Selasa, 19 Juli 2011

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM DI INDONESIA PADA MASA PENJAJAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
PADA MASA PENJAJAH







Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Noor Alwiyah, M.Pd

Disusun oleh :
1. Muryadi (26.09.3.1.177)
2. Nur Haji Sahid (26.09.3.1.175)
3. Nur Fitria H (26.09.3.1.191)
4. Nur Muslihah (26.09.3.1.196)


PROGRAM S1 REGULER JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2010


KATA PENGANTAR


Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah penulis ucapkan puji syukur kepada Allah SWT. Yang telah memberi rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tanpa ada kendala apapun.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda kita nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari alam kejahilan menuju alam yang terang menderang.
Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah sejarah peradaban islam Bpk Islah Gusmian yang telah membimbing kami, sehingga makalah yang berjudul “SEJARAH PERADABAN ISLAM DI INDONESIA PADA MASA PENJAJAH“ dapat terselesaikan.
Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya, Amien ya rabbal alamin.










BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat Islam Indonesia hidup dalam aneka ragam situasi dan kondisi dari sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Karena agama Islam merupaka agama yang membuka alam pikran manusia serta mengatur hubungan antara manusia dengan sang Pencipta dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ajaran Islam dapat mengisi kekosongan hati dan dapt memberikan harapan pada manusia untuk hidup rukun dan damai dengan harapan gemilang. Akan dapat membimbing manusia kepada kehidupan bahagia dunia akhirat.
Oleh karena itu agama Islam itu dianut oleh rakyat Indonesia dari segala lapisan . agama Islam, agama yang memberikan sikap kepribadian dan mengajarkan norma-norma hidup, sehingga setiap penganut agama Islam mempunyai kesadaran yang tinggi dan kepribadian kokoh yang sulit diubah.
Dalam penulisan makalah ini penyusun mengambil judul “Sejarah Peradaban Islam di Indonesia pada Masa Penjajah” dengan tujuan:
a. Mengetahui sejarah peradaban islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda.
b. Mengetahui sejarah peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Jepang
c. Memenuhi tugas sejarah peradaban Islam
B. Rumusan Masalah
Dalam pembuatan makalah ini, penyusun merangkai rumusan makalah sebagai berikut :
a. Bagaimana sejarah peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda? Baik dilihat dari sistem pendidikan, kebudayaan, politik, maupun ekonomi?
b. Bagaimana sejarah peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Jepang? Baik dilihat dari sistem pendidikan, kebudayaan, politik, maupun ekonomi?


BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA
Pada saat Belanda memasuki Nusantara (1596 M) sudah mulai terasa akan kesulitan menghadapi masyarakat Islam. Kesulitan dalam menghadapi asyarakat Islam tersebut mereka hadapi saat sedang menancapkan kekuasaannya di Nusantara ini. Kolonialisme Belanda selalu menghadapi perlawanan gencar dari masyarakat yang menganut agama Islam seperti pertempuran di Banten, Hasanudin di Ujung Pandang, perang Diponegoro, perang Padri, perang Aceh, dan sebagainya.
VOC (Verenigde Oost Indische Companie) dan imperialisme Belanda dalam politik divide at impera secara fisik dapat menguasai Nusantara, akan tetapi secara psikologis pemerintahan kolonial Belanda sama sekali tidak menundukkan pribadi rakyat yang telah mempunyai jalan pikiran dan pegangan hidup itu. Islam dan semangatnya tetap berkembang di hati umat Islam dan pendidikan Islam masih berjalan di pesantren yang meliputi daerah-daerah terbesar di Nusantara. Untuk melemahkan kepribadian orang-orang Islam di Nusantara, Belanda sengaja mengembangkan pendidikan-pendidikan ala Barat yang dianggap dapat lebih membimbing masyarakat ke taraf hidup yang lebih baik, yang dijadikan kedok oleh kolonial Belanda untuk melancarkan politik penjajahannya. (M.Abdul Karim.Islam dan Kemerdekaan Indonesia.hlm 17-18)
• Sistem pendidikan Islam pada masa penjajahan belanda
Pada saat masuknya Islam di Jawa Pendidikan keagamaan berlangsung seperti halnya di Mekkah. Hal ini tidaklah aneh karena seluruh tenaga pengajar keluaran dari perguruan-perguruan di Mekkah yang dilakukan secara tradisional pula. Itulah sebabnya maka di Jawa pada umumnya Pendidikan agama berpusat pada pendidikan embaca huruf Arab dengan tujuan dapat membaca Al-Quran.
Baru menjelang Sumpah Pemuda (1928) mulailah bangsa Indonesia berusaha keras untuk mempersatukan kembali cita-cita kebangsaan. Gerakan ini dipelopori oleh putra-putri Indonesia yang beragama Islam, tetapi belajar di negeri Belanda, dibantu oleh mereka yang belajar d Mesir yang telah banyak mengalami adanya pemburuan di Mesir, yang dimulai sejak masuknya Napoleon (1978 M) ke Mesir.
Dari saat itulah masyarakat Islam Indonesia merasa berkepentingan untuk menambah materi pendidikan umun di sekolah-sekolah Islam. Sistem pendidikan diubah dari sistem halaqah menjadi berkelas-kelas sesuai kurikulum yang berimbang antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Perubahan ini terlihat pada perguruan-perguruan al-Irsyad, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Jamiat al-Khair, dan sebagainya. Sedangkan perguruan yang lain masih bersifat tradisional.
Melihat perkembangan pendidikan pada umat Islam di jawa pemerintahan Belanda membuka sekolah-sekolah untuk orang-orang pribumi, yaitu ditingkat volksschool dan Vervolgsschool. Sekolah tersebut mengajar rakyat Indonesia agar dapat membaca dan menulis huruf latin, sehingga menciptakan tenaga-tenaga erja yang berguna bagi pemerintah Belanda serta mendukung tugas melaksanakan program pendidikan yang diarahkan pada agama Masehi sebagai tandingan dari kegiatan organisasi Islam yang sedang giat mengadakan modernisasi dalam pendidikan. Sudah tentu golongan pamong raja (pegawai yang bekerja pada pemerintah Belanda) banyak yang tertarik untuk menyekolahkan anak-anak ke sekolah-sekolah yang didirikan Belanda.
Untuk mengimbangi pendidikan yang didirikan oleh organisasi Islam secara modern itu pemerintah tidak tanggung-tanggung mengerahkan guru khusus yang didatangkan dari negeri Belanda untuk mengajar putra-putri Indonesia dengan pendidikan ala Eropa supaya kebudayaannya lebih dekat dengan kebudayaan Eropa.
Pemerintah Belanda -orang Eropa dan mereka yang berkeinginan, menyamakan statusnya dengan orang- mendirikan sekolah Holands Inldse school (HIS) tahun 1914 dan sisnmping itu ada sekolah Etropeesche Lagere School (ELS) sebagai sekolah tingkat permulaan bagi orang orang Eropa. Sudah tentu para pamong raja yang gila hormat dan pangkat serta jabatan sangat tertarik dengan sekolah itu, sehingga mereka banyak yang menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah tersebut dengan alasan bahwa pendidikan agama dapat diajarkan di rumah-rumah dengan mengundang guru-guru ngaji. Agama menurut mereka dan juga yang dikembangkan oleh pemerintah Belanda tidak lebih dari upacara-upacara keagamaan dan keyakinan persis seperti anggapan mereka terhadap agama Masehi yang tidak memperhatikan masalah dunia. Seperti juga yang berkembang di Eropa setelah adanya pemisahan gereja dengan urusan pemerintah.
Untuk menarik perhatian bangsa Indonesia agar berpaling dari kegiatan-kegiata modernisasi yang dilakukan oleh umat Islam, pemerintah Belanda membuka sekolah-sekolah lanjutan yang menjembatani bangsa Indonesia dapat melanjutkan sekolahnya di negeri Belanda. Mereka membuka MULO (Meer Uitgebreis Lager Onderwis) dan AMS (Algemene Middlebare School). Disamping itu juga membuka sekolah-sekolah yang mendidik putra-putra Indonesia menjadi tenaga administrasi dan teknis yang dapat diangkat menjadi ambtgnaar yaitu tenaga0tenaga pimpinan dalam administrasi atau perkebunan dan perusahaan yang didirikan oleh pemerintahan Belanda.
Dengan demikian terjadilah seleksi alam yang terjadi pada putra-putri Indonesia. Siapa yang benar-benar berusaha berjuang untuk mencapai kemerdekaan dan siapa yang ingin meningkatkan taraf hidupnya menjadi orang yang disamakan statusnya dengan orang Belanda.
Untuk mengimbangi daya tarik pemerintah Belanda, maka oganisasi Islam seperti Muhammadiyah dengan gigih mendrikan sekolah-sekolah teknis lainnya untuk mendidik putra-putri Indonesia yang mempunyai kecakapan seperti pendidikan yang dikelola organisasi kemasyarakatan tetapi bersih dari pengaruh pendidikan yang mengarah pengeropaan putra-putri Indonesia dan pengaruh Kristenisasi. (M.Abdul Karim.Islam dan Kemerdekaan Indonesia.hlm 7-10)
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.
Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata[1]. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunani dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5) Sekolah Cina
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:
1. Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu;
2. Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial;
3. Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.;
4. Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.

• Sitem Kebudayaan pada masa Belanda
Menjelang kemerdekaan, masyarakat Indonesia dari segi budaya dibagi-bagi oleh pemerintah Belanda menjadi tiga kelas. Yang pertama yaitu Europeanen adalah orang-orang Eropa yang dipersamakan dengan mereka,yang kedua, Vreem de Osterlingen adalah orng-orang Timur Asing, dan yang ketiga yaitu Inheemsen adalah golongan bumi putra secara populer menurut sebutan orang-orang Belanda disebut Indische.
dengan adanya penggolongan-penggolongan ini jelaslah bahwa orang-rang Belanda meletakkan orang belanda dan orang bumi putra yang beragama Kristen yang disamakan dengan orang-orang beland pada tingkat teratas, dengan Algemeene Bepaling van Wetgeving (ketetapan umum perndang-undangan) di tahun 1894.lalu mereka meletakkan orang-orang bumi putera pada tingkat yang paling bahwa bahkan lebih rendah daripada orang-orang “Timur Asing” yang sengaja dibolehkan oleh Belanda untuk berdagang. Keadaan serupa itu jelas memberikan tekanan kepada orang-orang bumi putra, sehingga setiap gerak langkahnya bahkan semua budayanya menjadi terbelakang. Karena mereka merasa rendah diri dalam segala bidang. Jadi kedudukan orang-orang bumi putra tidak lebih dari seorang abdi yang harus menjalankan kewajiban-keewajiban dari pemerintah, bahkan dalam masyarakat bumi putra masih dibeda-bedakan lagi dnegan tingkat-tingkat.
Tingkat priyayi yaitu orang-orang yang memegang jabatan-jabatan dan diangkat oleh pemerintah Belanda sebagai Regen (Bupati), Wedana (pembantu Bupati). Mereka ini diangkat oleh qubernur jenderal untuk melaksanakan pemerintahan. Mereka ini berasal dari keluarga kerajaan yang setia pada Belanda, sedangkan penduduk negeri yang setia pada Islam, mereka disebut golongan santri yang setiap langkahnya dan geraknya selalu mendapat pengawasan dari pemerintah kolonial Belanda atas dasar anjuran dari Christian Snouk Hurgronje. Karena dikhawatirkan mereka menghidupkan kembali semangat Islam, untuk mendirikan kekhalifahan.
Dengan demikian ada semacam pemisahan budaya antara golongan priyayi dan golongan santri yang jauh dari Belanda. Disamping itu terdapat orang-orang yang berasal dari Kraton,tetapi memusuhi pemerintah Belanda. Golongan ini belum banyak berkonsolidasi dengan orang-orang Islam, akan tetapi mereka memberi kebudayaan atas dasar budaya yang ada di jawa yaitu melanjutkan nudaya Majapahit dan Mataram. Mereka ini disebutorang-orang Abangan yang dicurigai ingin merebut kembali kekuasaan Belanda, meskipun dalam ketegorisasi keagamaan orang-orang ini disebut wong selam (orang Islam). Mengingat pada saat Majapahit runtuh, kemudian muncul kerajaan Islam yang sangat kuat di Demk, mereka ini tidak berani menampakkan kebudayaan Majapahit, tetapi mereka secara diam-diam tunduk terhadap pemerintahan Islam.apalagi setelah Mataram di bawah raja-raja terkenal seperti Sultan Agung (Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdur Rahman) 1613-1645 M benar-benar telah menerima sistem kalender Islam sebagai kalender Jawa secara akulturatif dengan kebudayaannya yang ada dengan jalan sistem perhitungan tanggal, hari dan bulan menurut kalender Islam. Tahun pasaran dan wuku tetap dipakai menurut sistem yang sudah ada sedangkan tahunnya memakai tahun Shaka.
Meskipun orang-orang Islam mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda dari berbagai aspek, namun budaya Islam masih tetap berjalan dan hidup terutama dalam bidang ibadah. Hal ini dibiarkanoleh pemerintah Belanda agar umat Islam tidak sampai kehilangan kesabaran, sehingga dapat melakukan perbuatan yang membabi buta, sedang mengenai muamalat pemerintah Belanda menyediakan raad agama yang berwenang memutuskan dalam bidang nikah, talak, dan rujuk. Mengenai pewarisan, pemerintah Belanda masih belum memberikan wewenang penuh kepada raad agama sebelum mendapat pengesahan dari landraad (pengadilan bumi putera), sehingga permasalahan ini menyebabkan terjadinya keanekaragaman hukum dan termasuk masalah yang di bela oleh Serekat Islam. Mengenai Jinayat (hukum pidana) pemerintah Belanda tetap memperlakukan sama dengan hukum yang berlaku. Tentang berlakunya hukum Islamyang berkaitan dengan hukum keperdataan mendapat tantangan dari Gubernur Genderal J.P Graaf dan van Limburg Stirum, hanya saja atas anjuran Cornolis van Vollenhoven, agar pemerintaha Belanda tidak menolak dengan keras sebelum melakukan penelitian terhadap hukum yang berlaku bagi orang-orang bumi putra.
Inilah siasat kolonial Belanda untuk memalingkan berlakunya hukum Islam dari pikiran orang-orang bumi putra kepada hukum yang diciptakan orang-orang Belanda dengan istilah hukum adat. Meskipun demikian hukum Islam tetap hidup dalam kalbu setiap muslim. Mereka lebih takut melanggar hukum-hukum keagamaan. (M.Abdul Karim.Islam dan Kemerdekaan Indonesia.hlm 11-13)
• Sistem politik pada saat penjajahan Belanda
Setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah Islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik Islamnya. Dengan politik itu, ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori :
a) Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b) Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c) Bidang politik
Orang Islam dilarang membahas hukum Islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.
Sistem politik pada saat penjajahan Belanda dapat dilihat melalui Pergerakan Nasional di Indonesia. Sebelum memasuki era Pergerakan Nasional, pihak kolonial mencoba politik kemakmuran dan balasbudi. Munculah Politik Etische oleh Van Deventer; Politik Assosiasi oleh Ch.Snouck Hurgronje; dan Politik De Islamisasi (Dutch Islamic Polecy) oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Kelihatannya politik itu humanis untuk kesejahteraan rakyat, namun karena landasannya tetap kolonialisme, maka jadinya tetap eksploitatif dan menindas rakyat.
Khusus politik De Islamisasai sangat merugikan umat Islam, karena :
a) Memecah umat Islam jadi dua dikotomi Abangan dan Putihan
b) Membenturkan Ulama dengan Pemuka Adat
c) Memperbanyak sekolah untuk memdidik anak-anak umat Islam agar terpisah dari kepercayaan pada agama Islamnya.
d) Menindas segenap gerakan politik yang berdasar Islam
e) Membuat masjid dan memberangkatkan haji gratis untuk meredam gerakan Islam.( Snouck Hurgronje, Islam in de Nederlansch Indie )
Akibat dari politik kolonial di atas, maka perjuangan melawan kolonial menjadi terpecah. Menurut Thesis Endang Syaifuddin Anshari,MA. perjuangan di Indonesia terpecah jadi dua kelompok besar yaitu: Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler. Kondisi inilah sampai sekarang masih tampak dalam dinamika perpolitikan kita.
Sebagai salah satu yang penting pelopor awal Pergerakan Nasional di Indonesia ialah umat Islam, yaitu pada tanggal 16 Oktober 1905, lahir Sarekat Dagang Islam (SDI) (baca wawancara Tamardjaja dengan H. Samanhudi, 1955, di majalah Syiyasyah 1974), yang kemudian th. 1912 jadi Sarekat Islam (SI), sebagai gerakan Ekonomi dan politik. Pada Tanggl 18 November 1912 lahir Muhammadiyah sebagai gerakan Sosial Keagamaan, dari lembaga pendidikannya menghasilkan pimpinan bangsa Indonesia yang menentang Belanda,kemudian selanjutnya Jami’atul Khoir, Al Irsyad, Jong Islamieten Bond (1922), Persatuan Islam (Persis) th. 1920, Nahdlotul Ulama ( 1926 ), dan lainnya adalah dalam kategori nasionalis Islami, yang kesemuanya punya andil dalam melawan Belanda. Di samping itu lahirlah Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, dan Indische Partij (1912), Jong Java, PKI, Perhimpunan Indonesia (PI), PNI (1927) dan sebagainya, adalah dalam kategori nasionalis sekuler. ( Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta: 22 Juni 1945. Thesis di Mac Gill University, Canada ).
Dalam menghadapi gerakan umat Islam, Belanda menggunakan “Christening Politiek” (dalam Pidato Ratu Belanda yang dibacakan oleh:Gub.Jend. Idenburg) namun tidak berhasil. Ketika gencarnya SI menuntut “Boemi Poetera Zelfbestuur” (Bangsa Indonesia berpemerintahan sendiri), dengan gerakan Rapat Akbar dan pemogokan yang dilakukan hampir merata di pelosok kepulauan Indonesia, maka Belanda grogi dan segera bertindak. Untuk menghadapi gelombang gerakan umat Islam itu, maka upaya Politik Belanda dengan mendatangkan VIRUS KOMUNIS, yaitu menggunakan tokoh-tokoh komunis Belanda Snevliet, Barandesteder, Ir. Baars, Brigsma dan Van Burink, didatangkan ke Indonesia untuk menghadapi Islam di Indonesia. Tokoh-tokoh komunis itu kemudian mengkader Semaun, Alimin Dharsono & Tan Malaka, disusupkan ke SI, terjadilah pembusukan dari dalam, pecahlah SI jadi dua: SI Putih yang asli, dan SI Merah yang komunis bergabung dengan ISDV ( Indische Socialis Democratische Vereeniging ) jadi PKI (23 Mei 1920). Mulai dari sinilah maka umat Islam berhadapan terus dengan komunis. ( A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. dan A. Adaby Darban, Peranserta Islam dalam Perjuangan Indonesia. ).
Pada tahun 1937 organisasi-organisasi Islam bersatu membentuk MIAI ( Majlisul Islam A’la Indonesia ), diprakarsai oleh Muhammadiyah, NU, Persis, Alwasliyah dan lainnya. Pada zaman Jepang MIAI diubah namanya jadi MASJUMI ( Majlis Syurau Muslimin Indonesia ), dan memiliki pasukan Hizbullah Sabilillah, sebagai modal perjuangan bersenjata di kemuidian hari.
Pada saat mempersiapkan kemerdekaan dalam BPUPKI disidangkan konsep dasar negara, muncul konsep Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang telah diajukan, namun sidang belum menerima, kemudian dibentuklah panitia Ad Hock (9 anggota), yang memutuskan Rumusan Piagam Djakarta 22 Juni 1945 ( Djakarta Charter ). Rumusan itu melalui debat yang panjang akhirnya disetujui pada tanggal 16 Juli 1945. (Komentar Soekarno, bahwa Djakarta Charter merupakan konsesnsus nasional persatuan antara Kaum Kebangsaan dan Islam). Namun, pada tanggal 18 Agustus 1845, keputusan itu dianulir atas usul Opsir Jepang mengatasnamakan utusan dari Indonesia Timur, yang menyatakan bahwa bila kalimat “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluknya” tidak diubah, maka Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia . Dengan demikian Hatta lobi dengan para ulama agar dapat mengubah Piagam Djakarta demi persatuan Nasional RI. Pada awalnya para ulama tidak setuju, sebab itu sudah keputusan BPUPKI sebagai konsensus nasional, namun demi toleransi dan menjaga negara RI dari perpecahan, akhirnya disepakati dengan kalimat : “ Ketuhanan Yang Maha Esa “ (peranan Ki Bagus menempatkan Yang Maha Esa sebagai Taukhid Rakyat Indonesia ). ( Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta.) (http//spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-peradaban-islam-di-indonesia.html)
• Sistem perekonomian pada saat penjajahan Belanda
Masuknya agama Islam ke Indonesia memberikan pengaruh yang mengakibatkan munculnya kelompok baru yang disebut ulama. Tampaknya Islam telah diterima oleh kalangan rakyat jelata sebagai agama pembebas, yang membebaskan masyarakat dari pemisahan kasta,dan memeberikan ajaran tentang dinamika kehidupan. Ajaran Islam yang demikian mempengaruhi pula perubahan tata perekonomian. Rakyat tidak hanya bertani, tetapi juga berdagang. Hal yang terakhir ini merupakan perbuatan terlarang bagi ajaran agama sebelum Islam datang. Pandangan dan cara hidup Islam yang memunculkan ulama dengan para pesantrennya, dinyatakan tidak hanya menggunkan perubahan sosial saja, tetapi lebih cenderung menumbuhkan revolusi sosial sebagai perubahan sosial yang radikal dan meluas yang berdasar pada perubahan sikap mental. Arus perubahan seperti ini pada gilirannya mendapat tantangan baru, yakni adanya agresi perdagangan dan agama yang dilancarkan oleh imperialsm Barat.
Pengaruh ajaran Islam tidak hanya pada sistem politik, pendidikan, kebudayaan saja. Ternyata juga terdapat pada sekte ekonomi yang telah meninggalkan bekas-bekasnya atas The ecology of economic activities. Pasar tidak hanya merupakan kegiatan jual-beli barang dagangan, tetapi juga dijadikan arena dakwah, sehingga kegiatan pasar sangat dipengaruhi oleh hari-hari besar Islam. Jadi Islam sebagai agama yang disebarkan oleh para ulama, memiliki peranan yang positif dalam menunjang kegiatan perekonomian dan perdagangan. Hal ini menurut Clifford Geertz tidak pernah dikerjakan oleh Hindu Jawa yang menganggap rendah terhadap dunia.
Kalau kita perhatikan data di atas,jelas kepentingan Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari ulama. Terutama dalam bidang perekonomian perdagangan.belanda melihat kegiatan umat Islam yang mempunyai dwifungsi sebagai pedlar missionaries (da’i dan pedagang). Akibatnya usaha perdaganagan Belanda menghadapi ancaman dari umat Islam
Bebeda pada kondisi perekonomian masyarakat Islam pada saat Tanam paksa 1830) yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda. Ulama dan santri yang bermatapencaharian sebagai petani akan mudah dipatahkan dengan penuasaan atas tanah. Tanam paksa telah melumpuhkan perekonomian rakyat. Pemelaratan petani Jawa Barat yang letak geografinya dekat Jakarta, diperhebat. Pemerintah takut kepada ulama dan santri Jawa Barat yang memberontak selama mereka mampu menguasai tanah sawahnya. Karena itu pelaksanaannya diperkeras dan diperlama. Akibatnya kemelaratan benar-benar menindih kehidupan petani muslim di Jawa Barat. .(Suryanegara, Ahmad Mansyur, Menemukan Sejarah, hlmn 236/240)

B. SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG
Dalam menghadapi umat Islam, Jepang sebenarnya mempunyai kebijaksanaan politik yang sama dengan Belanda. Hanya dlam awal pendekatannya, jepang memperlihatkan sikap bersahabat. Karena jepang berpendirian bahwa umat islam merupakan powerful forces dalam menghadapi sekutu. Latar belakang sejarah umat islam yang antiimperialisme Barat, memiliki kesamaan tujuan dengan Perang Asia Timur Rayanya.sikap umat islam yang demikian itu akan dimanfaatkan oleh pemerintah itu akan dmanfaatkan oleh pemerintah kolonial jepang.
Tetapi tentar jepang tidak menghendaki adanya parpol Islam. Mereka lebih menyukai hubungan langsung dengan ulama daripada dengan pemimpin parpol. Oleh karena itu, jepang mengeluarkan maklumat pembubaran parpol. Bagaimana sikap umat islam dengan pembubaran partainya? Tampaknya dalam menghadapi tentara jepang, umat islam bertindak untuk sementara menyetujui pembubaran tersebut.
• Sistem pendidikan Islam pada penjajahan Jepang
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan.
Hal-hal tersebut antara lain:
1. Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2. Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
3. Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4. Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya.
Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
1. Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;
2. Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang;
3. Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;
4. Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta
5. Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini:
a) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi:
b) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi;
c) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
d) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang;
e) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer;
f) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
• Sistem kebudayaan pada masa penjajahan jepang
Masa pendudukan Jepang (1942—1945) ditinjau dari sudut pengembangan kesenian menunjukkan hasil yang tidak kecil. Mobilisasi seniman yang dilakukan Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso) untuk mendukung program kantor propaganda (sendenbu) tentara pendudukan setidaknya menghasilkan sejumlah besar karya seni (sastra, musik dan lagu, dan lukis) yang berkarakter masa perang. Selain itu, karya-karya seni itu juga menampilkan tema yang bermuara pada upaya memompa semangat berperang dan semangat membantu perjuangan bangsa Asia melawan bangsa Barat. Ungkapan-ungkapan, seperti “Asia untuk Asia”, atau “Membangun Asia” menjadi acuan yang jelas bagi seniman dalam membuat karyanya. Namun demikian, tidak sedikit pula seniman yang kurang bahkan tidak antusias menanggapi ajakan pemerintah pendudukan itu.
Kenyataan demikian, terlihat dengan jelas apabila kita membaca sejumlah karya sastra, khususnya karya sastra drama. Sejumlah penulis dan naskah drama masa Jepang telah dibicarakan oleh H.B. Jassin1 dan Boen S. Oemarjati2, serta sejumlah skripsi di FSUI dan makalah yang menggarap karya-karya masa itu.3
Karya seni, khususnya sastra, menjadi salah satu alat yang penting untuk melakukan propaganda karena karya itu langsung bersentuhan dengan pikiran dan juga empati pembaca atau penonton. Tokoh dan peristiwa dalam karya sastra menjadi pembawa pesan yang efektif dan secara massal ke tengah masyarakat. Oleh karena itu, para kritikus sastra Marxis menempatkan sastra sebagai superstruktur yang penting dalam membangun dan membina moral masyarakat. Konsepsi seni untuk masyarakat sebagai sebuah konsep didaktik melalui karya seni mengedepan dalam pandangan kritikus sastra Marxis.
Karya Sastra Drama
SELAMA masa pendudukan Jepang (1942—1945) sumbangan besar pada perjalanan kesusastraan dan kehidupan sandiwara di Indonesia adalah lahirnya karya sastra drama yang jauh melebihi jumlah pada masa-masa sebelumnya.4 dan maraknya grup sandiwara yang membawakan cerita-cerita propaganda masa perang. Masa itu dinilai sebagai masa yang penting juga untuk pemakaian bahasa Indonesia. Pada masa Jepang tercatat para penulis sastra drama antara lain adalah Armijn Pane, Usmar Ismail, Kotot Sukardi, Merayu Sukma, Idrus, dan Abu Hanifah. Sedangkan untuk grup-grup sandiwara didirikan organisasi yang disebut Perserikatan Oesaha Sandiwara di Djawa (POSD)5 yang berdiri pada tahun 1942 di bawah pimpinan Hinatsu Eitaro alias Dr. Huyung. Melalui organisasi ini, grup-grup sandiwara yang semula bermain tanpa naskah, diharuskan mementaskan cerita tertulis (naskah). Dengan demikian, naskah tersebut dapat disensor sebelum dipentaskan. Aturan ini akhirnya justru menghasilkan jumlah naskah yang besar sekali. Namun demikian, sampai saat ini tidak terdokumentasi dengan baik, selain naskah-naskah yang dituliskan dan diterbitkan secara resmi oleh penerbit pemerintah pada saat itu.
(http://journal.ui.ac.id/upload/pendingJurnalpdf/Catatan%20Mengenai%20Drama%20%20di%20Masa%20Pendudukan%20Jepang.pdf)

• Sistem politik pada masa penjajahan jepang
Balatentara Jepang memahami situasi Indonesia dengan mayoritas adalah umat Islam. Oleh karena itu, diletakan dasar kebijakan dalam membina teritorialnya, dikenal dengan kebijakan menurut H.J.Benda disebutnya Nippon’s Islamic Grass Root Policy – Kebijakan Politik Islamnya Jepang yang ditujukan mengekloitasi potensi Ulama Desa.
Jepang menyadari adanya kekuatan partai politik Islam yang masih kongkrit aktif sampai masa pendaratan Jepang adalah Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII), dan organisasi sosial dan dakwah adalah Al Wasliyah di Medan, Mathla’ul Anwar di Banten, Persyarikatan Ulama di Majalengka, Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (Perti) di Padang, Muhammadiyah di Yogyakarta, Persatuan Islam di Bandung dan Nahdlatul Ulama di Surabaya, ketiga organisasi yang terakhir ini, membangun wadah kesatuan perjuangannya pada tahun 1937 adalah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).
Keseluruhan organisasi ini, dinilai oleh Balatentara Jepang akan menjadi batu penghalang penjajahan Jepang di Indonesia. APalagi dengan kondisi Timur Tengah yang memihak ke Sekutu, padahal umat Islam Indonesia orientasinya sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di Timur Tengah. Oleh karena itu, bagaimanapun juga Jepang berupaya sekuat dayanya untuk memilih satu-satunya pendekatan kepada umat Islam Indonesia.
Jepang mencoba memanfaatkan kondisi Indonesia, umat Islamnya agar tumbuh dan bergantung pula kepada Jepang. Digariskanlah kebijakan yang bersifat depolitisasi umat Islam. Partai Politik dan Organisasi sosial pendidikan di atas, dilarang mengadakan aktivitas organisasinya.
Sebagai substitusi, dan sekaligus diharapkan mampu memobilisasi potensi umat Islam dibentuklah Shumubu – Kantor Urusan Agama, yang dipimpin oleh Kolonel Horie, pada akhir maret 1942. Terlihat betapa cepatnya antara pendudukan dengan pembentukan Shumubu. Dengan demikian Jepang telah lama memprogramkannya.
Shumubu yang dipimpin oleh tentara Jepang, ternyata tidak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan. Tidak mampu memobilitaskan rakyat, umat Islam saat itu sukar untuk dipimpin oleh orang asing. Oleh karena itu, Kolonel Horei digantikan oleh Hoesein Djajadiningrat, tetapi karena sebagai pakar agama Islam, yang tidak pernah memimpin organisasi sosial Islam, tidak pula mempunyai pengaruh pada umat. Oleh karena itu, diadakan lagi reorganisasi Shumubu dengan menggantikan Ketua Shumubu oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Akibat baru saja keluar dari tahanan, karena menolak menjalankan saikerei menghormati ke arah Tokyo, maka aktivitas harian diserahkan kepada wakilnya Wahid Hasyim.
Melalui pimpinan NU, Jepang mengharapakan Shumubu tidak saja mampu memobilitaskan massa umat Islam, melainkan juga logistik. Tetapi dengan diplomatis sekali mengenai pengakuan Gunseikan terhadap Ulama. Didasarkan perlunya Ulama memahami budaya Jepang, dan segenap tata kehidupan Jepang. Dari pemahaman ini agar dikembangkan kepada generasi muda. Secara tidak langsung Gunseikan meminta kesadaran dan kecintaan terhadap Jepang. Selanjutnya dari kecintaan akan menumbuhkan pengorbanan untuk Jepang.
Setelah pembentukan Shumubu, Jepang mengizinkan pembentukan wadah baru guna menyalurkan aktivitas mantan pimpinan parpol dan ormas, pada 29 April 1942, dibentuk organisasiTiga-A (Nippon Pemimpin Asia, Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia), Organisasi ini dipimpin oleh Shimitzu dan Samsudin (Parindra). Makna Nippon sebagai Pemimpin Asia, sebagai bahasa lain, Saudara Tua dalam pengertian politik. Demikian pula makna Cahaya dan Pelindung, memberikan kesan bahwa Indonesia belum mampu mandiri sebagai bangsa merdeka tanpa petunjuk dan payung Jepang.
Demikianlah upaya Jepang dalam menciptakan kondisi baru, depolitisasi umat Islam Indonesia. Dimatikan kesadaran politik Indonesia Merdeka, dibangkitkan kesadaran baru, dialihkan kecintaan berorganisasinya bukan untuk Islam semata, tetapi juga kepada aktivitas memenangkan perang Jepang dengan slogannya Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Kebijakan politik mematikan organisasi sosial politik umat Islam, dan membangun wadah baru dengan change target, agar umat Islam mendukung tujuan pembaharuan Jepang atas Indonesia. Upaya pembaharuan yang demikian itu dapat diprediksikan Jepang akan menemui kesulitan dalam mengaplikasikan change strategi-nya. Apalagi Jepang melihat kenyataan perangnya, menghadapi serangan balik Sekutu yang tidak dapat dibendung lagi. Jepang menderita kekalahan di semua medan. Jepang merasa perlu mengadakan pendekatan baru terhadap pimpinan nasional yang benar memiliki massa rakyat yang kongkrit.
Setiap kebijakan politik Jepang sebagai penjajah tidak terlepas dari kepentingan devide and rule – pecah belah untuk dikuasai. Dalam pandangan politik Jepang, bangsa Indonesia memiliki dua kubu pimpinan : Nasionalis Islam dan Nasionalis dari organisasi non Islam (Nasionalis Sekuler).
Untuk umat Islam diizinkan membangun kembali Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) (4 September 1942) dan Majelis Syura Muslimin Indonesia – Masyumi (November 1943), namun Jepang juga menciptakan Pusat Tenaga Rakyat – Putera (Maret 1943). Bila MIAI dipimpin oleh Wondoamiseno dari PSII, Masyumi dipimpin K.H. Hasyim Asy’ari dari NU, sedangkan Putera dipimpin oleh empat serangkai, dengan ulamanya K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah, selain Bung Karno (PNI), Bung Hatta (PNI Baru) dan Ki Hajar Dewantara (Taman Siswa). Dari penempatan Ulama yang berbeda-beda organisasinya yang dipimpinnya, terlihat adanya pemahaman Jepang bahwa setiap pembaharuan tanpa ada ikut sertanya Ulama di dalamnya, akan menemui kegagalan. Tetapi dari pemecahan itu pula terbaca upaya devide and rule-nya Jepang terhadap potensi umat Islam.
Dari sisi lain, kebijakan pembubaran MIAI diikuti dengan pembentukan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tahun 1943, terbaca pengalihan kepercayaan Jepang kepada Ulama NU. Pimpinan utama organisasi ini, diserahkan kepada Khudratus Syeikh K.H. Hasyim Asyari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama.
Dalam aktivitas hariannya diserahkan kepada Ketua Mudanya, Wahid Hasyim, putera K.H. Hasyim Asari seperti halnya dengan Shumubu di atas. Sekalipun terjadi seperti Shumubu lagi, namun Jepang mengandalkan kharismatinya Khudratus Syeikh K.H. Hasyim Asyari walaupun secara fisik tidak aktif dalam Shumubu, maupun Masyumi, namun dengan didelegasikannya kepada Wahid Hasyim, kedua organisasi tersebut akan dapat berjalan seperti yang diharapkan Jepang.
Hal ini dipertimbangkan sesuai Nippon’s Islamic Grass Root Policy yang diarahan kepada memobilitaskan massa dan materi umat Islam dari desa, maka Jepang melihat NU sebagai organisasi pemilik massa desa. oleh karena itu, ditumpahkan kepercayaan Jepang kepada pimpinan jamiah NU.
Disamping itu, Jepang juga membangun Mahkamah Tinggi Islam Indonesia- Kaikyoo Kootoo Hooin, dan Balai Penyelidikan Kebudayaan Islam Indonesia – Kaikyoo Bunka Kenkyuu Zyo, serta Perpustakaan Kebudayaan Islam Indonesia – Kaikyoo Bunken Syo. Untuk pengumpulan dana umat Islam, dibentuklah Baitul Maal. Sepintas Jepang benar-benar akan menegakan Syariah Islam, dan akan mencerdaskan umat Islam. Dibalik kebijakkan ini, tetap terselip kepentingan kepenjajahannya dalam mengeksploitasikan potensi umat.
Kesemuanya ini merupakan bagian dari sistem persenjataan sosial (sisos) dari Jepang, lebih menginginkan dengan pendekatan budaya dalam merangkul umat Islam. Tentunya Jepang belajar dari pengalaman para penjajah Indonesia terdahulunya.
Disisi lain dengan kebijakannya, Jepang mengharapkan kedua kekuatan nasionalis tetap dalam perpecahan. Masyumi kontra Putera. Di atas keretakan keduanya, Jepang berharap untuk dapat bertahan lama menguasai Indonesia, dan mampu mengendalikan meredam perjuangan bangsa Indonesia yang menginginkan Indonesia Merdeka.(Pemberontakan Tentara PETA Di Cileunca Pangalengan Bandung Selatan, Ahmad Mansyur SUryanegara, Yayasan Wira Patria Mandiri Jakarta, 1996 hal : 75 – 93)
• Sistem perekonomian pada masa penjajahan jepang
Dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya, pemerintah Jepang berpegang pada tiga prinsip utama. Pertama, mengusahakan agar mendapat dukungan rakyat untuk memenangkan perang dan mempertahankan ketertiban umum. Kedua, memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan yang sudah ada. Ketiga, meletakkan dasar supaya wilayah yang bersangkutan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri bagi wilayah selatan.
Oleh karena itu pemerintah Jepang pada awalnya senantiasa berupaya mencapai dan kemudian mempertahankan keadaan yang stabil, jika tidak bisa memulihkan keadaan seperti yang sebelumnya (status quo ante), paling tidak mendekati seperti itu. Kebijaksanaan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas, yaitu menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia dan memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Luasnya daerah pendudukan Jepang, menyebabkan Jepang memerlukan tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya untuk membangun sarana pertahanan berupa kubu-kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga untuk mengerjakan semua itu, diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat penduduknya melalui suatu sistem kerja paksa yang dikenal dengan Romusha. Romusha ini dikoordinir melalui program Kinrohosi atau kerja bakti. Pada awalnya mereka melakukan dengan sukarela, lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka pengerahan tenaga diserahkan pada panitia pengerah (Romukyokai) yang ada di setiap desa. Banyak tenaga Romusha yang tidak kembali dalam tugas karena meninggal akibat kondisi kerja yang sangat berat dan tidak diimbangi oleh gizi dan kesehatan yang mencukupi. Kurang lebih 70.000 orang dalam kondisi menyedihkan dan berakhir dengan kematian dari 300.000 tenaga Romusha yang dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam, Malaya dan Serawak.
Kebijaksanaan yang dilakukan Jepang bidang ekonomi di Jawa adalah :
1. Peningkatan produksi padi.
Keadaan beras di Jawa tahun 1942 sangat mengkhawatirkan. Oleh kerena itu produksi padi perlu ditingkatkan. Dalam rangka itu Jepang merencanakan penambahan areal tanah. Cara menambah areal tanah ini adalah dengan dengan membuka tanah baru terutama bekas perkebunan tanah lainya yang belum pernah ditanami. Disamping itu Jepang yang memeperkenalkan teknik penanamam padi yang baru, yaitu menanam bibit padi tanaman padi garis lurus dan Jepang mengemukakan bahwa hal ini adalah penyebab rendahnya produktivitas padi. Petani diharapkan menanam bibit padi lebih dari 2 centimeter dan tidak membiarkan tanaman terlalu besar di tempat pembibitan sebelum dipindahkan. Cara penanaman padi yang diperkenalkan oleh Jepang ini akhirnya diterima oleh petani Jawa, karena cara tersebut lebih efektif dalam rangka meningkatkan produksi padi.
2. Wajib serah padi.
Pada masa pendudukan Jepang, Jawa ditetapkan sebagai pemasok beras pulau-pulau diluar Jawa serta untuk keperluan medan pertempuran di medan pertempuran di pasifik selatan. Beras didatangkan dari Jawa semakin memiliki arti yang sangat penting karena semasa perang angkatan jarak jauh dan perkapalan sangat sulit serta keamanan di laut memburuk. Disamping itu, beras Jawa dikenal bermutu tinggi dan rasanya enak. Oleh karena itu, Jepang berkeinginan untuk memperolah beras dari Jawa sehingga kebijakan mereka ditujukan unuk memeksimalkan produksi dan pengumpulan beras.

Hal-hal yang diberlakukan dalam sistem pengaturan ekonomi pemerintah Jepang adalah:
a) Kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang maka seluruh potensi sumber daya alam dan bahan mentah digunakan untuk industri yang mendukung mesin perang. Jepang menyita seluruh hasil perkebunan, pabrik, Bank dan perusahaan penting. Banyak lahan pertanian yang terbengkelai akibat titik berat kebijakan difokuskan pada ekonomi dan industri perang. Kondisi tersebut menyebabkan produksi pangan menurun dan kelaparan serta kemiskinan meningkat drastis.
b) Jepang menerapkan sistem pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran yang sangat berat. Pengawasan tersebut diterapkan pada penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang. Pengendalian harga untuk mencegah meningkatnya harga barang. Pengawasan perkebunan teh, kopi, karet, tebu, gula, pohon jarak, kapas dan sekaligus memonopoli penjualannya. Pembatasan teh, kopi dan tembakau, karena tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan perang.
c) Menerapkan sistem ekonomi perang dan sistem autarki (memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan menunjang kegiatan perang). Konsekuensinya tugas rakyat beserta semua kekayaan dikorbankan untuk kepentingan perang. Hal ini jelas amat menyengsarakan rakyat baik fisik maupun material.
d) Pada tahun 1944, kondisi politis dan militer Jepang mulai terdesak, sehingga tuntutan akan kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya pemerintah Jepang mengadakan kampanye penyerahan bahan pangan dan barang secara besar-besaran melalui Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian), serta instansi resmi pemerintah.
e) Sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasakan bertambah berat pada saat rakyat juga merasakan penggunaan sandang yang amat memprihatinkan. Pakaian rakyat compang camping, ada yang terbuat dari karung goni yang berdampak penyakit gatal-gatal akibat kutu dari karung tersebut. Adapula yang hanya menggunakan lembaran karet sebagai penutup.
Dalam bidang sosial-ekonomi, pemerintahan pendudukan Jepang mengadakan pengaturan terhadap distribusi barang-barang yang dianggap penting untuk kepentingan perang, seperti besi, tembaga, kuningan dan sebagianya yang diatur dengan Osamu Seirei nomor 19 tahun 1944 tentang mengatur pembagian tembaga tua dan besi tua.
Demikian bentuk praktik-praktik eksploitasi ekonomi masa pendudukan Jepang, yang telah begitu banyak menghancurkan sumber daya alam, menimbulkan krisis ekonomi yang mengerikan dan berakhir dengan tingginya tingkat kematian seperti yang terjadi juga pada bidang sosial, khususnya pergerakan sosial yang dilakukan pemerintah Jepang dalam bentuk Kinrohosi atau kerja bakti yang lebih mengarah pada kerja paksa untuk kepentingan perang. (http://www.bloggaul.com/martanto/readblog/100459/kebijakan-ekonomi-pemerintahan-jepang-dan-perubahan-sosial-ekonomi-masyarakat-jawa-tahun-1942-1945)





BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pembuatan makalah ini kami menyimpulkan sebagai berikut:
Pada massa penjajahan belanda Kolonialisme Belanda selalu menghadapi perlawanan gencar dari masyarakat yang menganut agama Islam seperti pertempuran di Banten, Hasanudin di Ujung Pandang, perang Diponegoro, perang Padri, perang Aceh, dan sebagainya. Sehingga Untuk melemahkan kepribadian orang-orang Islam di Nusantara, Belanda sengaja mengembangkan pendidikan-pendidikan ala Barat yang dianggap dapat lebih membimbing masyarakat ke taraf hidup yang lebih baik, yang dijadikan kedok oleh kolonial Belanda untuk melancarkan politik penjajahannya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa Belanda dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar
Selama penjajahn Belanda pendidikan dipetakan menjadi dua periode. Masa Voc dan masa pemerintahan Belanda. VOC merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang.sedangkan pemerintahan Belanda ditujukan hanya pada pegawai dan keluarganya.
2. Kebudayaan
Menjelang kemerdekaan masyarakat Indonesia di bagi oleh pemerintah menjadi tiga kelas yaitu
a. Europeanem adalah orang-orang eropa yang disamakn dengan mereka.
b. Vreme de ostelingen adalah orang-orang timur asing
c. Inheensen adalah golongan bumu putra. Secar popular menurut sebutan orang Belanda di sebut Indische.
3. Politikrakan
Sebelum memasuki era perggerakan nasional, pihak colonial belanda mencoba politik kemakmuran dan balas budi.



4. Ekonomi
Pada sekte ekonomi tinggalah bekas-bekas atas the ecology of economic activities. Pasar tidak hanya kegiatan jual beli barang dagangan, tetapi tidak dijadikan arena dakwah, sehingga kegiatan pasar sangat di pengaruhi oleh hari besar islam.

Dalam menghadapi umat Islam, Jepang sebenarnya mempunyai kebijaksanaan politik yang sama dengan Belanda. Hanya dlam awal pendekatannya, jepang memperlihatkan sikap bersahabat. Karena jepang berpendirian bahwa umat islam merupakan powerful forces dalam menghadapi sekutu.
1. Pendidikan
Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
2. Kebudayaan
Masa pendudukan Jepang (1942—1945) ditinjau dari sudut pengembangan kesenian menunjukkan hasil yang tidak kecil. Mobilisasi seniman yang dilakukan Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso) untuk mendukung program kantor propaganda (sendenbu) tentara pendudukan setidaknya menghasilkan sejumlah besar karya seni (sastra, musik dan lagu, dan lukis) yang berkarakter masa perang.
3. Politik
Jepang menyadari adanya kekuatan partai politik Islam yang masih kongkrit aktif sampai masa pendaratan Jepang adalah Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII), dan organisasi sosial dan dakwah adalah Al Wasliyah di Medan, Mathla’ul Anwar di Banten, Persyarikatan Ulama di Majalengka, Persatuan Tarbiyatul Islamiyah (Perti) di Padang, Muhammadiyah di Yogyakarta, Persatuan Islam di Bandung dan Nahdlatul Ulama di Surabaya, ketiga organisasi yang terakhir ini, membangun wadah kesatuan perjuangannya pada tahun 1937 adalah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).
4. Perekonomian
Dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya, pemerintah Jepang berpegang pada tiga prinsip utama. Pertama, mengusahakan agar mendapat dukungan rakyat untuk memenangkan perang dan mempertahankan ketertiban umum. Kedua, memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan yang sudah ada. Ketiga, meletakkan dasar supaya wilayah yang bersangkutan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri bagi wilayah selatan.


















DAFTAR PUSTAKA
• Karim, M Abdul. Islam dan kemerdekaan indonesia sumbangsih press. Yogyakarta. 2005
• Suryadegara, Ahmad mansur. Menemukan Sejarah,Penerbit Mizal, Bandung,1995
• Andi faisal. Islam and Nation Formation in Indonesia. Jakarta: Logos,2000,hal 156-157
• (http://www.bloggaul.com/martanto/readblog/100459/kebijakan-ekonomi-pemerintahan-jepang-dan-perubahan-sosial-ekonomi-masyarakat-jawa-tahun-1942-1945
• (http://journal.ui.ac.id/upload/pendingJurnalpdf/Catatan%20Mengenai%20Drama%20%20di%20Masa%20Pendudukan%20Jepang.pdf)
• ( Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta.) (http//spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-peradaban-islam-di-indonesia.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar