Selasa, 19 Juli 2011

makalah

SEJARAH PERKEMBANGAN
TAFSIR










Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Ulumul Qur’an
Disusun oleh :



JURUSAN TARBIYAH (PAI)
SEKOLAH TINGGI ISLAM NEGERI SURAKARTA
2010





BAB I
PENDAHULUAN


Penafsiran al-quran telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64). Mufasirnya adalah Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.
Seiring telah dilakukan penafsiran oleh Nabi SAW dan para sahabat, maka secara tidak langsung ilmu tafsir telah ada pada waktu itu, meskipun belum dibukukan, apalagi dikaji secara ilmiah , teoritis dan sistematis. Berarti ilmu tafsir merupakan ilmu tertua dalam khazanah intelektual islam meskipun pembukuan dimulai pada abad ketiga Hijriyah. Dalam waktu yang demikian panjang, jelaslah telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan yang amat menonjol dalam kajian penafsiran Al-Qur’an sampai abad modern sebagai kita saksikan dewasa ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis mengambil judul “Sejarah Perkembangan Tafsir” yang bisa membantu untuk mengetahui lebih dalam tentang tafsir Al-Qur’an. Terutama kepada kaum muda agar lebih termotivasi untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dengan mengetahui sejarah perkembangan tafsir diperoleh penafsiran Al-Qur’an yang lebih kondusif dengan tuntunan zaman yang semakin kompleks. Dengan begitu akan terasa bahwa Al-Qur’an selalu hangat (update) dan tak pernah kadaluarsa (outdate) serta senantiasa menarik bagi umat di muka bumi ini.











BAB II
ISI

A. TAFSIR PADA MASA RASULULLAH DAN SAHABAT
Pada saat Al Qur’an diturunkan Rosulullah menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya makna yang terkandung dalam AL Qur’an karena merupakan tugas beliau sebagai penyampai Risalah-Nya. Khususnya untuk yat-ayat yang tidak jelas maknanya atau samar artinya. Keadaan ini berlansung hingga Beliau wafat. Walaupun tidak semua isi kandungan AL Qur’an kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat yang menjelaskannya karena Rosulullah sendiri pun tidak menjelaskan semua kandungan Al Qur’an. Setelah wafat mereka terpaksa melakukan Ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali Bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ubay Bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.
Sementara ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam AL Qur’an kepada tokoh-tokoh ahlul kitab seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al Ahbar, dan lain-lain. Inilah merupakan benih-benih timbulnya Isroiliyat.
Penafsiran sahabat terhadap Al-Qur’an mengacu pada inti dan kandungan Al-Qur’an, mengarah pada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung serta menggambarkan makna yang tinggi dan ayat yang berisi nasihat, petunjuk, kisah-kisah agamis, penuturan keadaan umat terdahulu, penjelasan maksud peribahasa dan ayat yang dijadikan Alloh sebagai contoh bagi manusia untuk dipikirkan dan direnungkan, nasihat yang baik, dan maksud Al-Qur’an yang lain.
Untuk semua itu, para sahabat banyak merujuk pada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunnya ayat dan peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat. Oleh karenanya, mereka tidak mengkaji dari segi Nahwu,I’rab dan macam-macam balaghah, yaitu ilmu Ma’any, Bayan dan Badi’, Majaz, dan Kinayah.
Mereka juga tidak mengkaji segi lafadh, susunan kalimat, hubungan suatu ayat dengan ayat sebelumnya dan segi lain yang sangat diperhatikan oleh mufassir kemudian (mutaakhirin), oleh karena mereka mempunyai dzauq (rasa kebahasan) dan mereka mengetahui hal itu semua dengan fithrah mereka, tidak seperti kita yang baru mengetahui hal itu semua berdasarkan kaidah dan dari kitab serta hasil kajian.
Para ahli tafsir banyak mengambil manfaat dari apa yang mereka riwayatkan dari Ibn Abbas tentang penafsiran terhadap Al-Qur’an, sebagaimana imam Al-Suyuthy berkata : ”Yang paling utama dijadikan sebagai rujukan dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an adalah penafsiran Ibn Abbas dan sahabat yang belajar darinya, karena dari mereka lahir penafsiran yang menyeluruh terhadap hal-hal yang gharib (amat sulit) dari Al-Qur’an.
Setelah Ibn Abbas terkenal pula ahli tafsir yang lain, yaitu Mujahid, Muqatil, Ikrimah, Ibn Jubair, Thawus, Sa’id Ibn Al-Musayyab, Hasan Al-Bashry dan lainnya.
Demikianlah, para sahabat pada masa awal diturunkan Al-Qur’an mampu memahaminya dengan pemahaman yang mendalam, mereka dapat menangkap sinar Al-Qur’an dengan pemahaman yang sempurna dan mengkajinya sehingga dapat mengetahui penjelasannya dalam berbagai bentuk ungkapan yang berbeda-beda. Akan tetapi mereka tidak sampai merumuskan kaidah-kaidah balaghah yang sangat diperlukan oleh generasi dan perkembangan manusia berikutnya. Oleh karena itu, dari mereka tidak ditemukan prinsip-prinsip tentang kaidah tersebut, sebab dengan fithrah mereka mampu mengetahui unsur balaghah, seperti ijaz, ithnab,haqiqah, majaz, tasybih, kinayah, dan lainnya.
B. TAFSIR PADA MASA TABI’IN
Orang yang mengkaji sejarah tafsir tidak hanya berkepentingan baginya mengkaji hakekat sejarahnya, oleh karena ia mempunyai relefansi yang kuat dengan metode tafsir pada masa itu dan perkembangan ilmiah dalam tafsir pada masa-masa berikutnya. Akan tetapi ia harus pula mengemukakan bukti dari sejarah para Ulama tafsir yang telah menghabiskan usia untuk menafsirkan ayat-ayat Allah, mengabdikan dirinya untuk AL Qur’an, merenungkan rahasia-rahasia dari setiap ayatnya dan memikirkan setiap maknanya. Mereka berhasil mengkaji dalil nash dari berbagai seginya. Mereka mengkaji setiap huruf yang terdapat pada suatu kata, kalimat yang terdapat pada suatu ayat yang terdapat pada suatu surat. Mereka meneliti setiap huruf dengan teliti dan cermat, menyingkap muatan setiap kata dari kalam Allah, memperhatikan konteks kalimat dan mengungkap rahasia-rahasia huruf yang dikenal dalam ilmu Nahwu pada konteksnya dalam Al Qur’an, yaitu huruf ‘athaf
C. KODIFIKASI TAFSIR
Penafsiran Rosulullah SAW dan penafsiran sahabat, tabi’in dan tabiun tabi’in yang bersumber dari Rosulullah, dari mulut ke mulut telah menyebar di berbagai kalangan kaum muslimin, tetapi belum terbukukan dalam satu kitab atau lembaran-lembaran sampai masa dimulai pembukuan Hadist Rosulullah pada Sayyidina Umar bin Abdul Al Azis ( kholifah ke VIII dari kholifah Bany Umayah ) pada tahun 99 H. kemudian, bersamaan dengan itu dibukukan pula tafsir dan tafsir merupakan salah satu dari bab-bab dalam kitab Hadist.
Tidak ada satupun para ulama’ yang sampai menyusun tafsir secara tersendiri ( terpisah dari kitab hadist ) yang didalamnya Al Qur’an ditafsirkan surat demi surat secara utuh. Para ulama’ dari kawasan wilayah kekuasaan Islam setelah masa sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, hanyalah mengumpulkan hadist-hadist yang diriwayatkan dari Rosulullah yang berfungsi sebagai penafsir dari ayat-ayat Al Qur’an. Demikianlah, sampai sekarang dalam kitab-kitab hadist terdapat bab-bab tertentu yang mengemukakan hadist-hadist yang berfungsi sebagai penafsir Al Qur’an sesuai urutan dalam Mushhaf.
Keadaan demikian berlansung sampai pada masa-masa terakhir dari Bani Umayah dan masa-masa awal Abbasiyah. Setelah itu timbullah gerakan ilmiah dan mulailah masa pembukuan ilmu-ilmu agama dan science serta klasifikasi, pembagian bab-bab dan sistematikannya. Tafsir terpisah dari hadist: ia merupakan ilmu yang berdiri sendiri dan dilakukanlah penafsiran terhadap setiap ayat Al Qur’an dari awal sampai akhir. Hal ini disebabkan kaum muslimin telah memasuki masa-masa suram dan mereka membutuhkan hasil penafsiran Al Qur’an yang dilakukan oleh para ulama’ yang mempunyai Ilmu yang mendalam tentang bahasa Arab dan keahlian dalam ilmu agama.
Tafsir yang pertama kali lahir pada masa itu adalah Tafsir Ibnu Abbas. Diriwayatkan, bahwa Abdullah ibnu Abbas menyimpan catatan-catatan yang didalamnya dibukukan sebagian dari apa yang ia dengar dari Rosulullah SAW.
Sa’id bin jubair menulis riwayat-riwayat dari Abdullah bin Abbas, demikian juga dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abu Huroiroh dan lain-lainnya. Sementara itu pembagian bab dan sistematisasi terhadap hadits-hadits Nabi sesuai dengan urutan surat dan ayat Al Qur’an baru tersusun oada akhir abad kedua hijriah.
Diriwayatkan, bahwa Abu Ubaidah, yakni Ma’mar bin Al Mutsanna, adalah penyusun tafsir pertama; ia mengarang sebuah kitab yang diberi nama Manhaj fy Al Qur’an pada tahun 188 H. penafsiran terhadap kitabnya itu dilakukan sesuai dengan urutan dalam Al Qur’an, sehingga generasi setelahnya tidak menemui kesulitan.







BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Rasulullah berkewajiban menjelaskan tentang penafsiran al-qura’n kepada para sahabat tapi karena tidak dijelaskan sampai akhir mengakibatkan sahabat ada yang melakukan ijtihad. Dengan mengambil riwayat dari ibn abbas sahabat mampu memahami al-quran dengan pemahaman yang mendalam tetapi tidak sampai merumuskan balaghah yang diperlukan untuk generasi berikutnya.
2. Penafsiran yang dilakukan rasulullah, sahabat serta tabi’un tabi’in belum dilakukan dalam bentuk kitab sehingga masih ada kesulitan untuk mempelajarinya. Barulah pada masa akhir bani umayyah dilakukan pembukuan dari penafsiran al-quran. Tafsir yang dilakukan mulai dari ibnu abbas, sa’id bin jubair, dan abu ubaidah.





DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nasrudin.Rekonstruksi Ilmu Tafsir, STAIN Surakarta:1999
Anwar, Rohisan, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia Bandung : 2000
Al-‘Arid, ‘Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada : 1994
SEJARAH PERKEMBANGAN
TAFSIR










Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Islah Gusmian, S.Ag, M.Ag

Disusun oleh :
Muryadi ( 26.09.3.1.177 )
Ninik Sholikah ( 26.09.3.1.185 )
Nur Arina Mudmainah ( 26.09.3.1.188)


JURUSAN TARBIYAH (PAI)
SEKOLAH TINGGI ISLAM NEGERI SURAKARTA
2010





BAB I
PENDAHULUAN


Penafsiran al-quran telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64). Mufasirnya adalah Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.
Seiring telah dilakukan penafsiran oleh Nabi SAW dan para sahabat, maka secara tidak langsung ilmu tafsir telah ada pada waktu itu, meskipun belum dibukukan, apalagi dikaji secara ilmiah , teoritis dan sistematis. Berarti ilmu tafsir merupakan ilmu tertua dalam khazanah intelektual islam meskipun pembukuan dimulai pada abad ketiga Hijriyah. Dalam waktu yang demikian panjang, jelaslah telah terjadi berbagai perubahan dan perkembangan yang amat menonjol dalam kajian penafsiran Al-Qur’an sampai abad modern sebagai kita saksikan dewasa ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis mengambil judul “Sejarah Perkembangan Tafsir” yang bisa membantu untuk mengetahui lebih dalam tentang tafsir Al-Qur’an. Terutama kepada kaum muda agar lebih termotivasi untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dengan mengetahui sejarah perkembangan tafsir diperoleh penafsiran Al-Qur’an yang lebih kondusif dengan tuntunan zaman yang semakin kompleks. Dengan begitu akan terasa bahwa Al-Qur’an selalu hangat (update) dan tak pernah kadaluarsa (outdate) serta senantiasa menarik bagi umat di muka bumi ini.











BAB II
ISI

A. TAFSIR PADA MASA RASULULLAH DAN SAHABAT
Pada saat Al Qur’an diturunkan Rosulullah menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya makna yang terkandung dalam AL Qur’an karena merupakan tugas beliau sebagai penyampai Risalah-Nya. Khususnya untuk yat-ayat yang tidak jelas maknanya atau samar artinya. Keadaan ini berlansung hingga Beliau wafat. Walaupun tidak semua isi kandungan AL Qur’an kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat yang menjelaskannya karena Rosulullah sendiri pun tidak menjelaskan semua kandungan Al Qur’an. Setelah wafat mereka terpaksa melakukan Ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali Bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ubay Bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.
Sementara ada pula sahabat yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam AL Qur’an kepada tokoh-tokoh ahlul kitab seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al Ahbar, dan lain-lain. Inilah merupakan benih-benih timbulnya Isroiliyat.
Penafsiran sahabat terhadap Al-Qur’an mengacu pada inti dan kandungan Al-Qur’an, mengarah pada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung serta menggambarkan makna yang tinggi dan ayat yang berisi nasihat, petunjuk, kisah-kisah agamis, penuturan keadaan umat terdahulu, penjelasan maksud peribahasa dan ayat yang dijadikan Alloh sebagai contoh bagi manusia untuk dipikirkan dan direnungkan, nasihat yang baik, dan maksud Al-Qur’an yang lain.
Untuk semua itu, para sahabat banyak merujuk pada pengetahuan mereka tentang sebab-sebab turunnya ayat dan peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat. Oleh karenanya, mereka tidak mengkaji dari segi Nahwu,I’rab dan macam-macam balaghah, yaitu ilmu Ma’any, Bayan dan Badi’, Majaz, dan Kinayah.
Mereka juga tidak mengkaji segi lafadh, susunan kalimat, hubungan suatu ayat dengan ayat sebelumnya dan segi lain yang sangat diperhatikan oleh mufassir kemudian (mutaakhirin), oleh karena mereka mempunyai dzauq (rasa kebahasan) dan mereka mengetahui hal itu semua dengan fithrah mereka, tidak seperti kita yang baru mengetahui hal itu semua berdasarkan kaidah dan dari kitab serta hasil kajian.
Para ahli tafsir banyak mengambil manfaat dari apa yang mereka riwayatkan dari Ibn Abbas tentang penafsiran terhadap Al-Qur’an, sebagaimana imam Al-Suyuthy berkata : ”Yang paling utama dijadikan sebagai rujukan dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an adalah penafsiran Ibn Abbas dan sahabat yang belajar darinya, karena dari mereka lahir penafsiran yang menyeluruh terhadap hal-hal yang gharib (amat sulit) dari Al-Qur’an.
Setelah Ibn Abbas terkenal pula ahli tafsir yang lain, yaitu Mujahid, Muqatil, Ikrimah, Ibn Jubair, Thawus, Sa’id Ibn Al-Musayyab, Hasan Al-Bashry dan lainnya.
Demikianlah, para sahabat pada masa awal diturunkan Al-Qur’an mampu memahaminya dengan pemahaman yang mendalam, mereka dapat menangkap sinar Al-Qur’an dengan pemahaman yang sempurna dan mengkajinya sehingga dapat mengetahui penjelasannya dalam berbagai bentuk ungkapan yang berbeda-beda. Akan tetapi mereka tidak sampai merumuskan kaidah-kaidah balaghah yang sangat diperlukan oleh generasi dan perkembangan manusia berikutnya. Oleh karena itu, dari mereka tidak ditemukan prinsip-prinsip tentang kaidah tersebut, sebab dengan fithrah mereka mampu mengetahui unsur balaghah, seperti ijaz, ithnab,haqiqah, majaz, tasybih, kinayah, dan lainnya.
B. TAFSIR PADA MASA TABI’IN
Orang yang mengkaji sejarah tafsir tidak hanya berkepentingan baginya mengkaji hakekat sejarahnya, oleh karena ia mempunyai relefansi yang kuat dengan metode tafsir pada masa itu dan perkembangan ilmiah dalam tafsir pada masa-masa berikutnya. Akan tetapi ia harus pula mengemukakan bukti dari sejarah para Ulama tafsir yang telah menghabiskan usia untuk menafsirkan ayat-ayat Allah, mengabdikan dirinya untuk AL Qur’an, merenungkan rahasia-rahasia dari setiap ayatnya dan memikirkan setiap maknanya. Mereka berhasil mengkaji dalil nash dari berbagai seginya. Mereka mengkaji setiap huruf yang terdapat pada suatu kata, kalimat yang terdapat pada suatu ayat yang terdapat pada suatu surat. Mereka meneliti setiap huruf dengan teliti dan cermat, menyingkap muatan setiap kata dari kalam Allah, memperhatikan konteks kalimat dan mengungkap rahasia-rahasia huruf yang dikenal dalam ilmu Nahwu pada konteksnya dalam Al Qur’an, yaitu huruf ‘athaf
C. KODIFIKASI TAFSIR
Penafsiran Rosulullah SAW dan penafsiran sahabat, tabi’in dan tabiun tabi’in yang bersumber dari Rosulullah, dari mulut ke mulut telah menyebar di berbagai kalangan kaum muslimin, tetapi belum terbukukan dalam satu kitab atau lembaran-lembaran sampai masa dimulai pembukuan Hadist Rosulullah pada Sayyidina Umar bin Abdul Al Azis ( kholifah ke VIII dari kholifah Bany Umayah ) pada tahun 99 H. kemudian, bersamaan dengan itu dibukukan pula tafsir dan tafsir merupakan salah satu dari bab-bab dalam kitab Hadist.
Tidak ada satupun para ulama’ yang sampai menyusun tafsir secara tersendiri ( terpisah dari kitab hadist ) yang didalamnya Al Qur’an ditafsirkan surat demi surat secara utuh. Para ulama’ dari kawasan wilayah kekuasaan Islam setelah masa sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, hanyalah mengumpulkan hadist-hadist yang diriwayatkan dari Rosulullah yang berfungsi sebagai penafsir dari ayat-ayat Al Qur’an. Demikianlah, sampai sekarang dalam kitab-kitab hadist terdapat bab-bab tertentu yang mengemukakan hadist-hadist yang berfungsi sebagai penafsir Al Qur’an sesuai urutan dalam Mushhaf.
Keadaan demikian berlansung sampai pada masa-masa terakhir dari Bani Umayah dan masa-masa awal Abbasiyah. Setelah itu timbullah gerakan ilmiah dan mulailah masa pembukuan ilmu-ilmu agama dan science serta klasifikasi, pembagian bab-bab dan sistematikannya. Tafsir terpisah dari hadist: ia merupakan ilmu yang berdiri sendiri dan dilakukanlah penafsiran terhadap setiap ayat Al Qur’an dari awal sampai akhir. Hal ini disebabkan kaum muslimin telah memasuki masa-masa suram dan mereka membutuhkan hasil penafsiran Al Qur’an yang dilakukan oleh para ulama’ yang mempunyai Ilmu yang mendalam tentang bahasa Arab dan keahlian dalam ilmu agama.
Tafsir yang pertama kali lahir pada masa itu adalah Tafsir Ibnu Abbas. Diriwayatkan, bahwa Abdullah ibnu Abbas menyimpan catatan-catatan yang didalamnya dibukukan sebagian dari apa yang ia dengar dari Rosulullah SAW.
Sa’id bin jubair menulis riwayat-riwayat dari Abdullah bin Abbas, demikian juga dari Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abu Huroiroh dan lain-lainnya. Sementara itu pembagian bab dan sistematisasi terhadap hadits-hadits Nabi sesuai dengan urutan surat dan ayat Al Qur’an baru tersusun oada akhir abad kedua hijriah.
Diriwayatkan, bahwa Abu Ubaidah, yakni Ma’mar bin Al Mutsanna, adalah penyusun tafsir pertama; ia mengarang sebuah kitab yang diberi nama Manhaj fy Al Qur’an pada tahun 188 H. penafsiran terhadap kitabnya itu dilakukan sesuai dengan urutan dalam Al Qur’an, sehingga generasi setelahnya tidak menemui kesulitan.







BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Rasulullah berkewajiban menjelaskan tentang penafsiran al-qura’n kepada para sahabat tapi karena tidak dijelaskan sampai akhir mengakibatkan sahabat ada yang melakukan ijtihad. Dengan mengambil riwayat dari ibn abbas sahabat mampu memahami al-quran dengan pemahaman yang mendalam tetapi tidak sampai merumuskan balaghah yang diperlukan untuk generasi berikutnya.
2. Penafsiran yang dilakukan rasulullah, sahabat serta tabi’un tabi’in belum dilakukan dalam bentuk kitab sehingga masih ada kesulitan untuk mempelajarinya. Barulah pada masa akhir bani umayyah dilakukan pembukuan dari penafsiran al-quran. Tafsir yang dilakukan mulai dari ibnu abbas, sa’id bin jubair, dan abu ubaidah.





DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nasrudin.Rekonstruksi Ilmu Tafsir, STAIN Surakarta:1999
Anwar, Rohisan, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia Bandung : 2000
Al-‘Arid, ‘Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, PT Raja Grafindo Persada : 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar