Selasa, 19 Juli 2011

MAKALAH ISTISHHAB

MAKALAH ISTISHHAB



Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
USHUL FIQIH
Dosen pengampu ; Sholahuddin Sirizar, MA
Disusun Oleh ;
Ninik Sholikah ( 26.09.3.1.185 )
Noviana Rahayuningtyas ( 26.09.3.1.186)
Nur Amin Barokah Asfari ( 26.09.3.1.187 )
Nur Arina Mudmainah ( 26.09.3.1.188 )


JURUSAN TARBIYAH / PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Istishhab termasuk dalam dalil hukum islam yang tidak disepakati penggunanya di kalangan ulama ushul. Metode Istishhab digunakan oleh kalangan ulama yang menggunakannya setelah mereka tidak dapat menyelesaikan masalah hukum melalui empat dalil yang disepakati, yaitu ; Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Perbedaan pendapat dalam penggunaannya, bukan disebabkan oleh perbedaan dalam mengartikan istishhab tersebut, tetapi memang berbeda dalam menempatkannya sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri.













BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISTISHAB
Secara etimologi, istishhab (  ) berarti :
1. Meminta bersahabat atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya .
2. Pengakuan terhadap hubungan pernikahan .
3. Meminta ikut serta secara terus-menerus .
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, diantaranya :
a. Imam Ghazali : Berpegang dalil akal atau syara’, bukan karena tidak mengetahui dalil tapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada maksudnya, apabila ada kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui dalil lain yang mengubah hukum tersebut maka hukum yang ada di masa lampau tetap berlaku sebagaimana adanya4.
b. Al-syaukani dalam Irsyad al Fuhul :“Apa yang berlaku secara tepat pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang’’
c. Ibn Al-Subki dalam kitab Jam’u al Jawami :Berlakunya sesuatu pada waktu kedua karena yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama karena tidak ada yang patut untuk mengubahnya.
d. Muhammad ‘Ubaidillah al As’adi : “Mengukuhkan hukum ditetapkan dengan dalil pada masa lalu, dipandang waktu ini diperoleh dalil yang mengubahnya.”
e. Ibn al Hummam dari kalangan ulama Hanafiyah : “Tetapnya sesuatu yang sudah pasti yang belum ada dugaan kuat tentang tiadanya.”
f. Ibnu Hazm (384-456H/994-1064 Mtokoh Fiqh Zhahiriyyah)5 :”berlaku hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (ayat atau hadits) sampai dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut.”
g. Menetapkan sesuatu berdasarkan keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan itu6.
h. Abdul Karim Zaidan, ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir7 :”Tetapnya status sesuatu seperti keadaan semula sebelum ada bukti yang mengubah.”
i. Ibnu Qayyim al Jawziyah, tokoh ushul fiqh Hanbali8 :”Berlakunya hukum yang ada atau meniadakan yang tiada sampai ada bukti yang mengubah keadaannya.”
Dari pengertian Istishhab yang dikemukakan di atas, dipahami bahwa Istishhab itu, ialah:
1. Hukum yang ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Misalnya, seseorang diketahui masih hidup pada masa tertentu dianggap hidup pada masa sesudahnya selama belum terbukti bahwa ia telah wafat.Ulama ushul fiqh menyatakan penetapan hukum pada kasus tersebut didasarkan pada metode Istishhab.
B. DASAR HUKUM ISTISHHAB
Dari keterangan dan contoh di atas diambil kesimpulan bahwa Istishhab bukan cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tapi hakikatnya menguatkan atau menyatakan berlaku hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Karena itu, ulama Hanafiyah menyatakan Istishhab tidak lain hanya mempertahankan hukum yang ada, bukan menetapkan hukum baru. Istishhab bukan dasar atau dalil penetapan hukum yang belum tetap, tetapi menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya Istishhab dapat dijadikan dasar hujjah.
Sebagian besar mengikuti Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i,Hambali dan Madzhab Dzahiri berhujjah dengan istishhab, terdapat perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya, seperti pernyataan Abu Zaid, ulama Madzhab Hanafi Istishhab itu hanya dapat dijadikan dasar hujjah untuk menolak ketetapan yang mengubah ketetapan yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum baru. Jika diperhatikan proses terjadi atau perubahan undang-undang dalam suatu negara atau keputusan pemerintah, maka Istishhab adalah kaidah yang selalu diperhatikan setiap pembuat undang-undang atau peraturan.
C. MACAM-MACAM ISTISHHAB
Ulama Ushul Fiqh mengemukakan bahwa Istishhab ada lima macam, yang sebagian disepakati dan lainnya diperselisihkan. Kelima macam istishhab itu adalah :
1. Istishhab hukum al-Ibahah al-Ashliyyah
Yaitu menetapkan hukum yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misal, seluruh pohon di hutan merupakan milik bersama umat manusia dan setiap orang berhak untuk menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik seseorang. Dalam hal ini alasan yang dikemukakan para ahli ushul fiqh adalah :
    •    
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ...”
(QS Al Baqarah :29)
Menurut mereka, kalimat “bagi kamu” dalam ayat ini menunjukkan kebolehan memanfaatkan apa-apa yang ada di bumi. Ayat lain yang dijadikan ulama Ushul Fiqh sebagai dasar bentuk Istishhab pertama adalah firman Allah dalam QS. Al-A’raf (7) ayat 32 :
           
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?"
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa memanfaatkan perhiasan dan mencari rizki yang baik merupakan hak setiap orang. Selanjutnya, para ahli mengatakan bahwa pemanfaatan seluruh ciptaan Allah di bumi, perhiasan-Nya, dan hak mencari rizki, merupakan hak tiap orang dan halal, selama tidak ada dalil lain menunjukkan hukum halal dan boleh telah berubah. Misalnya, hutan yang tadinya dimanfaatkan setiap orang, berdasarkan keputusan pemerintah ditetapkan menjadi hak bagi orang tertentu. Berdasarkan ketetapan pemerintah ini maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan ini berubah menjadi tidak boleh. Istishhab seperti ini menurut ulama dijadikan hujjah penetapan hukum.
2. Istishhab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Ibn Qayyim al Jauziyyah (691-71 H/1292-1350 M ahli ushul fiqh Hambali) menyebutnya dengan washf ats tsabit li al hukum hatta yutsbita khilafuhu (sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu). Misalnya hak milik suatu benda adalah tetap dan terus berlangsung, disebabkan ada transaksi pemilikan, yaitu akad sampai ada sebab hak milik itu pindah tangan kepada orang lain. Contoh lain, hukum wudhu’ seseorang yang telah berwudhu’ dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa terganggu apakah wudhu’nya masih ada atau telah batal maka berdasarkan Istishhab, wudhunya dianggap masih ada karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu’ tersebut, tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu’. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW terhadap seseorang yang merasa ragu terhadap keutuhan wudhu’nya. Ketika itu Rasulullah SAW menyatakan :”Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak maka sekali-kali ia jangan keluar dari mesjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau (kentut).” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Terhadap kehujjahan istishhab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh. Ibn Qayyim al jauziyyah berpendapat bahwa Istishhab seperti ini dapat dijadikan hujjah.
Al-Ghazali menyatakan Istishhab dijadikan hujjah bila didukung dalil atau nash yang menunjukkan hukum itu masih berlaku dan tidak ada dalil lain yang membatalkan. Istishhab tidak dapat dijadikan alasan berdasarkan anggapan bahwa tidak ada dalil lain yang membatalkan suatu hukum.Ulama hanafiyah berpendirian bahwa istishhab seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada (yang akan datang).
Ulama Malikiyyah menolak Istishhab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti orang yang ragu terhadap keutuhan wudhu seperti yang dikemukakan di atas. Menurut mereka, kasus seperti ini Istishhab tidak berlaku. Karenya, bila seseorang merasa ragu akan keutuhan wudhunya sedang ia dalam keadaan shalat maka shalatnya batal dan harus berwudhu kembali dan mengulangi salatnaya.
3. Istishhab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum adanya dalil yang bersifat khusus dan Istishhab dengan nash selama tidak ada dalil yang nash.
Istishhab bentuk ketiga ini, dari segi esensi, tidak diperselisihkan ulama Ushul Fiqh. Dari segi penamaannya,tedapat perbedaaan ulama Ushul Fiqh. Misalnya dalam QS. Al Baqarah, 2:267, “diwajibkan menafkahkan seluruh hasil usaha manusia dan seluruh yang diperoleh melalui pengeksploitasian sumber daya alam”. Kalimat “nafkah” seluruh hasil usaha dan seluruh hasil yang dieksploitasi dari sumber daya alam tersebut menurut kesepakatan ulama Ushul Fiqh bersifat umum, baik berbentuk nafkah zakat, nafkah keluarga, maupun kaum kerabat. Kalimat “hasil usaha” dan “hasil eksploitasi bumi” dalam ayat ini bersifat umum, yakni jenis yang dieksploitasi dari bumi. Kandungan ayat yang umum ini, menurut junhur Ushul Fiqh, tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan seperti ini dinamakan Istishhab.Tapi menurut sebagian ulama lainnya seperti Imam Haramain al Juwaini (419-478 H/1028-1085 M) dan Iamm al Syaukani (1172-1250 H-1759-1824 M) hal seperti ini tidak dinamakan Istishhab, tapi dalil berdasarkan kaidah bahasa, yaitu kaidah yang menyatakan “suatu dalil yang umum tetap berlaku sesuai dengan keumumannya sampai ada dalil yang mengususkannya.”
Contoh Istishhab dengan nash selama tidak ada yang mennashkannya adalah kewajiban berpuasa dalam QS Al Baqarah ayat 183. Menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, termasuk Istishhab tapi menurut ulama Ushul Fiqh lain tidak dinamakan Istishhab melainkan berdalil berdasarkan kaidah bahasa.
4. Istishhab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukumhukum syar’i sebelum datangnya syara’, seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya, apabila seseorang menggugat (penggugat) orang yang tergugat bahwa ia berhutang kepada penggugatsejumlah uang maka penggugat berkewajiban mengemukakan alat-alat bukti atas tuduhannya tersebut. Apabila ia tidajk sanggup maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah mengemukakan alat-alat bukti atas tuduhannya tersebut. Apabila ia tidajk sanggup maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishhab seperti ini diperselisihkan para ulama ushul fiqh.
Menurut ulama Hanafiyyah, istishhab dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukumyang telah ada dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang. Sedangkan menurut ulaam Malikiyyah, Syafi’iyyah dan hanbilah, istishhab seperti ini juga menetapakn hukum syar’i, baikuntuk menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan datang.
5. Istishhab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’, tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Istishhab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujjahannya. Misalnya, ulama fiqh menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan sholat. Apabila sholatnay selesai ia kerjakan maka sholatnya dinyatakan sah. Akan tetapi, apabial dalam keadan sholat ia melihat ada air, apakah sholatnya harus dibatalkan kemudian berwudhu’ atau sholat ia teruskan?
