semua itu memerlukan jawaban yang mapan.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi harkat manusia dengan misi utamanya "rahmatan lil alamin" , tertantang untuk menjawab semua problem di atas.
Tapi benarkah Islam menjadi rahmat bagi segenap manusia, sementara sebagian hukumnya–seperti yang terekam dalam sejumlah kitab klasik- terkesan sangat memberatkan? Keraguan ini sangat beralasan, akan tetapi bisakah keraguan itu dibenarkan? Ataukah keraguan tersebut hanya sebatas keraguan yang tak beralasan karena kurang memahami prinsip hukum Islam?
Secara etimologi, Maslahah berarti manfaat, kemanfaatan, atau pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan terminologi, Al Gahazali menyatakan bahwa maslahah pada prinsipnya adalah mengambil manfaat dan menolak mudlarat untuk memelihara tujuan-tujuan syariat (Nasution: 114).
Menurut Al Ghazali, maslahah harus sejalan dengan tujuan syariat, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia. Sebab, kemaslahatan yang dikehendaki oleh manusia tidak selamanya didasarkan pada tujuan syariat. Tapi, sering didasarkan pada hawa nafsunya. Oleh karena itu, parameter untuk menentukan kemaslahatan itu adalah tujuan syariat.
Tulisan singkat ini mencoba mengkaji maslahah mursalah dan relevansinya dengan perkembangan hukum Islam.
Varian-varian Maslahah
Ditinjau dari materinya, para ulama ushul fikh membagi maslahah menjadi dua :
1. Maslahah ammah ;
Maslahah al ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya ulama memperbolehkan membunuh penyebar bid'ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Maslahah khassah .
Maslahah khashsah adalah kemaslahatan pribadi. Maslahah khashsah ini sering terjadi dalam kehidupan kita seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.
Pembagian kemaslahatan di atas sangat urgen, karena berkaitan dengan prioritas yang harus diambil ketika terjadi benturan antara kemaslahatan umum dan kemaslahatan yang bersifat indivual. Dalam pertentangan keduanya, Islam mendahulukan kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi.
Sementara dilihat dari berubah atau tidaknya maslahah , Muhammad Mustafa al-Ayalabi membagi maslahah menjadi 2 :
1. Maslahah al stabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat permanin (tetap) dan tidak berubah sampai akhir zaman. Maslahah ini berkait dengan aspek ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji dsb.
2. Maslahah Mutaghayirah, yaitu kemaslahatan yang selalu berubah sesuai dengan perubahan situasi, kondisi, dan subyek hukum. Kemaslahatan ini berkaitan erat dengan intraksi sosial ( muamalah ) dan adat kebiasaan.
Dan dilihat dari segi keberadaan Maslahat itu sendiri, syariat membaginya atas tiga bentuk yaitu:
1. Maslahah muktabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syariat.
Maksudnya, ada dalil khusus yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Dalam kasus peminum khamer misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadis Nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW.
2. Maslahah al-mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syariat karena bertolak belakang dengan ketentuan syariat.
Misalnya, syarak menetukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan ramadan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (H.R. al Bukhari dan Muslim). Terkait dengan kasus ini al Laits Ibnu Sa'ad langsung menetapkan dengan hukuman berupa puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang penguasa yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadlan (al-Hassan: 1997, 428).
Dalam kasus ini, para ulama memandang putusan hukum yang diberikan oleh al-Laits tadi bertentangan dengan Hadits Rasullah di atas, karena bentuk-bentuk hukum itu menurut mereka harus diterapkan secara berurutan. Oleh sebab itu ulama ushul fikh memandang mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut daripada memerdekakan seorang budak dengan dalil kemaslahatan hukum, merupakan kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syarak, sehingga dengan sendirinya putusan itu menjadi batal. Kemaslahatan semacam ini, menurut kesepakatan mereka disebut Maslahah al Mulghah dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam memproduk hukum.
3. Maslahah yang keberadaannya tidak didukung oleh syarak dan tidak pula ditolak melalui dalil yang detail (rinci).
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu :
pertama , maslahah al-gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau suatu kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syarak, baik secara rinci maupun secara umum. Ironisnya, para ulama ushul fikh sendiri tidak dapat mengemukakan contohnya yang pasti. Bahkan Imam as Syatibi menyatakan, kemaslahatan jenis ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada secara teori.
Kedua , maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syariat atau nash secara rinci, namun ia mendapat dukungan kuat dari makna implisit sejumlah nash yang ada.
Berargumen dengan maslahah
Ulama ushul fikih sepakat menyatakan bahwa maslahah muktabarah dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Sedang maslahah al Mulghah dan maslahah al gharibah dianggap tidak dapat digunakan untuk menetapkan hukum Islam.
Pada prinsipnya, semua ulama madzhab menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syariat sekalipun mereka berbeda pendapat dalam peristilahan, menentukan syarat, penerapan, dan penempatannya.
Menolak kemudlaratan, merupakan tujuan syarak yang wajib dilakukan. Ia termasuk dalam konsep maslahah muarsalah. Atas dasar itulah ulama hanafiyah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dengan syarat bahwa kemaslahatan tersebut terdapat dan didukung oleh nash dan ijma' . Penerapan konsep maslahah mursalah di kalangan hanafiyah terlihat sangat luas dalam metode Istihsan.
Maslahah ini yang menyebabkan Saydina Abu Bakar Ra mengumpulkan lembaran-lembaran al Quran yang berserakan sehingga—dalam perkembangannya—menjadi satu mushaf. Sebelumnya, kodifikasi ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dengan dasar maslahah pula Saydina Umar Ra membentuk kota-kota administrasi, membangun penjara, dsb.
Selain hanafiyah, madzhab Maliki dan Hambali adalah madzhab yang menerima maslahah mursalah sebagai landasan hukum, bahkan kedua madzhab ini dianggap sebagai ulama fikh yang paling banyak dan luas dalam menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah adalah hasil induksi dari logika sekumpulan nash, akan tetapi bukan dari nash-nash yang rinci sebagaimana dalam Qiyas.
Alasan-alasan yang digunakan jumhurul ulama untuk menjadikan maslahah sebagai pijakan hukum, antara lain :
1. Kesimpulan mereka atas sejumlah ayat dan hadist yang menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia sebagaimana disinyalir firman Allah “dan tidaklah kami mengutus mu (Muhammad) melainkan sebagai Rahmat bagi semesta alam” .
Menurut mereka, Rasulullah SAW tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu, serta subyek hukum.
Apabila syariat Islam hanya dibatasi pada hukum-hukum yang sudah ada saja, padahal problematika dan kemaslahatan selalu muncul dan berkembang, maka akan membawa kesulitan bagi umat manusia.
3. Penggunaan maslahah mursalah ini juga didasarkan pada beberapa atsarus sahabah .
Kereteria Maslahah dan Pandangan-pandangan Ulama tentangnya
Untuk menjadi pijakan hukum, ulama menetapkan beberapa kereteria yang harus dipenuhi. Beberapa syarat maslahah tersebut adalah :
• Kemaslahatan sejalan dengan maksud syariat.
• Kemaslahatan itu harus bersifat rasional, bukan sekadar perkiraan ( Zaidan:1996, 242) .
• Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Madzhab Syafii pada dasarnya juga menjadikan maslahah mursalah sebagai salah satu dalil syariat. Akan tetapi beliau lebih cenderung memasukkannya ke dalam bagian Qiyas. Misalnya, beliau mengqiyaskan hukuman bagi peminum arak pada hukuman orang yang menuduh orang berzina, yaitu berupa dera sebanyak 80 kali, karena orang yang mabuk diduga kuat akan menuduh orang lain berbuat zina.
Tidak dipungkiri bahwa kebanyakan hukum yang dilahirkan dari qaul jadid Imam Syafi'i di Mesir didasarkan pada adat penduduknya. Ini tidak lain hanyalah untuk kemaslahatan penduduknya.
Al-Ghazali juga membahas maslahah mursalah dalam kitab al-mustasfâ . Menurutnya, syarat untuk menjadikan maslahah mursalah sebagai argumen untuk mengambil hukum sama dengan tiga point di atas walaupun sedikit berbeda pada point kedua dan ketiga, yatiu:
(1). Maslahah itu sejalan dengan syariat;
(2). maslahah itu tidak bertentangan dengan nash syariat;
(3). maslahah tersebut masuk dalam kategori maslahah dlaruriyah (kebutuhan yang sangat mendesak), baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kepentingan orang banyak. Untuk yang terahir ini, al-Ghazali mengatakan bahwa hajiyah (kebutuhan biasa), apabila menyangkut kepentingan orang banyak bisa menjadi dlaruriyah .
Selanjutnya beliau menambahkan, jika yang dimaksudkan dengan maslahah mursalah adalah untuk mewujudkan moralitas unversal syariat maka dalil ini tidak perlu diperselisihkan lagi dan harus diikuti. Namun, jika terjadi pertentangan antara dua maslahah, maka harus dilakukan tarjih .
Senada dengan itu Al-Qurtubi menyatakan bahwa dengan adanya batasan-batasan itu maka dalil ini tidak seharusnya diperselihkan eksistensinya. Walaupun para ulama fikih mengemukakan syarat-syarat yang sangat ketat dalam menggunakan maslahah sebagai pijakan hukum, namun pada kenyataannya, para sahabat yang memenuhi semua syarat tersebut.
Mereka hanya menjaga kemaslahatan meskipun sifatnya hanya parsial, teka-teki, atau dzanni (praduga). Hal ini pernah dilakukan oleh Saydina Umar Ra ketika menghukumi talak terhadap seorang wanita yang suaminya hilang selama empat tahun. Keputusan Saydina Umar Ra ini adalah untuk melindungi kemaslahatan si istri tersebut dan menghindarkannya dari bahaya meskipun tidak ada kejelasan mengenai kematian sang suami Pendapat Saydina Umar Ra di atas disepakati oleh saydina Utsman Ra, Saydina Ali Ra, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan sejumlah tabi'in .
Keputusan seperti ini juga banyak diambil oleh para sahabat pada kasus-kasus yang berbeda . Oleh karenanya, Imam al Syatibi dalam memberlakukan maslahah mursalah tidak menetapkan syarat sebagaimana yang dilakukan oleh al-Ghazali, khususnya poin pertama dan kedua. Hanya saja beliau memberikan tiga hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan dalil maslahah , yaitu :
(1) bersifat logis, dan bukan masalah ta'abbudi (ibadah) karena hal-hal yang bersifat ta'abbudi adalah sesuatu yang harus diterima;
(2) berhubungan dengan tujuan syariat secara global dengan tidak menghilangkan hukum dari asalnya, serta tidak ada dalil yang menunjukkan secara qath'i ;
(3) penggunaan dalil tersebut untuk menjaga sesuatu yang mendesak ( dharuri ) atau menghilangkan kesulitan dalam agama (al-Qaradhawi: 2002, 77).
Dasar penggunaan dalil maslahah untuk menghilangkan kesulitan adalah untuk meringankan dan mempermudah. Oleh karena itu, tidak harus memenuhi beberapa syarat yang dikemukakan olah al-Ghazali. Sebab, kemaslahatan adakalanya bersifat mendesak. Tidak menjadi keharusan pula bahwa sesuatu yang menyeluruh itu meliputi kepentingan umum. Sedangkan memelihara maslahat pribadi dan kelompok-kelompok yang berbeda diakui oleh syariat. Maslahah yang dapat dijadikan sebagai pijakan hukum itu tidak harus berupa dalil qat'i (pasti). Dzan yang rajih pun dibenarkan dalam hukum derivasi.
Tokoh lain yang berbicara tentang maslahah ini adalah Najm al Din al-Thufi. Dia memandang bahwa inti ajaran Islam yang terkandung dalam nash adalah maslahah bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemaslahatan disyariatkan. Kemaslahatan tidak perlu mendapat dukungan dari nash , baik literal atau tersirat.. Menurutnya, maslahah merupakan dalil kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syariat.
Pandangan al-Thufi ini tentu bertentangan dengan paham yang dianut oleh mayoritas ulama ushul fikih di zamannya yang memandang bahwa maslahah harus didukung syariat, baik literal atau tersirat. Karena pandangan ini juga, al-Thufi termarginalkan dari forum-forum ulama ushul fikih di zamannya. Akan tetapi, pemikirannya tentang maslahah ini kemudian banyak dikaji oleh ulama ushul sesudahnya, terutama oleh pemikir kontemporer.
Alasan al Thufi dalam menjadikan maslahah sebagai hujjah sebagai berikut :
(1) akal bebas menentukan maslahah dan mafsadah;
(2) maslahah hanya berlaku dalam mu'amalah dan adat, sedangkan ibadah merupakan hak Allah semata;
(3) maslahah adalah dalil yang mandiri dalam menetapkan hukum syariat, tidak butuh dukungan nash. Oleh karenanya, jika terjadi pertentangan dengan nash maka maslahah harus dimenangkan dengan cara men takhsish nash dan bayan .
Walupun secara sepintas orang akan mengklaim pandangan al Thufi ini sangat radikal, namun menurut penulis, pandangan al-Thufi sebenarnya tidak jauh berbeda al-Ghazali atau al-Syatibi. Hal itu karena pandangan al Thufi mengenai maslahah ini lebih menekankan pada sejumlah kasus yang bersifat dharurah . Sehingga menurut beliau, ketika maslahah berseberangan dengan nash maka yang dimenangkan adalah maslahah.
Kesimpulan.
Maslahah mursalah relevan dalam kehidupan masyarakat yang selalu berkembang terutama pada era modern saat ini. Tanpanya, para ulama dan intelektual Muslim akan mendapati kesulitan dalam memproduk hukum yang relevan dan menyentuh segala aspek kehidupan bermasyarakat.
Dengannya, hukum tidak kaku, tidak mempersulit, dan sesuai dengan kadar masyarakat, yang pada gilirannya akan ditinggalkan. Namun begitu, hukum juga tidak liberal (bebas) yang berakibat pada tidak adanya parameter yang pasti dan jelas sehingga mudah diperalat sebagai alat justifikasi oknum-oknum tertentu.
Relevansi hukum-hukum Islam sebenarnya nampak pada perbedaan produk hukum ulama-ulama terdahulu. Mereka memproduk hukum sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Bahkan al-Syafi'i pun mempunyai qaul qadim dan qaul jadid .
Masalahnya sekarang, kenapa kebanyakan ulama masa sekarang merasa puas bahkan memandang sudah cukup dengan putusan-putusan hukum yang ditetapkan oleh ulama sekitar empat belas abad yang silam? Semoga fenomena itu bukan disebabkan oleh statemen yang mengatakan bahwa “pintu ijtihad sudah ditutup.” Amin.
*******
by arland
from : Abd Hadi Rahmany (mahasiswa STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang)
__._,_.___
Ilmu merupakan harta abstrak titipan Allah Subhanahu wata'ala kepada seluruh manusia yang akan bertambah bila diamalkan, salah satu pengamalannya adalah dengan membagi-bagikan ilmu itu kepada yang membutuhkan.
Janganlah sombong dengan ilmu yang sedikit, karena jika Allah Subhanahu wata'ala berkehendak ilmu itu akan sirna dalam sekejap, beritahulah orang yang tidak tahu, tunjukilah orang yang minta petunjuk, amalkanlah ilmu itu sebatas yang engkau mampu.
Langganan:
Postingan (Atom)