Menurut ulama malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan sholatnya karena ada ijma’ yang menyatakan bawa sholat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukumitu tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan sholatnya unytuk kemudian bewudhu dan mengulang kembali shalatnya.
Akan tetapi, ulama hanaiyyah dan Hanabilah mengatakan orang yang melakukan sholat dengan tayamum dan ketika sholat melihat air, ia harus membatalkan sholatnya, untuk kemudian berwudhu, dan mengulangi sholatnya. Mereka tidak menerima ijma’ tentang sahnya sholat orang yang betayamum sebelum melihat air, karena ijma’,menurut mereka hanya terkait dengan hukum sahnya sholat bagi orang dalam keaadaan ketiadaan air, bukan dalam keadaan tersedianya air.
D. KEHUJJAHAN ISTISHHAB
Istishhab merupakan dalil syara’ terakhir yang dipakai mujtahid sebagai hujjah untuk mengetahui hukum suatu kejadian yangdihadapkan kepadanya. Ulama ushul fiqh mengatakan bahwa pada dasarnya istishhab merupakan tempat berputarnya fatwa yang terakhir untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan selama tidak ada dalil lain yang mengubahnya . Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishhab ketika ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.
1. Menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam), Istishhab tidak bisa dijadikan dalil karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasan mereka mendasarkan hukum pada Istishhab merupakan penetapan hukum tanpa dalil karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, namun untuk memberlakukan hukum tersebut untuk masa yang akan datang diperlukan dalil lain. Istishhab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang bearati menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak diperbolehkan syara’.
2. Minoritas ulama Hanafiyyah, khususnya muta’akhirin (generasi belakangan), Istishhab bisa jadi hujjjah menetapkan hukum yang ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.
Alasannya, seorang mujtahid meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada, mempunyai gambaran hukumnya sudah ada atau dibatalkan, tetapi tidak mengetahui atau menemukan dalil yang menyatakan hukum telah dibatalkan. Dalam hal ini, mujtahid berpegang pada hukum yang sudah ada, karena tidak mengetahui dalil yang membatalkan hukum itu. Namun, penetapan berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya bukan pada kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, Istishhab hanya bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang ada, selama tidak ada dalil yang membatakkan hukum itu, tapi tidak berlaku menetapkan hak yang baru muncul. Inilah yang dimaksudkan ulama Hanfiyyah dengan Istishhab hujjah li al daf’i la li al itabat (Istishhab menjadi hujjjah mempertahankan hak bukan menetapkan hak). Menurutnya dapat dilihat dalam Istishhab bentuk kedua dan keempat.
3. Ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Zhahiriyyah dan Syi’ah berpendapat bahwa Istishhab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya.
Alasannya, sesuatu yang ditetapkan masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubah,baik secara qath’i (pasti) maupun zhanni (relatif) maka hukum tetap berlaku , karena belum ada perubahannya. Menurutnya suatu dugaan keras (zhann) bisa jadi landasan hukum. Bila tidak demikian, bisa membawa akibat tidak berlakunya seluruh hukum yang disyari’atkan Allah dan Rasulullah SAW bagi generasi sesudahnya. Bila Istishhab tidak bisa menetapkan hukum maka kemungkinan terjdi Naskh (pembatalan) syari’at. Hal itu memunculkan pandangan bahwa tidak berlaku syari’at di jaman Rasulullah bagi generasi sesudahnya.Alasan yang menunjukan berlakunya syari’at di zaman Rasullulah saw.sampai hari kiamat adalah menduga keras (dzann) berlakunya syari’at itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang men-naskh-kannya. Menurut mereka hal ini disebut Istishhab.
Disamping itu, mereka beralasan dengan ijma’, karena banyak hukum juz’i (rinci) yang disepakati ulama ushul fiqh (ijma’) didasarkan kaidah Istishhab. Misalnya, wudhu tidak batal karena keraguan tentang ketentuan wudhu itu, menetapkan halalnya berhubungan suami istri yang malakukan akad nikah sampai terbukti mereka cerai dan menetapkan bahwa hak milik seseorang menjadi miliknya,selama tidak terbukti terjadi pemindahtanganan hak milik tersebut.
E. AKIBAT HUKUM PERBEDAAN KEHUJJAHAN ISTISHHAB
Akibat hukum dari perbedaan pendapat diatas dapat dilihat dalam kasus mafqud (orang hilang yang telah melalui masa bertahun-tahun, tidak diketahui keadaan sebenarnya, apakah masih hidup atau sudah wafat). Menurut ulama Malikiyyah, Syafi’iyyh, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak menerima pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya disimpan sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan pada ahli waris lain. Demikian juga bila ada orang yang berwasiat atau menghibahkan harta, atau mewakafkan harta bagi orang yang hilang tersebut. Adapun hartanya yang ia tinggalkan, tetap menjadi miliknya serta tidak boleh dibagi, sampai keadaannya benar-benar diketahui telah wafat. Tetapi, ulama Hanabilah membatasi hal tersebut selama empat tahun setelah kepergiannya. Sebelum habis masa empat tahun tersebut, hartanya belum boleh dibagi kepada ahli warisnya.
Menurut ulama Hanafiyyah, orang hilang tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi pada ahli warisnya, sampai keadaan orang itu benar-benar terbukti telah wafat, karena penyebab waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka dalam hal ini karena Istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk mempertahankan hak (harta orang hilang tidak bisa dibagi), bukan menerima atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah, dan wakaf).


F. KAIDAH-KAIDAH ISTISHHAB
Para ulama ushul fiqh menerapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada istishhab, diantaranya adalah :
1. Al ashl baqa’ ma kaana ‘alaa maa kaana. Hatta yutsbita maa yughayyiruh.

Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang berlaku pada masa lampau, berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum tersebut tidak berlaku lagi. Contohnya adalah kasus orang yang hilang (mafqud).
2. Al ashl fi al asyya’ al ibahah
Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatrnya bermanfaat bagi manusia, hukumnya adalah boleh dimanfaatkan. Melalui kaidah ini maka seluruh akad/transaksi dianggap sah selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal. Sebagaimanan juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syara’ yang melarangnya maka hukumnya adalah boleh.
3. Al yaqin la yuzal bi al syakk
Maksudnya, keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui kaidah ini seseorang yang telah berwudhu, apabila merasa ragu akan wudhunya apakah batal atau belum maka ia berpegang pada keyakinannya apabila ia telah berwudhu dan wudhu itu tetap sah.
Contoh lain, bila seseorang sahur di akhir malam, dia tidak mengetahui apakah sudah fajar atau belum. Dalam kasus ini maka sahurnya dilanjutkan dan puasanya sah karena keyakinan bahwa hari masih malam. Tetapi, ulama Malikiyyah, melakukan pengecualian dalam sholat. Menurutnya bila keraguan (syakk) berkaitan dengan sholat maka kaidah ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, menurut mereka apabila seserorang ragu dalam masalah wudhu maka wajib berwudhu kembali.

4. Al ashl fi al dzimmah al bara’ah min al taklif wa al huquq.
Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum ada dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seorang tergugat dalam kasus apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan bahwa ia bersalah.


Nasrun Haroen,Ushul Fiqh,hal 128
2 Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushulul Fiqh,hal 152
3 Satria Effendi, M. Zein.Ushul Fiqh,hal 159
4Abdul Wahhab Khallaf,Ilmu Ushulul Fiqh,hal 154


DAFTAR PUSTAKA
Khallaf,Abdul Wahhab.Ilmu Ushul Fiqh.1994.Dina Utama Semarang (Toha Putra Group):Semarang
Khallaf,Abdul Wahhab.Ilmu Ushulul Fiqh.1996.Gema Risalah Perss:Bandung
Haroen,Nasrun.Ushul Fiqh.1996.Logos:Jakarta Cet.1
Effendi,Satria dan M. Zein.Ushul Fiqh.2008.Kencana Prenada Media Group:Jakarta
Syaifuddin,Amir.Ushul Fiqh Jilid 2.1999.Kencana Prenada Media Group:Jakarta
Syihab, Umar.Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran.1996.Dina Utama Semarang(Toha Putra Group):Semarang
http://m.cybermq.com dalam Istishhab diakses tanggal 10 Maret 2010
http://sitibaizurah.multiply.com dalam Pengertian Istishhab diakses tanggal 10 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar